Sebagai pilar peradaban, manusia telah mampu mengenali ruang dan waktu dalam rangka merekayasa alam. Alam yang dibentuk sedemikian rupa, untuk tunduk pada batas ruang yang dibuat, dipenggal dan diciptakannya.
Dengan ini, makhluk yang bernama manusia itu mampu merancang lingkungannya atas kepentingannya sendiri, mengidentifikasi dan memanipulasi alam menjadi sumber daya. Mereka menyimpan dan mengeksploitasinya sedemikian rupa.
Kunci sukses manusia sebagai penakluk ini tak lain dan tak bukan adalah kemampuannya mengorganisasi diri untuk mengeruk berkah alam pada skala yang luas. Skala yang mungkin tak terbayangkan sebelumnya oleh si manusia itu sendiri.
Maka, manusia sejatinya telah sampai pada tahap di ujung kodrati, yaitu penakluk alam sebagai pantulan dari cermin revolusi kognitif.
Dampaknya mencengangkan bagi peradaban, namun juga mengkhawatirkan bagi keselamatan, bahkan telah mengancam kehidupan. Krisis iklim, perang, bencana ekologis, kelaparan, pengucilan, dan seterusnya telah juga disaksikan.
Untuk itu, apakah masih ada kearifan? Sebuah Postulat Etika untuk membatasi kuasa manusia si penakluk. Etika yang membatasi nafsu rakus untuk keselamatan, keselamatan bahkan untuk manusia si penakluk itu sendiri.
Bila engkau cari, mungkin etika itu pun telah ada. Ada dalam saripati kitab suci, kearifan adat dan mungkin juga dari kebijaksanaan para pemikir.
Tinggal engkau renungkan lagi, untuk apa revolusi kognitif disematkan di kepalamu yang telah memutih rambutnya itu, atau engkau tanya pada air yang mengalir, adakah tanda-tanda alam yang terlewatkan?
---
Mari aku bacakan puisi untukmu; "Bisakah engkau petik satu saja bintang di langit untukku?"
"Tidak," ungkapnya.
"Kenap?" sanggahku.
Dia pun membalas, "Karena engkau terlalu melata rindu di tanah berdebu."
---
Aku tak berharap engkau mendengar si pemimpi itu. Mulutnya komat-kamit tentang akhir zaman, tentang manusia menjadi monyet, dan monyet menjadi manusia.
Memang tak biasa perubahan wujud antar-makhluk itu. Anak kecil pun tahu bahwa itu omong kosong. Namun, pernahkah engkau mendengar tentang Hanoman penyelamat Sinta? Atau, pernahkah engkau mendengar Raksasa si pengagum cinta, sehingga Rama sang kekasih pun tak mampu menyerap maknanya.
Sudahlah. Ini memang tentang seorang pemimpi, yang dengan segala upayanya ingin menenyelamatkan kembali revolusi kognitif kaumnya.
---
Patria adalah tanah air. Patria yang melambungkan anak bangsa dalam semangat, memompa darah, memacu jantung, dalam idiom setia pada tanah air.
Dengan harta maupun nyawa masuk dalam ruang-ruang Patria, di hutan, di tebat, di ladang dan di sawah. Patria menumbuh subur dalam jiwa-jiwa anak bangsa, mengalirkan daya hidup dan penghidupan, membentuk kearifan.
Patria kadang hadir sebagai pengalaman kolektif tentang merawat harapan. Perlambang tentang hidup, tentang orang belukar, orang ladang, orang rimba yang membentuk makna. Kadang magis, kadang pula spiritual. Patria adalah simbol-simbol tentang tanah air.
Patria adalah sosok ibu. Ibu yang menyediakan rahim untuk kehadiran cinta dan kasihnya, menyediakan seribu pelukan anak-anaknya, anak bangsa, anak semua bangsa, anak yang tumbuh, berdarah dan berkelana di hutan-hutan, tebat, ladang dan sawah.
Hikayat tentang ibu tanah air selalu didengarkan oleh penerus bumi sebelum tidur. Para pujangga bijak bestari tiada segan mengulangnya, setiap malam, setiap bulan, setiap tahun.
Dengan hikayat membentuk budi, membangun daya, dan imajinasi tentang rumah budaya. Rumah dengan lantai dari cinta, juga harapan tentang masa depan.
---
Kala itu, si anak bangsa menadahkan parasnya pada cakrawala. Dia melihat pertanda peradaban.
Bagi anak bangsa, pertanda peradaban itu begitu asing dan aneh. Dia melihat sosok yang tak seperti biasa. Sosok tak sedekat hutan, tebat, sawah maupun ladang. Sosok itu menakutkan, namun juga penuh gairah.
Anak bangsa memperhatikan mulut pertanda peradaban itu penuh dengan api pergulatan, menyala-nyala. Titah mulut itu pun dia simak, tentang hitam atau putih saja.
Pertanda peradaban seketika berteriak. Teriakannya seperti menuntut anak bangsa untuk segera memilih, apakah hitam atau putih, tak ada abu-abu katanya.
Bagi pertanda peradaban, abu-abu adalah absurd, tak berbentuk, tak pasti, jamak, dan menyesatkan. Bagi pertanda peradaban, kepastian adalah tujuan satu-satunya.
---
Tetiba, sosok cakrawala itu menyetubuhi ibu tanah airnya dengan nafsu dan gairah menggebu penuh kebencian. Anak bangsa sekonyongnya menangis keras.
Sejak itu, anak bangsa menyebut cakrawala itu dengan sebutan si macho. Sosok itu nyatanya telah merebut pelukan ibunya dari dia, merebut kehangatan kasih yang dulu memenuhi udara rumah budayanya. Rumah itu kini telah dipenuhi api kebencian dan abu prasangka.
Apa mau dikata, bibit sang cakrawala telah meresap dalam rahim ibu bangsa, masuk dalam air yang diminum, dalam perut gunung-gunung, dalam urat dan kambiun pohon-pohon, dan dalam canopy rimba raya.
Kini bibit itu telah bertunas dan tumbuh dengan suburnya, menggantikan semua yang pernah ada. Kini hanya ada ilalang, Ilalang yang tengah terpercik api kebencian, membakar kearifan.
Kearifan telah musnah. Jikapun ada, ia hanya berbentuk abu prasangka.
Ibu bangsa telah gagal. Kegagalan yang memakan martir, yaitu dirinya sendiri. Kisah tentang kegagalan itu kini diriwayatkan dalam mitos-mitos. Mitos tentang patria dan pengkhianatan.