Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Ungkapan ini termuat dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama. Segala upaya dari rakyat untuk mencapai kemerdekaan bangsanya, mereka rela mempertaruhkan jiwa, raga, bahkan darah. Setiap bangsa memiliki cita-cita mulia terbebas dari kekangan dan perundungan bangsa lain.
Sejatinya kemerdekaan adalah rahmat dari Allah ta’ala yang wajib disyukuri. Segala bentuk penjajahan terhadap suatu negeri, baik dalam bentuk fisik atau intelektual merupakan bagian dari tindak kejahatan luar biasa.
Mencampuri urusan yang bukan wilayahnya tanpa persetujuan saja sudah tercela, apalagi menggoyangkan kestabilan serta keharmonisan kehidupan di dalamnya.
Istilah kemerdekaan dalam Islam dikenal dengan “istiqlal”, atau secara bahasa adalah bebas. Dalam ajaran Islam kebebasan dan kemerdekaan menjadi prioritas sebagaimana hal ini merupakan karakteristik peran Islam masuk ke wilayah Jazirah Arab pertama kali, sebagai protes dan sikap terhadap praktik perbudakan.
Secara historis, kebebasan individu sudah dijamin dalam Islam melalui pernyataan Nabi Muhammad Saw dalam isi piagam Madinah 1400 tahun silam.
Al Quran mengapresiasi perjuangan para pahlawan yang merebut kemerdekaan dan menjaga spirit perjuangannya sebagaimana dalam surat Ali Imran ayat 169.
وَلَا تَحْسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمْوَٰتًۢا ۚ بَلْ أَحْيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, sebenarnya mereka itu hidup seraya mendapat rezeki di sisi Tuhannya.”
Menurut pakar al Quran Muchlis Hanafi (Republika, 21/11/2015) ayat tersebut menjelaskan heroisme pahlawan kemerdekaan memiliki derajat tinggi yang sepatutnya “dihidupkan” jasanya, meski jasadnya telah tiada.
Pertimbangan ini tidak berlebihan. Apresiasi terhadap nyawa mereka yang telah gugur termaktub pada kata “ahyaa”, dengan begitu mereka tetap hidup abadi meski jasad menjadi tanah.
Salah satu langkah positif pemerintah yang patut diapresiasi adalah menyematkan gelar pahlawan kepada mereka yang dianggap sangat berjasa tempo dulu.
Seruan Berjuang
Terma perjuangan banyak ditemukan dalam “kamus kehidupan” Islam dengan istilah “jihad”. Namun, sayangnya istilah ini seolah menjadi alergi di kalangan masyarakat Indonesia. Ternyata, penyakit anti-kata “jihad” berasal dari ulah orientalis Eropa (Triana, 2015). Ironisnya, penduduk muslim di Indonesia yang mayoritas justru menjadi korban adu domba penyesatan terma tersebut.
Dalam konteks Indonesia, mantan ketua umum PP. Muhammadiyah Syafi’i Ma’arif mengartikan jihad sebagai kesungguhan untuk menciptakan tatanan sosio-politik yang setara, adil dan beradab (Syafi’i dalam Triana, 2015).
Hal ini mengembangkan interpretasi terkini dan elaborasi dalam mengisi kemerdekaan Indonesia. Serta menyadarkan kita bahwa merebut kemerdekaan tidak sebatas apa yang terjadi pada tahun 1945.
Semangat jihad era 1945-an menjadi contoh praktik hasil diskusi sekumpulan masyarakat yang ingin bebas tanpa memperbanyak panggung diskusi dan nihil aksi, seperti pekikan takbir pidato Bung Tomo dengan takbirnya yang mampu membakar semangat arek-arek Surabaya.
Allah ta’ala turun tangan langsung dalam instruksi menjaga kedaulatan suatu Negara dan menyikapi pihak asing yang sedang mengusik, sebagaimana Dia berfirman dalam surat Al-Anfal ayat 15:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا لَقِيتُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ ٱلْأَدْبَارَ
" Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)."
Kata “tuwalluhum al-adbar” dalam ayat di atas berarti kabur dari medan perang. Dalam hukum Islam jika seseorang kabur dari perjuangan, maka dia dianggap sebagai musuh Islam, sebagaimana rasul Muhammad bersabda melalui riwayat Imam Ahmad dengan takhrij Abdullah bin Umar, “Maka kami pun menjawab ‘Kami termasuk orang-orang yang melarikan diri’.” Mendengar hal itu, Rasulullah berkata “Tidak, tetapi kalian termasuk orang-orang yang menyerang (musuh Islam). Aku termasuk golongan kalian dan golongan orang-orang Muslim.”
Hadiah Perjuangan
Sejarah mencatat perjuangan para pahlawan bangsa ini, dan sebagian besar mereka merupakan muslim. Dari prinsip perjuangan berupa doktrin agama yang menjadi motivasi perjuangan mereka, maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh agama sangat dominan. Tidak bisa kita menafikan fakta empiris tersebut.
Dan, satu lagi sejarah yang tak boleh terlupakan dari kita adalah proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 belum diakui dunia secara terbuka, apalagi oleh pihak Belanda selaku penjajah kala itu.
Tetapi, Indonesia baru muncul di muka dunia saat berhasil meraih simpati dan dukungan di atas podium PBB pada 27 Desember 1949.
Jadi, kita mendapati fakta sejarah bahwa para pejuang kemerdekaan masih terus mengabdikan diri sampai mendapat pengakuan dunia.
Jumlah populasi muslim di Indonesia yang banyak kala itu tidak hanya mewarisi semangat perjuangan yang taklid buta. Semangat anti-penjajahan dan penjajah sudah terpatri, dan akan membara ketika mereka dalam posisi terancam.
Sekali lagi bangsa kita tidak akan memulai perlawanan sebelum adanya penjajahan.
Refleksi yang dihasilkan dari kenyataan ini adalah nilai perjuangan mempertahankan kemerdekaan tidak hanya sebatas orasi di atas mimbar. Estafet semangat kemerdekaan harus selalu diisi dengan perbuatan positif yang berprinsip pada anti-penjajah dan penjajahan.