Agama itu erat hubungannya dengan dunia politik. Pengamatan saya ini bermula sejak adanya pemilihan gubernur di Sulawesi Selatan beberapa tahun yang lalu. Maklum, pengamatan saya tidak setajam silet. Begitu banyak spanduk dan billboard yang terpampang di beberapa jalan yang ramai dilalui oleh masyarakat bermotor.
Beberapa spanduk terlihat sengaja dicoreti bahkan disobek. Entah itu ulah siapa dan untuk apa. Ada pula yang dengan sengaja menempelkan stiker di tempat parkiran di sebuah pusat perbelanjaan grosiran. Papan pengumuman itu sepertinya bertuliskan angka pajak pembayaran parkir tapi entah jumlahnya berapa karena sengaja ditutupi dengan stiker bergambar seorang calon gubernur yang sekarang telah terpilih hingga dua periode.
Pengamatan saya ini telah menjadi semakin kuat ketika saya melihat sebuah spanduk yang terpajang di sebuah lorong di dekat tempat saya berdomisili. Gambar itu terlihat ganjil. Orang itu namanya sepertinya (maaf) non-muslim. Akan tetapi, ia menggunakan peci hitam yang tentunya itu hanya digunakan oleh ummat Muslim.
Keganjilan selanjutnya adalah tertulisnya ucapan selamat hari raya Idhul Fitri sembari mendekapkan kedua telapak tangannya. Dan keganjilan yang terakhir yaitu, saya melihat adanya gambar lonceng dan telur yang menurut prior knowledge yang saya dapatkan melalui pengamatan saya merupakan lambang hari raya Paskah. Apalagi wajahnya terlihat bersahaja. Terlihat sangat kontras.
Tak lama kemudian, diumumkannya mengenai akan diadakan pemilihan walikota di tempat kelahiran saya. Lagi dan lagi, saya melihat pasangan kandidat yang keduanya menggunakan peci. Yang satunya mengenakan setelan pakaian perlente lengkap dengan dasinya. Dan yang satunya lagi mengenakan jubah warna putih, kopia putih, dan serban merah-putih menghiasi pundaknya. Di dagunya, terlihat ia memelihara janggutnya yang menurut ajaran Islam itu adalah sunnah Nabi. Tokoh ini pun sangat terkenal dengan sebutan ustadz. Namun, ia terkenal jauh sebelum ia didaulat menjadi calon wakil walikota.
Katanya, peci itu identitas tradisi nasional. Banyak pejabat yang menggunakannya. Ok! Diterima. Lalu, kenapa harus masuk masjid? Kenapa harus berpura-pura berpakaian seolah-olah mereka alim ulama’? Wallahu ‘alam.
Kali ini, statement saya semakin menjadi-jadi tatkala saya menyaksikan ustadz tersebut menyampaikan ceramahnya di Gedung Kesenian di jalan Ahmad Yani. Di kala itu, saya menghadiri sebuah acara halal bihalal untuk para Tour Guide yang diselipkan dengan penyampaian visi dan misi calon wakil walikota tersebut di akhir ceramah tausiyahnya.
Kemudian lagi, selang beberapa pekan, ustadz yang sama di kala itu memperkenalkan dirinya setelah sholat Tarwih di masjid yang letaknya sekitar tiga puluh meter dari tempat tinggal saya. Ia menyampaikan visi-misi serta janji-janjinya di depan puluhan jemaah dan seperti biasa, ia memberikan sumbangan untuk masjid kami tercinta. Kerlap-kerlip blitz kamera hp dan DSLR-pun bersaingan. Masjid pun menjadi ramai karena kedatangan public figure tersebut.
Saya semakin penasaran dengan hasil pemilihan tersebut karena tokoh idola saya menjadi salah satu calon wakil walikota. Rasa penasaran saya pun terjawab dan yang menjadi pemenang adalah calon dengan slogan Makassarta’ Tidak Rantasa’ (MTR) atau Makassar bebas sampah yang katanya akan menyejahterahkan anak lorong.
Tahun ini adalah setahun lebih ia memimpin. Itu berarti, sekitar tiga tahun lagi masa jabatannya akan usai, itu kalau tidak terpilih. Para legislator pun berbondong-bondong saling menjatuhkan dengan bekerja sama dengan para wartawan atau jurnalis untuk menciptakan pencitraan buruk dengan mengait-ngaitkan parpol.
