Libur telah tiba, libur telah tiba, hatiku gembira. Begitu sepenggal lirik lagu masa kecil yang kedengarannya menyenangkan. Memang saya sengaja menggunakan kata ‘kedengarannya’ karena nyatanya tak banyak yang menyukai musim libur.

Musim libur datang menandakan semester sekolah telah usai. Libur sekolah menjadi masa tenggang yang cukup untuk bernafas sebelum otak harus maraton untuk semester depan. Banyak yang sudah merencanakan akan berlibur ke mana atau menghabiskan waktu dengan kegiatan apa. Akan tetapi, banyak juga yang mengalami sindrom takut liburan. Apakah itu?

Khawatir dengan Hasil

Sindrom takut liburan sering dialami siswa dan mahasiswa. Usaha yang mereka kerahkan selama satu semester akan nampak pada selembar kertas yang akan dibagikan di minggu terakhir sekolah atau di minggu awal libur kuliah. Menyenangkan apabila hasil yang mereka dapat memuaskan. Setidaknya liburan semester benar-benar menjadi liburan yang menyenangkan.

Bagaimana dengan mereka yang belum beruntung? Mengapa saya katakan belum beruntung? Jelas keberuntungan selalu ada dalam setiap usaha. Bagaimanapun usaha begitu keras berpacu, tapi jika belum rejeki dan saatnya, hasil yang ingin dicapai tentu belum memuaskan. Apabila hal itu terjadi, libur sekolah tak akan menjadi minggu yang menyenangkan.

Musim liburan akan menjadi momentum berkumpul bersama keluarga atau melakukan aktivitas sosial lainnya. Sindrom takut liburan akan datang ketika orang sekitar menanyakan ‘bagaimana hasil semester ini?”. Akan menjadi pertanyaan yang ringan apabila hasil memuaskan. Bagaimana bagi mereka yang merasa ‘kalah’ pada semester ini?

Di universitas tempat saya belajar, nilai suatu mata kuliah terkadang terlihat tidak adil. Satu mata kuliah pasti diampu oleh beberapa dosen dan setiap kelas diajar oleh dosen yang berbeda untuk mata kuliah yang sama.

Setiap dosen memiliki kriteria penilaian yang berbeda-beda. Meskipun universitas telah memiliki standar yang ditentukan. Masih begitu saya ingat, ketika saya sudah melalui satu mata kuliah yang cukup berat, teman saya baru mendapat mata kuliah tersebut semester ini.

Nasib saya mungkin kurang beruntung karena mendapatkan dosen yang cukup mengerikan. Alhasil, nilai mata kuliah satu kelas diluar ekspektasi. Berbeda dengan teman saya yang mendapat mata kuliah semester ini. Dia jujur sama sekali tidak memahami materi yang diajarkan. Akan tetapi cukup beruntung rasanya karena nilai satu kelas di atas harapan mereka. Ilmu tak begitu di dapat namun nilai begitu meroketnya. Mengecewakan, bukan?

Bagi mereka pejuang nilai atau pejuang IPK jelas akan merasa terpuruk apabila hasilnya tak memuaskan. Usaha dan kerja keras dinilai sia-sia. Apa yang menjadi target mereka, tidak dapat dilalui.

Meskipun libur telah tiba, rasanya otak mereka tidak mau menerima untuk beristirahat sejenak. Kecewa, termenung, dan perasaan bersalah seolah menjadi pikiran yang akan menggaung terus menerus. Bahkan momen liburan mereka jadikan waktu untuk mempersiapkan strategi baru menghadapi semester depan. Dapatkah liburan dikatakan menyenangkan bila demikian?

Membutuhkan Suntikan Dukungan

Sindrom takut liburan memang tidak mengerikan. Tapi akan berdampak pada kesehatan mental. Mereka yang siap dengan segala konsekuensi akan segera ‘sehat’ dari sindrom tersebut. Berbeda bagi mereka yang tak henti-hentinya merasa bersalah.

Ketika sindrom takut liburan sudah menghantui pikiran, yang dibutuhkan adalah support dari orang terdekat. Mungkin ini yang sering dilupakan oleh orang-orang disekitarnya. Mereka yang mengetahui hasil semester miliknya tak memuaskan, pasti sudah merasa tertekan.

 Jangan sampai orang terdekat semakin menambah keterpurukan dengan menyalahkan atau membanding-bandingkan. Mereka sudah sadar bahwa mereka ‘gagal’ menutup akhir semester dengan raihan prestasi. Jadi, tak perlu menambah kegusaran hati dengan ceramah-ceramah yang bersifat menjatuhkan.

Bangun kepercayaan diri mereka dengan perkataan yang menyenangkan. Dukungan mental jauh lebih dibutuhkan bagi mereka yang mengidap sindrom takut liburan. Ajak mereka melupakan apa yang sudah berlalu. Liburan ke alam atau menemani melakukan hobi mereka akan membangun semangat kembali.

Selain itu, ingatkan pula bahwa masih ada kesempatan di semester depan. Mereka harus sadar dan menikmati liburan yang ada untuk mengistirahatkan pikiran agar siap berlomba. ‘sehat’ dari sindrom takut liburan dan membalaskan dendam di kesempatan selanjutnya adalah pilihan yang tepat.

Sindrom takut liburan akan terus-menerus terjadi. Sindrom ini tak punya obat selama mindset masyarakat tentang pentingnya nilai akhir tidak berubah. Seperti halnya kasus mata kuliah di atas, terbukti bahwa tak selamanya nilai di atas kertas sesuai dengan kemampuan masing-masing individu.

Oleh karena itu, akan lebih baik jika setiap usaha diapresiasi dalam bentuk apapun. Tidak melihat bagaimana hasil akhirnya. Kerja keras dan usaha maksimal tentu sudah dikerahkan dalam ‘peperangan’ satu semester tersebut. Maka sepantasnya, semua yang dikorbankan juga dihargai bukan malah dicela.

Setiap individu memiliki keistimewaan masing-masing. Tidak patut rasanya apabila kecerdasan diukur dari hasil selembar kertas tersebut. Banyak hal lain dalam mengukur kemampuan masing-masing individu. Seperti layaknya gajah yang tak bisa diukur kemampuannya dalam hal berenang. Tentu sulit, bukan?

Sebagai penutup opini, saya hanya berpesan mari bijak dalam bersikap untuk membunuh sindrom takut liburan. Setiap individu hebat denagan penilaian yang tepat.