Statemen "hijab itu tidak wajib" kembali menemu momen perbincangan yang hangat. Gravitasi yang ditimbulkan menarik banyak pro-kontra dari kalangan cendekia di media sosial. Kedua belah pihak saling melempar beragam argumen "ilmiah" demi meruntuhkan lawan. Walau terkadang kejanggalan kerap kali ditemui dalam selaksa hujjah yang dijadikan dalil untuk menarik sebuah kesimpulan hukum.
Ungkapan "hijab tidak wajib" memang tidak sepenuhnya salah, namun juga bukan seutuhnya benar. Tahriiru muqtadha Ad-dalaalah menjadi tolok ukur benar dan tidaknya ungkapan tersebut. Sehingga, pelurusan makna menjadi hal paling utama dalam menengahi kebenaran hukum yang akan ditetapkan atasnya. Maka pemahaman "Muthlaq wa muqayyad" sangat dihajatkan.
Benar "hijab tidak wajib" dalam beberapa keadaan, seperti di rumah, di kamar, dan tempat-tempat yang tidak memungkinkan orang yang bukan mahram melihatnya dalam keadaan tidak berhijab. Benar "hijab tidak wajib" bagi pria. Benar "hijab tidak wajib" bagi wanita yang belum balig. Namun salah "hijab tidak wajib" dalam sebalik keadaan yang disebutkan; hijab wajib bagi wanita balig di tempat-tempat terbuka.
Lantas siapa bilang hijab itu dalam keadaan kedua wajib? Jawabnya salafunasshalih, para sahabat, tabiin dan tabiut tabiin, generasi emas umat Islam. Mereka memiliki legalitas dalam menafsir ayat-ayat quran.
Kedalaman ilmu Bahasa Arab, Asbaabun nuzul, 'Uluumul quran, Ushul fiqh, dan ilmu-ilmu alat lainnya yang mereka miliki menjadikan mereka berhak berijtihad dalam memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat suci, bersebab Alquran wahyu Allah yang tidak bisa ditafsir seenak perut.
Rasulullah shallAllahu 'alaihi wasallam, dalam sebuah hadis besabda "laa tajtami'u ummati 'ala addhalaalah"; umatku tidak akan mungkin bersepakat dalam kesesatan.
Yang dimaksud dengan "ummati" dalam hadits ini adalah para ulama alim mujtahid, sebab gerak-gerik yang mereka lakukan selalu dibangun atas dasar ilmu. Beda halnya dengan orang-orang awam. "Ijma orang awam, kata imam Asy-syatibi dalam Al-I'tisham, tidaklah dianggap", maka tidak ada hak bagi orang-orang awam untuk memberikan pendapat terhadap tafsir suatu ayat.
Al-'Ishmah, jaminan terhindar dari kesesatan disematkan oleh Rasulullah shallAllahu 'alaihi wasallam hanya kepada 'ulama-ulama alim mujtahid yang berkumpul kemudian bersepakat akan suatu hukum. Inilah yang kita kenal dalam ushul fiqh dengan istilah ijma' Al-'ulama.
Ijma' satu di antara dasar hukum selain Alquran dan As-sunnah yang disepakati. Hal itu dilandaskan pada firman Allah subhanahu wa ta'ala.
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (An-nisa: 115)
Menyinggung kata ijma', para salafunasshalih telah bersepakat bahwa hukum hijab adalah wajib. Yang menjadi khilaf kemudian adalah bentuk hijab dan batasan aurat.
Lalu bagaimana jika setelah ijma' wajibnya berhijab muncul argumen baru yang menyatakan bahwa hijab itu tidak wajib? Disiplin ilmu Ushul fiqh telah menjawab masalah ini.
Dalam kitab "Ushul fiqh lidzi laa yasa'u Al-faqiiha jahluhu" prof. Dr. Iyad bin Naami mengelompokkan jenis ijma' ditinjau dari kejelasan pernyataan ulama terhadap ijma itu sendiri ke dalam tiga bagian; ijma' sharih, ijma' sukuuti dan ijma' dhimniy.
Dalam menaggapi pendapat baru mengenai hukum hijab serta bagaimana kedudukannya sebagai hukum yang berseberangan dengan kesepakatn para ulama, kita butuh memahami ijma' yang ketiga, ijma' dhimni.
Ijma' dhimni adalah titik sepakat dari dua atau lebih pendapat ulama yang berselisih. Dalam konteks hijab, para ulama sepakat bahwa hijab itu wajib. Hanya saja, mereka berselisih dalam batasan dan bentuknya. Maka kewajiban hijab adalah ijma' dhimni dan menyelisihinya tidak boleh; dalam artian, pendapat tersebut tertolak.
Argumen tidak wajibnya hijab sangat rapuh, di samping menyelisihi pendapat ulama-ulama yang berkompeten dan berkapasitas di bidang ilmu tafsir, juga pendapat tersebut lahir dari rahim otak yang dibuahi nafsu.
Berfatwa dalam hal yang bukan bidang mereka. Tafsir ayat harus dikembalikan pada ahli tafsir. Seumpama sakit gigi. Apa kiranya yang akan terjadi jikalau tukang las motor ikut campur berfatwa?
Sejatinya hal ini sudah jamak bagi orang Islam, kewajiban hijab bukanlah hal baru. Hanya saja kemudian orang-orang yang tidak senang dengan gerakan Islamisasi tak rida dan tak akan pernah rida ketika Islam terwujud dalam akhlak orang-orang muslim.
De-islamisasi berkedok de-radikalisme. Membungkus kebencian dengan selimut kasih sayang. Membentur agama dengan budaya, agama dengan negara, demi memuaskan hawa nafsu belaka. Dan pada akhirnya tetap saja menolak satu hukum Islam sama dengan menolak syariatnya secara menyeluruh.
Sudah menjadi rahasia umum, kebencian terhadap Islam akan berlanjut hingga kita ikut millah mereka. Justru sebuah tanda tanya besar harus kita taruh dalam benak, kala mereka rida dengan apa yang kita kerjakan. Mereka yang berubah ataukah kita yang mulai salah?