Aku tak tahu siapa indukku. Akupun tak tahu asal muasalku. Yang kuingat hanyalah angin, tanah, dan tempat sampah. Tepat setelah lahir, aku ditakdirkan untuk melayang ringan di tepian hutan. Dengan anatomi yang belum maksimal ditambah ringannya bobot badan, aku terhempas tipis menuju tepian kota. Tidak ada yang sedang aku pikirkan saat itu. Hanya sebuah kepasrahan tanpa kepastian yang membelenggu.

Cahaya di langit sedang membias jingga cerah. Angin sedang malas-malasnya berhembus. Tepat saat itu juga tubuh lemah ini perlahan merendah dari ketinggian. Semula yang melambung pada ketinggian sekian meter di atas permukaan laut, sedikit demi sedikit mulai merendah pada daratan yang hampar. Akhirnya setelah beberapa saat, aku akan menyentuh tanah untuk pertama kalinya.  Ya, benar sekali. Tanah.

***

Hidup sebagai benih bunga dandelion memang tidaklah mudah. Takdir pahit adalah makanan pokok yang wajib kami konsumsi saat mulai beranjak lahir. Memisahkan diri dengan sang induk, melupakan tempat kelahiran, dan pergi ke arah tak bertujuan adalah intuisi wajib dari naluri kami.

Kami mulai berhamburan ketika sapuan angin menghantam kelopak bunga sang induk. Dalam satu kelopak penuh terdapat ratusan saudara kandung yang bersiap menghadapi takdirnya masing-masing. Setiap dari kami tidak ada yang saling kenal mengenal. Jangankan untuk mengenal, menyapa saja adalah hal yang paling tidak mungkin bagi kami.

Ketika angin melambungkan kami ke atas cakrawala, itu tandanya siklus kehidupan sebagai makhluk yang semestinya sudah dimulai. Tidak ada yang tahu peristiwa dan ketentuan apa yang akan kami alami. Entah kenikmatan atau ketidaknyamanan, itu semua bukanlah permasalahan.

***

Beberapa meter lagi aku akan menyentuh tanah untuk pertama kalinya. Terlihat warna cokelat tua menggoda dengan variasi kerikil di sekitarnya. Mungkin pada saat itu sabar adalah hal yang tidak bisa aku pertahankan. Sebab tanah merupakan pasangan terbaik bagi benih muda yang baru saja memulai siklusnya. Melihat tanah dengan segala unsurnya membuat diri semakin tidak tahan untuk segera bersetubuh dengannya.

Namun takdir berkata lain, angin tiba-tiba kerasukan ruhnya lagi sehingga tercipta hembusan semi tornado yang menghantam tubuh lemahku. Aku terpental ke arah selatan, berputar pada poros tubuhku, lalu berbalik arah ke utara menuju tempat pusat peradaban manusia. 

Netra teralihkan dari yang semula birahi melihat godaan tanah yang luar biasa cokelatnya, kini menjadi sayu memandang beton dimana-mana. Secercah pun tidak aku temukan lahan kosong. 

Dari atas cakrawala setiap sudut kota terlihat jelas. Mulai dari pinggiran hingga pusat kota, semua dipenuhi oleh hiruk pikuk kesibukan manusia. Terlihat tumpukan besi dan beton disusun sedemikian rupa sehingga hampir menyentuh tipisnya awan. Mesin-mesin berbentuk kubus berjalan melintasi garis hitam dengan pola putih nampak jelas di tengahya.

Setelah itu, muncullah udara hitam pekat dari lubang duburnya ketika benda itu mulai bergerak. Aku tidak mengerti terhadap apa yang sedang aku lihat. Semua seakan menjadi dunia sihir bagiku. Tempat yang seharusnya jadi muara indah tidak dapat aku temukan.

Tibalah angin untuk melakukan hibenarsi singkatnya lagi. Ia berhenti berhembus, membuat diriku perlahan mendarat jatuh dengan perputaran rotasi. Terlihat sebuah tumpukan sampah yang menjulang tinggi di tengah-tengah lahan luas. Disamping-sampingnya tercecer benda-benda buluk dengan logo yang masih menembel erat.

Netra tetap saja terus mencari jikalau masih ada harapan untuk menemukan secercah tanah di antara tumpukan tak berguna itu. Tengok kanan, tengok kiri selalu aku lakukan guna memastikan hal tersebut. Karena intuisi dan naluri alamiah, sekelibat warna cokelat yang menunjukkan pesona dari tanah berhasil aku temukan. Sekelibat pancaran warna itu sangat mencuri perhatian naluriku sebagai benih muda.

Entah takdir atau hanya ketidaksengajaan, sisa hembusan angin semi tornado tadi mengantarkanku turun ke arah semburat warna cokelat itu. Semakin mendekat, semakin mendekat dan akhirnya jarak antar kita hanya beberapa jengkal saja.

Akan tetapi, tepat sebelum mendarat aku baru menyadari bahwa tanah tersebut ternyata berada pada sebuah benda buluk berbentuk tabung serta memiliki tutup yang sudah camping dengan posisi setengah terbuka. 

Aku tidak paham apa nama benda itu, yang jelas penampakan wujudnya terlihat seperti wadah bagi suatu benda. Selain itu, terdapat semacam akar di bagian belakang tubuhnya. Jumlahnya hanya satu serta memanjang dengan ujung akar yang aneh bentuknya.

Semua hal yang aku temui itu mengingatkanku terhadap sebuah kalimat yang aku dengar sebelum melambung tinggi dihempas angin. Tidak pasti dari mana asal kalimat itu aku dengar, yang jelas ungkapan tersebut menyinggung tentang peri kehidupan dan hakikat peran dari setiap makhluk hidup.

***

Wadah itu mempersilahkan aku untuk singgah. Meskipun tidak ada ucap diantara kami, namun ritual permisi dan penyambutan tetap terhelat pada laku batin pribadi masing-masing. Sungguh awal siklus kehidupan yang istimewa bagiku.

Anatomi tubuhku telah bersetubuh dengan tanah. Unsur hara yang secukupnya, serta air yang sewajarnya sudah mampu membuat diriku tumbuh. Walau hanya sekepal tanah yang terwadah pada tabung, tunas dan pangkal akar mulai timbul di bagian atas dan bawah tubuhku. 

Semakin hari, semakin meninggi di pangkuan yang tidak terduga. Hidup di atas benda bekas dan berada di antara tumpukan tak berguna, sekalipun tidak pernah terlintas di benakku sebelumnya.

Seperti yang sudah aku ucapkan kepadamu, hidup sebagai benih bunga dandelion memang tidaklah mudah. Takdir pahit adalah makanan pokok yang wajib kami konsumsi saat mulai beranjak lahir. 

Namun, ucapan itu belum aku tuntaskan. Sebab semua itu terjadi dengan ketidaksengajaan. Apa yang aku sebut dengan takdir kadang terbentuk dari kumpulan kebetulan yang tersusun atas ketidaksengajaan. Demikianlah takdir yang aku alami, ia lebih sering nongkrong pada posisi itu.


Sukoharjo, November 2020