Simone de Beauvoir dan Jean Paul Sartre dijuluki sebagai pasangan abadi. Mereka bersama hingga akhir hayat meski selalu ada pria dan perempuan lain yang datang dan pergi dalam hidup mereka. 

Simone de Beauvoir sendiri kerap dilekatkan dengan Sartre. Ia sering disebut sebagai murid Sartre dan dijuluki sebagai Sartre perempuan. Ia seolah menjadi bayang-bayang Sartre; tidak berdiri sendiri sebagai pribadi independen.

Christine Daigle (2006) dalam tulisannya berjudul “Beauvoir: une réception philosophique” mengatakan hal ini tidak semata-mata kesalahan publik, karena Beauvoir sendiri selalu menempatkan dirinya demikian. 

Simone de Beauvoir selalu merendah, mengatakan dirinya tidak mampu berfilsafat, atau bahwa ia bukan filsuf dan karya-karyanya hanyalah karya-karya sastra. Dalam wawancara dengan Margaret Simons dan Jessica Benjamin pada tahun 1979 misalnya, ia menekankan bahwa untuk dapat disebut filsuf, orang itu harus mengembangkan sistem filosofi. Dirinya menulis karya sastra tetapi bukan karya filsafat, demikian penekanannya (p.63).  

Namun demikian, opini sudah terbentuk, dunia mengakui karya-karya Beauvoir sebagai karya-karya filsafat. 

Beauvoir memilih roman, sandiwara, dan memoar sebagai media untuk menuangkan gagasan filosofisnya. Metode yang unik, tidak konvensional. Dalam pandangan Beauvoir sendiri, roman adalah satu-satunya yang memungkinkan ‘penyemburan’ eksistensi dalam kebenaran tunggal yang utuh dan temporal.

Dua esainya, Le deuxième sexe, tentang perempuan, ia tulis ketika berusia 28 tahun, dan La vieillesse (Usia emas/Lanjut usia) dikarangnya saat berusia 62 tahun. Keduanya merupakan karya filosofis mengenai kelompok yang dipinggirkan. Dalam kedua buku ini, ia melakukan analisis historis dan fenomenologis untuk memahami realita yang dialami individu-individu dalam dua kelompok ini (perempuan dan lanjut usia).

Kedua teks di atas setia berpegang pada prinsip-prinsip eksistensial dan fenomenologis. Beauvoir menuliskan pengalamannya dari perspektif filosofis. Kebenaran adalah subjektif, dan kita dapat bicara kebenaran subjektif ini sejauh yang kita alami. Beauvoir sebagai perempuan, Beauvoir sebagai lansia, ia bicara kebenarannya yang subjektif tentang kedua kelompok ini.

Saya kira menjadi perempuan dalam masyarakat patriarkal memampukan Beauvoir untuk membuahkan karya yang lebih kuat eksistensialismenya dibandingkan Sartre. Sartre seperti kebanyakan filsuf lainnya berfilosofi tentang manusia secara umum, tetapi Beauvoir menghasilkan karya filosofis yang bergender. 

Sartre menulis tentang manusia dalam pandangan universal, Beauvoir meskipun juga meng-universal-kan perempuan, tetapi ia menulis dari sudut pandang perempuan.

Karya-karya Beauvoir adalah wacana mengenai perempuan dari sudut pandang seorang perempuan yang mengalami sendiri menjadi perempuan. Realitas yang bergender, inilah yang membedakan filosofi Beauvoir dengan Sartre, sekaligus kritik utamanya terhadap pria yang ia tinggikan sebagai gurunya ini. 

Menurut Beauvoir, Sartre, seperti kebanyakan filsuf, tidak melibatkan konteks situasional dalam menggambarkan realitas manusia. Sartre selalu menekankan kebebasan mutlak. Peran situasi dalam memengaruhi kebebasan manusia dalam konsep filsafat Sartre dirasakan palsu oleh Daigle. 

Sementara itu dalam pandangan Beauvoir, desakan situasi (lingkungan, sosial) dan kodrat biologis, keduanya merupakan beban perempuan. Perempuan harus memutuskan untuk dirinya sendiri apa yang akan ia lakukan berkenaan dengan kedua aspek yang menekannya ini. 

Merleau-Ponty, yang juga banyak memengaruhi gagasan-gagasan Beauvoir, juga tidak pernah mengangkat seks/gender sebagai bagian dari realita yang perlu dibahas. Oleh sebab itulah Daigle mengatakan bahwa konsep Beauvoir bukan ‘lebih mendekati’ konsep Merleau-Ponty tetapi justru melampauinya.

Mengenai kebebasan, karena ia mempertimbangkan konsep situasional, Beauvoir berusaha melihat situasi tertentu dalam hubungannya dengan kebebasan individu. Sementara Sartre kurang dapat menempatkan pemikirannya dalam konteks khusus semacam ini. 

Seperti misalnya dalam harem, Beauvoir berpendapat bahwa perempuan masih dapat mencari celah untuk memiliki kebebasan. Menurutnya ada banyak cara untuk menjalani hidup. Tetapi Sartre tidak sependapat dengan Beauvoir.

Perbedaan lain antara filsafat Beauvoir dengan Sartre adalah mengenai eksistensi Liyan (Yang Lain). Sartre menerima bahwa Liyan eksis, ia menyarankan agar kita mengakui dan belajar untuk menerima kehadirannya, untuk hidup dengannya. Beauvoir melihat lebih jauh dari itu. Menurutnya, kita tidak hanya harus menerima hidup dengan Liyan tetapi juga harus memberi kebebasan bagi Liyan karena ia esensial untuk kebebasan manusia.

Kita sering salah memahami feminisme sebagai gerakan perempuan melawan laki-laki. Padahal tidak demikian. Feminisme melawan segala bentuk penindasan. Feminisme menginginkan kebaikan, kesetaraan, kebebasan manusia tanpa saling menindas.

Simone de Beauvoir, filsuf feminis ini hanya ingin agar kita mengakui sepenuhnya eksistensi manusia, perempuan dan laki-laki, dan memberikan ruang kebebasan yang setara untuk keduanya. 

Tulisan ini merupakan pemahaman dan interpretasi saya dari artikel yang ditulis Christine Daigle pada tahun 2006, berjudul Beauvoir : réception d’une philosophie.