Wanita dalam Sejarah

Si cengeng ini bukan adik kecil kita, bukan bayi atau balita. Ia adalah makhluk Tuhan, yang kata orang sukar dimengerti dan lebih banyak menggunakan emosi. Sudah mengenalinya? Ya, dia adalah makhluk Tuhan yang bernama perempuan.

Beragam predikat telah diberikan kepadanya, mulai dari perusak kebahagiaan umat manusia karena ia yang mendorong Ayah Adam mengikuti bujuk rayu Syetan sehingga mereka berdua di keluarkan dari sebuah tempat indah. Akibatnya anak cucu mereka harus mengalami hidup sengsara di dunia.

Ia juga dikenal dengan makluk multi bibir, karena ia lekat dengan gosip dan saking banyak bicaranya ia.

Diantaranya melalui Membumikan al-Qur’an karya Prof. Quraish Shihab, kita dapat melihat gambaran keadaaan perempuan dimasa lampau di berbagai tempat dan kebudayaan.  Dalam peradaban Romawi, perempuan adalah hak mutlak ayahnya,  hak mutlak untuk menganiaya, mengusir, atau membunuh. Hak ini selanjutnya berpindah pada suami setelah perempuan tersebut menikah.  

Dan peradaban Yunani tak jauh berbeda, kalangan atas menyekap mereka dan kalangan bawah menjualbelikan serta menyiksa mereka. Para wanita tidak memiliki hak sipil. Pada puncak kebudayaan Yunani, wanita justru diberi kebebasan, tetapi sebatas dalam rangka memenuhi nafsu seksual laki-laki. Seks bebas dianggap wajar dan tidak melanggar norma, terdapatnya banyak patung telanjang di negara-negara Barat adalah bukti peninggalan pandangan tersebut.

Bahkan dikalangan pemuka Nasrani telah diadakan suatu konsili yang membahas apakah wanita memiliki ruh ataukah tidak . Mereka  berkesimpulan wanita memiliki ruh, tapi ruh yang jahat. Pada abad ke 6 juga dilaksanakan pembahasan apakah wanita manusia atau bukan, dan mereka sampai pada sebuah kesimpulan bahwa ya, wanita adalah manusia yang diciptakan untuk melayani laki-laki.

 Dalam  Hindu, brakhmacharya atau universalitas dan penyatuan dengan Tuhan telah berhasil diraih ketika seorang brakhmacari secara fisik dan spiritual lebih menyerupai perempuan. Menurut Gandhi,  wanita lebih mulia dari laki-laki karena mereka memiliki kemampuan yang lebih besar dalam menanggung penderitaan, berjuang, dan meniadakan dirinya.  Demikian Ved Mehta dalam bukunya Ajaran-ajaran Mahatma Gandhi.

Meski hal ini adalah pujian, penulis sebagai seorang wanita tidak merasa bangga membacanya.  Bagi penulis ini menunjukan betapa lamanya wanita mengalami penderitaan dan penganiayaan, sampai mungkin bukan hanya orang lain, tetapi diri mereka sendiri meyakini bahwa memang demikian takdir mereka diciptakan. Hal ini diibaratkan seperti terdapat sebuah kedamaian dan ketenangan di sebuah negeri.

Jangan langsung terkagum, periksa dahulu apa sebab kedamaian itu?  Apakah hal ini disebabkan demokrasi yang sehat, toleransi yang baik, dan pendidikan yang manju? Atau hanya sebuah ketenangan yang disebabkan tak ada orang yang mau berbicara dan beraksi karena hukuman, ancaman, dan kediktatoran?

Karena  kezhaliman terhadap perempuan sudah datang berabad-abad, maka tak heran ia mempengaruhi pandangan para ilmuan  agama, tak terkecuali Islam. Maka pemahaman yang partiakis dan  budaya yang juga patriakis saling mendukung dan melengkapi. Karena itu sebetulmnya permasalahan ini cukup kompleks karena ia berkaitan dengan beberapa pemahaman tentang perempuan dan laki-laki dalam agama, terutama Islam yang lebih banyak penulis ketahui. Apa yang akan penulis paparkan selanjutnya semoga memberikan sedikit jawaban.

Tuhan yang Feminim dan Maskulin

Saat madrasah dulu, penulis ingat guru penulis berkata bahwa Tuhan itu laki-laki. “Allah dalam al-Qur’an menggunakan kata ganti orang ketiga laki-laki tunggal hua”, begitu kurang lebih beliau menyampaikan.

Ya Dia memang menggunakan kata ganti hua, tapi kita lupa ayat selanjutnya. Misalnya dalam QS al-Ikhlash, ayat tersebut ditutup dengan ‘tidak ada satu halpun yang setara dengan Dia’, tidak ada satu hal, tidak laki-laki dan tidak juga perempuan. Dalam ranah akidah kita mengakui bahwa laisa kamitslihi syaiun (tidak ada yang sepertinya). Jika hua yang digunakan, itu karena Ia yang Maha Agung sedang berkomunikasi dengan manusia dengan menggunakan bahasa mereka.

Tuhan kita memiliki sifat feminim dan maskulin sekaligus. Nama-namaNya menunjukan sifat-sifat tersebut. Dia Maha Penyayang, Maha pengasih, Maha Lembut, dan Dia juga Maha Perkasa, Maha Kuasa, dan Maha Kuat.  Sebagaimana yang Sachiko Murata jelaskan dalam  The Tao of Islam, nama-nama tersebut bersifat kontradiktif.

