Nahdlatul Ulama (NU) lahir dengan mengusung aspirasi untuk mewujudkan tatanan dunia yang harmonis dan adil berdasarkan akhlakul karimah serta menjunjung kesetaraan martabat sesama manusia. Tepat pada tanggal 7 Februari 2023 kemarin, organisasi yang dirintis oleh KH. Hasyim Asy’ari dan beberapa ulama terkemuka tersebut genap berusia 100 tahun.

Di usianya yang genap satu abad, NU telah banyak berkontribusi dalam kemajuan bangsa Indonesia di segala aspek kehidupan. Satu abad perjalanan NU telah menorehkan banyak kiprah terutama dalam membangun peradaban masyarakat madani di Indonesia. NU aktif berkontribusi membangun bangsa, mulai sejak zaman kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga reformasi.

NU Abad kedua 

Memasuki abad kedua, umat islam kini tengah menghadapi berbagai tantangan besar. Krisis global yang mengepung di segala penjuru dunia, dengan sebab akibat yang tak terbayangkan; terorisme, destabilisasi demokrasi, krisis moneter, pencemaran lingkungan, kekerasan horizontal, perang, dan krisis lain yang menguras energi.  

Selain itu, dikutip dari Global Risks Report 2023 dari 1,200 pakar di berbagai bidang menyebutkan bahwa krisis yang berpotensi menghantam dalam skala global itu di antaranya; krisis pasokan energi, krisis biaya hidup, tingginya tingkat inflasi, krisis pasokan makanan, hingga serangan siber pada infrastruktur penting.

Melihat kondisi zaman yang memiliki berbagai tantangan besar, NU memiliki andil yang sangat penting dalam mengubah wajah dunia ke depan. Dan tentu saja hal tersebut membutuhkan effort yang tinggi dan harus dirancang secara sistematis untuk merenovasi segala lini kehidupan, baik dalam bidang ekonomi, sosial-politik, pendidikan, budaya, dan bidang-bidang yang masih krusial lainnya.

Pada zaman modern inilah, konsep autentisitas NU dalam memahami al-Qur’an dan Hadis sangat diperlukan untuk melakukan ijtihad dan rethinking Islam dan hukum-hukum yang ditetapkan dalam Islam supaya tetap berkesinambungan dengan kompleksitas problem kekinian. Autentisitas, bukanlah menciptakan benturan dengan konsep-konsep asing. Tetapi, justru mensyaratkan keterbukaan umat Islam untuk berdialog dengan entitas-entitas lain yang berbeda. Dengan tetap berangkat dengan nilai Islam yang substantif.

Hubungan NU dan PMII

14 Juli 1971 melalui Mubes di munarjati, organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) mencanangkan independensi terhadap NU karena tidak ingin terjebak ke dalam arah politik praktis. Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII. Namun, pada tahun 1984, NU tidak lagi aktif dalam partai politik. Lalu, apakah PMII tetap mempertahankan komitmennya untuk tetap independen atau kembali ke NU?

PMII menegaskan sikap independensi menjadi interdependensi terhadap NU. Dengan kata lain, secara stuktural kelembagaan PMII tidak terikat pada NU. Namun, secara teologis dan kultural, relasi dan hubungan PMII dan NU tidak dapat dipisahkan. Pada hakikatnya, sejarah awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU.

Kristeva (2012) menambahkan bahwa Ahlussunah wal Jama’ah an-Nahdliyah (Aswaja) telah menjadi benang merah antara PMII dan NU. Lebih dari itu, hubungan PMII Dengan NU merupakan relasi strategis, bukan semata-mata karena ikatan teologis dan kultural, melainkan karena secara sosio-ekonomi dan sosio-politik, antara PMII dengan NU memiliki banyak kesamaan. Dan pada hakikatnya titik keberangkatan PMII adalah dari akar NU untuk mewadahi para pemikir muda NU di kalangan mahasantri dan mahasiswa.

PMII Perlu Berbenah

Melihat dinamika sosial masyarakat yang terkepung dalam krisis global, peran anak muda menjadi sentral. Mereka mempunyai kekayaan akses baik pendidikan, pengetahuan, dan pengalaman. PMII yang bisa dikatakan mewakili satu slot “anak muda di kalangan NU” mempunyai peran yang sangat penting dalam dinamika zaman.

Tidak melulu tentang perdebatan terkait sistem kaderisasi, kerangka paradigma, dan diaspora kader yang sering berujung omong kosong dan menjadi masalah yang berkepanjangan. Tetapi, dalam perspektif dunia intelektual terkait kebebasan berpikir yang menjadi syarat lahirnya dialog pengetahuan untuk menerka berbagai gejala yang ada dalam tataran kosmik, PMII sebagai anak kandung dari NU mengemban amanah untuk menjawab berbagai dinamika perkembangan zaman dengan kompleksitasnya, serta membawa perubahan dalam banyak bidang di dalam peradaban. PMII harus relevan dengan kebutuhan sosial masyarakat, dimana manifestasi paradigma dalam gerakan harus berorientasi pada lahirnya solusi atas permasalahan dan situasi yang terjadi.

Gus Dur dalam tulisannya yang berjudul PMII dan Program Prioritas NU (1991), menyebutkan empat transformasi yang sudah dan akan dilalui oleh NU berupa: Sosial Budaya, Sosial Politik, Sosial Ekonomi, serta Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Gus Dur menekankan peran PMII dalam hakikatnya menjadi bagian penerus dalam NU baik secara jamaah maupun jam’iyyah.

PMII seharusnya berperan untuk masyarakat, bukan hanya formalitas agen of control. Oleh sebab itu, perlu kita selaraskan tujuan PMII, tri khidmad, tri motto, prinsip PMII, juga menerapkan nilai yang terkandung dalam Nilai Dasar Pergerakan (NDP) dalam menjalankan tugas dan kewajiban sebagai kaum intelektual muda NU.

Dengan demikian, pada era zaman tafsir ini, mau tidak mau kaum intelektual muda NU harus mengetahui baik secara epistemologi, ontologi, dan aksiologi. Agar memahami ilmu pengetahuan secara utuh dan lengkap. Tidak tanggung.

Tugas PB PMII menjadi titik koordinasi yang strategis dari simpul-simpul gerakan di daerah untuk kemudian mengelolanya sebagai proses perubahan. Jika proses ini berjalan dengan baik, PMII akan mempunyai legitimasi gerakan yang sangat kuat untuk kemudian dapat menjadi arus utama pembangunan bangsa dan negara.