Dua hari lalu, saya membaca sebuah berita mengenai seorang ibu yang tega menghabisi nyawa tiga anak kandungnya yang masih balita. Sampai artikel ini ditulis, belum diketahui penyebab pastinya apa. 

Tiga bulan lalu, pasangan suami istri menganiaya anaknya hingga tewas karena anaknya sulit mengikuti pelajaran secara daring. Dan entah berapa banyak lagi cerita mengenai kasus penganiayaan anak hingga berujung kepada kematian. 

Terpicu dari berita mengenaskan ini, saya teringat akan sebuah buku yang sebenarnya saya sangat benci. Bukan karena ceritanya yang tidak menarik, tapi karena saya terlalu mendalami karakter dari David atau Dave –  karakter utama dalam kisah pilu ini. 

Awalnya aku berharap semua kisah pilu dalam buku ini adalah sebuah fiksi, tetap tidak. Semuanya adalah kisah nyata yang dialami oleh David Pelzer sendiri. 

Dari judulnya sendiri pun, kita sudah bisa merasakan “abuse”. A Child Called ‘it’ atau seorang anak yang dipanggil dengan istilah pengganti kata benda dan hewan. Isn’t it insane?! Hereby, I told you little bit synopsis of this story.

David adalah seorang anak laki-laki yang sejak usia dini telah mengalami penyiksaan yang tidak terkira oleh ibu kandungnya sendiri. Dalam buku ini dikisahkan kehidupan David dari usia 4 sampai 12 tahun, dari mulai masa bahagia sampai masa siksaan yang dirasakannya bertubi-tubi.

Saat kita dewasa, pikiran kita untuk melindungi diri sendiri lebih besar. Namun tidak halnya dengan anak kecil. Ketika terjadi abuse oleh keluarga inti sendiri, terutama ibu sendiri, seorang anak kecil tidak pernah bertanya mengapa ibunya begitu atau bersikap ingin membalas ibunya. 

Secara naluri, seorang anak kecil hanya akan bisa menerima perlakuan dari ibunya dan berharap si ibu akan kembali baik seperti sedia kala. Keapikan dari David si penulis, adalah membuat kita mengikuti ceritanya dengan menyelipkan pikiran-pikiran anak kecil untuk mempertegas kepada para pembaca bahwa mereka masih sangat kecil untuk berpikir secara logis. 

Aku tahu ada sesuatu yang betul-betul tidak beres, tapi aku terlalu takut untuk mengeluarkan suara. Jadi aku duduk saja di situ, memandangi makananku.

Dan bahkan, dari seluruh siksaan yang diterimanya, Dave masih rindu dengan ibunya. Suatu saat Dave berusaha lari dari rumah bibinya, tempat Dave tinggal untuk sementara.

Aku mencoba mengatakan pada Ibu bahwa aku melarikan diri karena aku ingin bersamanya dan keluarga. Aku mencoba mengatakan padanya bahwa aku merindukannya, tetapi Ibu tidak mengizinkan aku berbicara. Aku mencoba mengatakannya sekali lagi, tapi Ibu bergegas ke kamar mandi, mengambil sebatang sabun, lalu menjejalkannya ke mulutku.

Sampai pada titik nadir diceritakan Dave mencari perlindungan kepada ayahnya dari perbuatan ibunya yang semakin lama semakin kejam terhadapnya.

“Ayah… I… I… Ibu menusukku”.

Ayah bahkan tidak mengangkat alis matanya, apalagi menoleh. “Kenapa?” tanyanya.

“Dia bilang, kalau aku tidak menyelesaikan tuga mencuci perkakas tepat pada waktunya, dia.. dia akan membunuhku”.

Waktu seakan berhenti. Dari balik koran aku bisa mendengar napas Ayah yang jadi berat. Ia menelan ludah, lalu berkata, “Ya… kau ah… kau lebih baik kembali ke dapur dan menyelesaikan tugasmu mencuci piring.”

Sosok ayah dalam buku ini tidak mencerminkan sesosok ayah yang harusnya mampu melindungi anaknya dari berbagai ancaman. Sosok ayah David adalah ayah yang tidak peduli dan ingin menghindari dari masalah di rumahnya. Kedua kakaknya yang berusia tidak jauh dari Dave juga enggan membantu Dave, malahan bersikap acuh seakan mereka tidak memiliki anggota keluarga bernama David.

Mungkin sebagai naluri manusia dewasa, kita akan berpikir untuk lari dari rumah atau meminta pertolongan dengan orang luar. Tidak dengan Dave, dia masih mencintai keluarganya sesulit apapun kehidupannya. Dalam novel ini, kita diminta ‘menikmati’ kekejaman hidup yang dirasakan Dave tanpa bertanya ‘Mengapa?’.

Is it crazy? Dari kisah kekerasan terhadap anak yang sering terdengar di berita atau dikisahkan di buku ini, membuat saya menyadari ada kalanya kehidupan seorang anak itu kadang tidak adil. I mean, we didn’t choose who will be our mom or dad, or we didn’t bring any bad-luck over our family. Seorang anak dilahirkan secara suci tanpa dosa, dan kalaupun anak tersebut hasil dari sebuah kesalahan, maka bukan anak yang bersalah tapi tindakan orang tuanya.

Beragam jenis tindakan kekerasan terhadap anak, mulai dari penelantaran anak, pembunuhan baik yang sudah dilahirkan maupun yang masih di dalam kandungan, berikut juga para anak yang menjadi korban perang. Konsep dari child-abuse sendiri tidak hanya serta merta dalam fisik, tetapi juga mental mereka. 

David di sini mungkin masih bisa bertahan dan berpikir waras demi masa depannya. Namun berapa banyak David lainnya yang tidak mampu bertahan hidup, atau yang lebih miris, mereka akan berkembang dan menghasilkan David-David lainnya demi sebuah dendam yang tidak terbayarkan? It will be so horrific.

There is no greater evil than those who willingly hurt an innocent child. (Unknown)