Mereka sering kali dibagi dalam katagori nama-nama rahmat dan kemurkaan, kemurahan dan keagungan, atau kelembutan dan keadilan. Atau menurutnya, nama-nama yang feminim dan maskulin. Mereka justru memberikan keserasian, suatu ketika Tuhan menonjolkan namanya yang feminim seperti terhadap hambaNya yang berbuat baik dan bertakwa. Dilain tempat, Dia menunjukan namaNya yang maskulin kepada hambaNya yang bermaksiat.

Dan kita sebagai hambaNya diperintah Rasul untuk meneladani sifat-sifat tersebut, takholaquu bi akhlaqillahi (berakhlaklah dengan akhlak Tuhan). Karena itu Imam al-Ghazali mengatakan bahwa insan kamiil adalah mereka yang meneladani sifat Tuhan. Tentu dengan kapasitas dan kemampuan yang terbatas, sebagai seorang hamba. Gambaran umumnya, dengan bersikap feminim terhadap kebaikan serta  kebajikan dan bersikap tegas atau marah terhadap ketidak adilan juga keburukan.

Maka dengan meneladani sifat-sifatNya, tidak mungkin seseorang terdiam dan hanya menonton. Ia pasti ingin berperan aktif.

Kenapa berpolitik?

Kita diajarkan untuk bergerak melawan kemungkaran. Bahkan Rasulullah dengan tegas megatakan bahwa kualitas yang utama bagi orang beriman adalah mereka yang bergerak dengan ‘tangannya’, yang berarti  menggunakan kekuasaannya untuk kebenaran dan kemaslahatan. Dan sebaliknya, mereka yang menjadi partisipan pasif menunjukan kelemahan imannya. Hal  ini haruslah menjadi semangat berpolitik setiap orang.

Dalam sejarah awal Islam kita melihat Siti ‘Aisyah  memimpin perang jamal, kita membaca para sahabat terheran istri-istri Rasulullah mendebatnya, atau Abu Balaij Yahya bin Abi Salim yang terheran melihat Samra binti Nuhaik memakai baju besi dan membawa cambuk untuk menertibkan manusia, atau cucu Rasulullah Sayyidah Nafisa, seorang ilmuan dan sufi yang memimpin perlawanan rakyat terhadap  Ali bin Thalun penguasa yang zhalim.

Bahkan al-Qur’anpun memberitahu kita kepemimpinan seorang ratu yang bijaksana, Ratu Bilqis. al-Qur’an  tidak menyebutkan namanya secara tersirat, boleh jadi, akan ada pemimpin-pemimpin dan politisi perempuan yang juga bijaksana sepertinya, baik  sekarang ataupun nanti.

Sebagaimana  menurut Ulama Besar al-Azhar Syeikh Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, ketika al-Qur’an menyebutkan nama suatu tokoh dalam sejarah, maka dunia tidak akan memiliki manusia mulia sepertinya lagi, seperti Ibrahim dan Muhammad. Tapi ketika al-Qur’an tidak menyebutkan namanya atau menyebut nama julukannya, seperti Fir’aun gelar raja-raja mesir, maka suatu ketika mungkin akan ada orang yang seperti Fir’aun atau bahkan melebihinya, demikian dalam Kaidah Tafsir Prof Quraish Shihab.

Karena itu, tidak ada alasan untuk melarang wanita berpolitik. Mereka justru  harus ikut  terjun ke politik untuk memperjuangkan kebenaran, kebaikan, dan menyuarakan pendapat juga haknya. Karena hanya diri mereka  yang betul-betul memahami dan berjuang untuk kepentingan mereka.

Kita Rekan

Rasulullah pernah berkata bahwa wanita adalah saudara kandung laki-laki. Beliau seakan ingin menekankan bahwa ‘kalian sama, mereka bukan makhluk kelas dua. Sudah sepatutnya kalian saling menyayangi dan menghormati karena kalian bersaudara’.

Dalam buku Farid Esack On being a Muslim penulis  menemuka poin  yang penting bahwa jika perempuan dianggap tidak bisa menjadi pemimpin karena laki-laki meyakini bahwa hanya dirinya yang mampu dan mereka tidak, karena merasa bahwa dirinya yang terbaik sedangkan mereka buruk, maka itu adalah suatu kesombongan. Sifat ini, menurut Prof. Thariq Ramadhan adalah sifat para penjajah.

 Jadi satu alasan saja sebetulnya sudah cukup, sombong.

Puisi yang begitu indah ditulis oleh Prof. Nadirsyah Hosen

Tentang Hidup

Hidup ini indah. Akal memberi pertimbangan, hati jua yang memilih. Akal pergi berlayar, hati jua tempat berlabuh.

Hidup ini penuh makna. Akal yang ngakali, namun hati jua yang berhati-hati. Akal melesat, namun hati jua yang merapat.

Hidup ini amanah. Akal yang melantunkan, hati jua yang menghaturkan. Akal yang menghitung, namun hati jua yang mendukung.

Hidup ini sebentar. Akal yang mencakar, namun hati jua yang menakar. Akal yang membakar, namun hati jua yang mengakar.

Akhirnya mari kita menjadi insan kamiil dengan meneladani sifat-sifat Tuhan yang feminim dan maskulin. Perbedaan hendaknya mendorong laki-laki dan perempuan duduk bersama dan bekerja sama. Maka keikutsertaan perempuan dalam politik adalah suatu keniscahyaan untuk pemerintahan yang lebih baik.

#LombaEsaiPolitik