Kita barangkali sering mendengar cerita tentang suatu nyanyian atau mendengar nyanyian tentang suatu cerita. Cerita-cerita itulah yang akan memengaruhi tumbuh kembang manusia yang ada di suatu daerah, baik dari pemikiran, keyakinan maupun tindakannya.
Mungkin para leluhur kita terdahulu menganggap bahwa, untuk menanamkan kisah-kisah heroik dari suatu peristiwa bersejarah kepada anak cucu mereka, adalah dengan menyampaikannya melalui sebuah nyanyian. Maka, bernyanyilah mereka tentang sejarah-sejarah di dunia.
Di Yunani, kita mengenal legenda-legenda mitologi melalui urban legend seperti Atlantis, Zeus, dan Para Dewa yang bermukim di Olympus. Ada juga legenda tentang kaum jawara seperti Viking yang tak terkalahkan. Di Belanda, ada cerita tentang hantu bajak laut The Flying Dutchman yang menyeramkan.
Waktu kecil, kita sangat familiar dengan lagu-lagu dalam film animasi Disney. Bahkan sampai saat ini, mungkin nyanyian yang menceritakan kisah para tokoh yang ada di film itu masih melekat di kepala. Ada Snow White atau Puteri Salju, Cinderella sampai Frozen.
Selain cerita-cerita yang melegenda tersebut di atas, kita tentu juga punya riwayat tersendiri yang diwariskan oleh para leluhur di Nusantara, melalui nyanyian. Yang paling terkenal, semisal, Malin Kundang, Timun Mas, Sangkuriang, dan lain sebagainya.
Dalam bahasa yang lebih universal, tradisi lisan yang kita kenal ini disebut dengan istilah Folklor. Istilah tersebut memiliki dua muasal. Yang pertama, berasal dari Bahasa Jerman, yaitu volkskunde. Diperkenalkan oleh William John Thoms pada tahun 1846. (Kuta Ratna, 2011)
Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa istilah Floklore secara etimologis leksikal, berasal dari bahasa Inggris, yakni Folk (rakyat, bangsa, kolektivitas tertentu) dan Lore (adat istiadat, kebiasaan). Maka, Folklore bisa dikatakan sebagai aktivitas kelisanan dari suatu kelompok masyarakat.
Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Folklore cenderung dianggap sebagai hal yang lebih luas, seperti tarian dan arsitektur bangunan, sehingga bukan merupakan bagian dari tradisi lisan yang lebih spesifik seperti cerita rakyat, teka-teki, peribahasa, serta nyanyian rakyat. (Danandjaja, 2007)
Dalam pendapat yang lebih moderat, Folklor dibagi menjadi dua bagian, yaitu Folklor lisan dalam hubungan ini disamakan dengan sastra lisan, sedangkan Folklor setengah lisan dan non-lisan masuk dalam bagian tradisi lisan.
Kesimpulannya, tradisi lisan merupakan wilayah kajian antropologi dan kajian budaya (cultural studies) sedangkan sastra lisan merupakan wilayah kajian sastra dan linguistik. (Kuta Ratna, 2011).
Dengan ini, maka kita telah sampai pada titik terang bahwa tradisi lisan (oral tradition) merupakan kebiasaan atau adat yang berkembang dalam suatu komunitas masyarakat, yang direkam dan diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa lisan.
Tradisi lisan juga telah ditetapkan sebagai bagian dari warisan budaya bangsa, dalam konvensi UNESCO pada 17 September 2003. Cara yang cukup efektif untuk menjaga serta melestarikan tradisi lisan di seluruh dunia. (Gapur dkk, 2018).
Mengenal Sastra Lisan
Nenek moyang kita biasanya bernyanyi dalam bahasa daerahnya masing-masing, tentang sebuah cerita yang cukup terkenal di masanya. Cerita yang mereka nyanyikan membahas mengenai peristiwa perang, para pahlawan yang telah gugur, atau hubungan kekerabatan antarwilayah.
Genre yang mereka bawakan pun bervariasi, mulai dari tempo yang lambat seperti lagu sedih, hingga tempo yang cepat dan bersemangat. Lagu dengan tempo yang lambat biasanya untuk mengenang mereka yang telah wafat. Sedangkan lagu yang cepat bertujuan sebagai penyemangat dalam perang.
Nyanyian seperti itu akan kita dengar terus-menerus, sebab nyanyian rakyat sebagai seni tradisional merupakan wujud kebudayaan dari satu daerah, di mana ia memegang peranan tertentu dalam kehidupan masyarakat. Ia merupakan manifestasi di mana seni tumbuh dan berkembang. (Sedyawati, 1986).
Di Maluku, tradisi sastra lisan (kapata) masih bisa kita nikmati saat ini. Penduduk asli Maluku biasanya menyanyikan lagu-lagu daerah sebagai instrumen dalam kegiatan adat, seperti upacara pengukuhan Raja (Kepala Desa), pengangkatan dan pengesahan pemangku adat hingga sasi.
Di Kepulauan Gorom, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), sastra lisan yang mereka gunakan bernama Lusi. Mereka mendendangkan syair-syair historis ke dalam nyanyian dan tarian pada rangkaian Lusi. Setiap gerakan mewakili nyanyian, yang berarti memiliki makna dan nilai mendalam.