Banyak pula kandidat yang telah mengadakan black-campaign di beberapa masjid. Contohnya, di masjid tempat saya melaksanakan sholat Tarwih. Seorang polisi berpangkat Irjen Pol bersama para ajudannya turut hadir di tengah-tengah jemaah. Setelah sholat Isya, polisi tersebut memperkenalkan dirinya beserta para ajudannya dan ibu-ibu RT setempat.
Seperti biasa, ia memberikan sumbangan untuk masjid sebanyak satu juta rupiah. Bertambahlah jumlah saldo kas masjid. Jumlah yang sangat sedikit. Mungkin nominal uang tersebut hanya cukup untuk membayar upah satu orang penceramah dalam satu malam saja.
Saya jadi teringat dengan peribahasa ‘Ada udang di balik batu’. Di dalam agama Islam, suatu perbuatan itu akan dihitung sebagai pahala jika kita ikhlas memberi atau melakukannya. Namun, jika di balik perbuatan amal tersebut ada niat terselubung, maka itu bisa dikatakan riya’ atau pamer karena adanya niat tertentu alias gagal dicatat sebagai pahala atau amal baik alias sia-sia.
Beberapa bulan terakhir, saya membaca di sebuah koran lokal yang memberitakan bahwa Bapak Walikota menyeru bawahannya untuk sholat berjama’ah jika adzan tiba. Lagi-lagi agama. Itu sudah pasti akan merangsang pemikiran dan pandangan mayoritas masyarakat muslim tentang sosok pemimpin yang religius yang tentunya menjadi dambaan dan harapan bagi beberapa pihak yang fanatik.
Inilah beberapa sebab mengapa saya memandang bahwa politik itu partikel yang tidak bisa dipisahkan bagi mereka yang memanfaatkannya. Alasan yang paling kuat mengapa hal ini sampai menghiasi ranah politik karena penduduk Indonesia didominasi oleh pemeluk agama Islam. Khususnya kota Makassar yang mayoritas penduduknya adalah suku Bugis.
Baru-baru ini, tempat tinggalku kedatangan tamu terhormat dari kepolisian dan menjadi pusat perhatian para tetangga. Mereka mendata anggota keluarga kami. Katanya “Saya cuma disuruh. Nanti bosku marah”. Dengan intonasi suara seperti dalam keadaan terpaksa dan dipaksa.
Seumur-umur, baru kali ini Kakatua kedatangan anggota polisi dengan wajah dihiasi senyum merekah dan merakyat. Ada apa ya? Apapun niatnya, mudah-mudahan yang saya pikirkan tidaklah sesuai dengan yang mereka niatkan.
Saya teringat dengan ceramah seorang ustadz beberapa hari lalu. Ia mengungkap beberapa contoh kasus penipuan yang beliau alami dan ia saksikan yang dilakukan oleh orang-orang Muslim di dalam dunia bisnis. Beliau mengatakan bahwa “… bagaimana orang mau masuk Islam kalau begini …”.
Beliau menceritakan bahwa ia pernah membeli barang di salah satu toko yang pemiliknya adalah orang Muslim yang berpenampilan seolah menjalankan sunnah nabi (berjanggut dan memakai celana isbal atau di atas mata kaki). Ustadz tersebut memprotes barang jualan si pemilik dan si pemilik mengelak bahwa dirinya tidak curang dan mengatakan “Kamu tidak liat penampilanku kah?” Tidak jauh berbeda dengan kereligi-religian ala kandidat yang membawa-bawa agama Islam sebagai amunisi yang paling ampuh.
Hal ini juga kerap kali dilakukan oleh para pengemis di beberapa traffic light dan tempat-tempat ramai yang sering kita lihat memakai jilbab lusuh dan kumal sembari menggendong anak bayi atau balita yang sepertinya tertidur pulas namun tidak alami dengan posisi telapak tangan menengadah.
Betapa Islam begitu buruk di mata dunia hingga dituduh sebagai teroris. Entah apa jadinya dunia ini tanpa Islam. Ada banyak kasus yang sengaja ditutup-tutupi dan ada pula yang dibahas secara terang-terangan tapi hanya bermaksud memfitnah. Dan kebaikan akan selalu ditampakkan jika ada niat tertentu. Sebaliknya, akan selalu ada perbuatan baik yang tak nampak karena keikhlasan. Wallahu’alam.
#LombaEsaiKemanusiaan