Kasus ke-1

“Beli baju baru nih?”

“Iya, mumpung lagi diskon. Sudah bosen juga sama baju-baju yang di almari.”

Kasus ke-2

“Ciee HP baru nih?”

“Iya, pengen coba keluaran terbaru. Yang lama juga udah lecet sana sini.”

Kasus ke-3

“Banyak banget peralatan make up nya?”

“Ini dulu aku beli terus nggak cocok. Ya udah aku beli merk lainnya deh. Padahal baru aku pake sekali doang.”

Kasus ke-4

“Kayaknya baru kemaren deh beli sepatu baru. Kok beli lagi?”

“Sekarang kan musim hujan, harus punya banyak cadangan sepatu.”

Kasus ke-5

“Ciee beli mesin cuci. Sudah capek nyuci pakai tangan ya? Beli di mana? Di tukang kredit?”

“Iya lah, tetanggaku baru beli mesin cuci. Aku juga harus bisa dong meskipun harus utang dulu.”

Hmm, oke lah. Cukup 5 contoh kasus saja yang menggambarkan sikap konsumtif masyarakat Indonesia. Sikap konsumtif yang mengakibatkan kantong cepat kering meski masih tanggal muda. 

Masyarakat modern memang sudah tidak lagi bisa membedakan mana yang termasuk kebutuhan dan mana yang keinginan, mana yang prioritas dan mana yang bukan. Mereka sudah terbiasa membeli apa yang sebenarnya hanya sebagai alat pemuas diri.

Misalkan saja pada kasus yang pertama. Ini biasanya paling banyak dialami oleh para ibu-ibu dan anak perempuannya. Ketika masuk pasar atau mall besar, pandangan mata tidak akan terlepas dari deretan baju yang terpajang rapi. Apalagi kalau sudah ada label diskon. 

Mata yang awalnya terlihat sayu akan langsung terbelalak. Padahal baju yang di dalam almari kamar sudah penuh, dan sebenarnya mereka tidak sedang membutuhkan itu.

Tapi namanya juga manusia, nafsu selalu berhasil mengalahkan. Dan sikap konsumtif mereka akhirnya keluar. Dengan anggaran yang terbatas, ia akhirnya rela mengesampingkan keperluan lain untuk menuruti sebuah keinginan.

Sikap konsumtif ini sudah sering kali dijumpai, apalagi pada masyarakat kelas atas. Mereka terbiasa membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Membeli banyak mobil, tas mewah, sepatu impor bahkan untuk membeli makanan saja harus di tempat yang mewah.

Celakanya, sikap ini sudah merambah pada masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah, di mana mereka masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. 

Misalkan saja seorang pekerja yang memiliki gaji di bawah 1 juta harus rela  mengajukan kredit untuk membeli smartphone dengan harga 2 juta. Ia membelinya bukan karna ia sedang membutuhkan, tapi karna kegengsian dengan lingkungan sekitar.

Sikap seperti inilah yang menjadikan Indonesia sebagai sasaran empuk untuk produk-produk asing. Bagaimana tidak? masyarakat merasa lebih bangga jika dapat membeli produk buatan luar negeri yang harganya bisa saja mencekik rupiah. 

Produk asing yang mahal dan mewah dipandang sebagai hal yang tak biasa, sehingga siapa yang bisa memilikinya akan mendapat penghormatan yang lebih di lingkungan sekitarnya yang menjunjung tinggi kegengsian. Tak peduli di balik itu semua harus ada drama tentang utang.

Orang yang kaya dan memiliki dana yang lebih untuk memuaskan kebutuhannya mungkin masih wajar jika ia konsumtif. Karna ia mempunyai daya untuk membeli barang-barang yang diinginkan tanpa takut terlilit hutang. 

Sedangkan saat ini sikap konsumtif sudah menjangkiti siapa saja, tidak terkecuali orang-orang yang hidup dalam kekurangan. Seringkali orang-orang rela berhutang atau bahkan mengajukan kredit demi menuruti keinginan mereka.

Contohnya, saat menjelang lebaran. Orang-orang akan berbondong-bondong untuk membeli barang baru. Baju baru dan sepeda motor baru. Padahal saat itu ada baju lama yang jarang terpakai dan terlihat masih bagus. 

Namun karena suatu keinginan, orang akan membeli baju baru meskipun kondisi keuangannya sedang tidak memungkinkan. Dan pada akhirnya ia rela berhutang. Inilah mengapa orang-orang kelas ekonomi menengah ke bawah tetap saja terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan.

Memang terkadang ada beberapa orang yang membantah pendapat ini dengan berkata, “Kalau nggak kredit ya kapan bisa belinya.” 

Iya aku paham untuk barang-barang tertentu yang memang diperlukan sah-sah saja jika sampai melakukan kredit misalnya motor sebagai alat transportasi sehari-hari. Karena tidak mungkin mereka bisa membelinya secara kontan.

Tapi untuk barang-barang seperti kulkas, mesin cuci dan lain sebagainya. Kalau memang tidak dibutuhkan mengapa harus sampai rela memilikinya dengan berutang? Hal itu malah bisa menambah kesulitan. Uang yang seharusnya dibelanjakan untuk bahan makanan harus terkurangi untuk membayar hutang.

Apa semua karna kegengsian? Atau memang benda-benda seperti kulkas dan mesin cuci itu dibutuhkan? Seandainya tidak mempunyai kulkas juga tidak masalah. Makanan seperti telur, buah-buahan dan sayuran masih bisa disimpan di tempat lainnya. 

Begitupun dengan mesin cuci, selama mesin cuci tidak ada kita masih bisa mencuci pakaian dengan kedua tangan. Barang-barang tersebut boleh dibeli kalau memang dibutuhkan dan tentunya ada dana yang mencukupi. Agar kebiasaan untuk membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan dapat perlahan-lahan menghilang.

Kedua barang tersebut juga akan menambah beban biaya listrik yang semakin membengkak. Sudah setiap minggu membayar tagihan utang, setiap bulan juga harus membayar tagihan listrik yang semakin mencekik. Sedangkan penghasilan masih pas-pasan. Bagaimana kondisi keuangannya tidak kacau kalau seperti ini?

Masyarakat harus sudah mulai selektif dalam berbelanja. Mengingat keinginan manusia yang terus bertambah sedangkan alat pemuasnya semakin terbatas. 

Terutama para kaum muda yang sering menghambur-hamburkan uang untuk membeli baju, tas, sepatu dan barang-barang lainnya yang tidak diperlukan. Bersikaplah bijak pada uang! Belilah yang dibutuhkan bukan yang diinginkan! Jangan mau terjebak terus-terusan dalam lingkaran setan kemiskinan!