Selain orang-orang di Kepulauan Gorom, masyarakat di Kepulauan Kei juga masih berjuang untuk menghidupkan tradisi sastra lisan serupa. Mereka mencoba melakukan apa yang dilakukan Orwell dalam esai-esainya untuk mendobrak batas-batas diskursif kultur kritik.
Mereka, yang mendiami Kepulauan Kei, disebut sebagai Orang Evav. Mereka lahir dan tumbuh dengan tradisi yang sangat kuat. Praktik sastra lisan juga masih bisa kita jumpai di sana. Dalam Bahasa Kei disebut sebagai Siksikar Evav atau Nyanyian Adat Orang Evav.
Nyanyian Leluhur Evav
Menurut Jaquelin Pattiasina, nyanyian yang berisi nasihat-nasihat dalam bahasa Kei dikenal dengan sebutan Snib Teteyen (Nasehat Orang Tua), biasa digunakan sebagai sarana pembentukan karakter anak muda, agar menjadi penganut nilai luhur kebudayaan Orang Evav.
Ada tujuh jenis nyanyian adat yang biasa didendangkan oleh para leluhur terdahulu dan hingga kini masih terngiang di telinga anak-anak Evav. Dari nyanyian itu, leluhur seakan membuat sebuah perjanjian dengan anak cucu, supaya mereka tidak boleh lupa dari mana mereka berasal.
Pertama, adalah Siksikar Ngelngel. Nyanyian ini menggambarkan suatu peristiwa yang dialami seseorang atau sekelompok masyarakat yang mengandung makna historikal. Ngel-ngel berasal dari kata ngel (ngelan) yang artinya ‘bagian’. (Setitit M, 2004).
Yang kedua, ada Siksikar Wawar, yang merupakan nyanyian adat yang mengisahkan sebuah perjuangan heroik dari seseorang maupun sekelompok orang. Wawar juga dikenal dengan sebutan Walar yang jika diterjemahkan artinya adalah bercerita melalui lagu.
Nyanyian adat yang menceritakan tentang kebesaran sosok seseorang atau marga dikenal dengan sebutan Siksikar Baut. Selain itu, nyanyian ini juga terkenal sebagai nyanyian untuk menyambut tamu kehormatan yang datang ke Kepulauan Kei, serta dinyanyikan pula di acara yan’ur mango hoi.
Selanjutnya adalah Siksikar Atnanit. Nyanyian ini hampir sama dengan Baut, namun yang membedakan mereka berdua adalah tambahan nasihat atau petuah yang ada di dalam Atnanit, sesuai dengan kebesaran dari orang atau marga bersangkutan.
Yang kelima ada Siksikar Maroin, yang berasal dari kata raron, artinya ‘tangisan’. Kata Ron merupakan bentuk kata kerja yang berarti ‘menangis’. Seperti lagu sedih pada umumnya, Maroin dinyanyikan dengan pilu untuk memancing rasa empati dari pendengarnya.
Jika Baut dan Atnanit dinyanyikan untuk menggambarkan kebesaran seseorang ataupun kelompok, maka Siksikar Snehat adalah antitesisnya. Nyanyian ini digunakan untuk menyindir, mengkritik, dan menasihati mereka agar mengubah sifat-sifat buruk dan mencegah dari perbuatan amoral.
Dan yang terakhir, ada Siksikar Soryat. Biasanya leluhur menyanyikannya untuk meluapkan kegembiraan dari seseorang atau sekelompok masyarakat yang tengah merayakan hari bahagia, penuh suka cita dalam sebuah acara.
Nyanyian-nyanyian itu diciptakan untuk menjadi pakaian bagi kita, yang mencirikan identitas, warna, serta pribadi kita. Jika suatu hari nanti anak cucu kita sudah tidak bisa lagi mendengarnya, maka para leluhur akan menganggap kita sebagai penyanyi yang sumbang atau penjahit yang buruk.
Sebab tugas kita sebagai penjaga nilai-nilai kebudayaan yang diwariskan oleh para leluhur itu dinyatakan telah gagal. Kita kalah saing oleh budaya pop yang kental dengan modernitasnya. Tetapi, semoga saja itu tidak akan terjadi. Sebab faktanya, tradisi sastra lisan masih ada hingga saat ini.
Hal itulah yang disebut Maisie Junady sebagai Culture Art Application and Simulation Interface. Bahwa, kita akan mengenali suku-suku itu dan keunikannya masing-masing. Kita akan bisa lihat bahwa ada nilai-nilai universal yang sama, sehingga dapat menciptakan keharmonisan antarmanusia.
Sumber:
- Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan Iain-lain. Jakarta: Grafiti.
- Gapur, Abdul. Baiquni, Rivai. Pujiono, Mhd. 2018. Tunda-Tunda Bamban Dalam Kebudayaan Masyarakat Melayu Tamiang Di Aceh (Analisis Teks, Koteks dan Konteks). Jurnal Etnografi Indonesia. Vol. 03, Edisi 2, Desember 2018. Jakarta: Etnosia.
- Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Sedyawati, Edi. 1986. Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah Tari. Jakarta: Direktorat Kesenian, Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta. DepartemenPendidikan Dan Kebudayaan.
- Setitit, M. 2004. Mengenal Sastra Kei. Tual: Percetakan Nusantara.
- Sumitri, Ni Wayan. 2016. Tradisi Lisan Vera: Jendela Bahasa, Sastra, dan Budaya Etnik Rongga. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.