Kasus Lukas Enembe (LE) adalah preseden buruk dalam pengelolaan pemerintahan daerah di tanah Papua. Secara eksplisit penulis mengatakan demikian karena mengacu pada kasus yang telah menyeret dirinya yang kini sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bagaimanapun itu, kita tidak dapat menafikan fakta bahwa penegakan hukum di tanah Papua mulai digencarkan.

Selain kasus bernilai miliaran rupiah perihal perjudian menyeret LE yang santer hari-hari ini, KPK juga mengungkapkan perkara suap terhadap dirinya oleh pihak ketiga. Keterangan yang disampaikan adalah mengenai proyek yang tidak sesuai syarat dan ketentuan tender. Akan tetapi ini satu hal. Jika menengok pada sederet kasus lain, misalnya sistem pengelolaan fiskal daerah, pada gilirannya KPK juga mulai menelusuri.

Dalam laman berita Merdeka.com (2023) bertajuk "Dalami Kasus Lukas Enembe, KPK Telusuri Penggunaan Dana Otsus Papua" KPK akan memastikan tidak akan berhenti pada kasus dugaan suap dan gratifikasi, melainkan akan mengembangkan informasi lain mengenai data penggunaan dana otsus. Lagi-lagi, ini sangat krusial, mengingat dana otsus bernilai fantastis.

Lantas, Siapa Pengganti LE?

Satu hal yang perlu dihindari dalam masa peralihan kekuasaan pasca LE adalah penerapan model kepemimpinan bayangan. Model ini jika digunakan, maka karakteristik kepemimpinan tidak akan mencapai terobosan baru dalam kemajuan Papua secara berkelanjutan.

Mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan LE telah memberikan pengalaman bagi kita semua, bahwa kekuasaan itu telah menganut prinsip corruption by greed. Sebab selain LE, pejabat daerah dari kalangan legislatif juga akhirnya dipanggil KPK. Mereka telah ditunjang jabatan dengan nilai yang mencukupi, tetapi masih serakah untuk melakukan tindakan merugikan daerah berikut rakyatnya yang masih di bawah garis kemiskinan.

Karena itu, model kekuasaan yang berganti patutnya dilokomotifi oleh sosok yang memiliki pengetahuan hukum yang mumpuni sekaligus tampil meredam amarah sebagian kalangan yang hendak mempertahankan status quo

Syarat ini mutlak, karena selain dapat menjalankan kebijakan pengentasan kemiskinan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat Papua, juga harus memiliki kapabilitas untuk mengurai kompleksitas dalam struktur birokrasi di tanah Papua. Sehingga, dapat menghasilkan output dan input yang menguntungkan bagi masyarakat dan pemerintah daerah.

Cukup sudah, kasus LE ini menjadi pelajaran bagi kita semua, baik secara etika maupun moral dalam sistem demokrasi lokal. Sebab, kehendak dalam demokrasi yang telah kita anut bersama adalah memiliki pemimpin yang dapat menolak segala bentuk hedonisme dan iming-iming sesat yang tidak menguntungkan rakyat.

Sejatinya, seorang pemimpin tidak boleh mengabaikan nilai dan prinsip hukum yang berlaku. Kekuasaan yang ada di tangannya harus selaras dengan kepentingan umum sebagai prinsip yang paling fundamental.  Akan tetapi, dalam konteks kekuasaan lokal di tanah Papua pada kenyataannya justru jauh dari kehendak bersama. 

Alih-alih dapat menjalankan roda pemerintahan yang baik dengan pendekatan budaya dan adat-istiadat, justru kotak pandora yang selama ini tertutup akhirnya terbuka. Hitam putih kekuasaan tidak dapat terlampaui dengan perspektif kepemimpinan yang mengayomi dan memenuhi hak warga Papua secara keseluruhan.

Risikonya, istana kekuasaan yang sedemikian kokoh akhirnya tumbang. Terbengkalai ketika digoyahkan sekejap oleh gumpalan kasus hukum. Kini, sejumlah kasus lain seperti perjudian, penyuapan, pengelolaan dana otsus satu persatu mulai terungkap. 

Luka-luka dalam kepemimpinan yang buruk itu sedang menganga, penegak hukum mulai mengambil langkah yang sigap, mendeteksi satu demi satu pelaku yang terlibat, dan tidak ada lagi alasan sakit-sakitan. Memang sulit jika tidak berjiwa kesatria, instrumen negara tetap berjalan dengan daya paksa.

Lantas siapa pemimpin yang layak menggantikannya adalah sosok yang harus memahami, menaati, dan menjalankan semua tugas kepemimpinannya dengan wawasan hukum yang luas. 

Meski ini masih jadi enigma atau teka-teki bagi kita semua, jelasnya sosok yang harus diusung adalah figur independen yang memahami betul kondisi Papua saat ini. Tolok ukurnya cukup mudah, mengukur sejauh mana capaian-capaian atau prestasi dalam institusi yang saat ini dipimpin.

Dan memang, prioritasnya tetap harus Orang Papua Asli (OAP). Dalam waktu dekat harus ada proses identifikasi OAP yang menduduki jabatan penting di birokrasi dan tergolong eligible (memenuhi syarat), serta berwawasan hukum.

Kriteria pemimpin berwawasan hukum adalah sosok yang memiliki basis keilmuan hukum. Sebab kepemimpinan tanpa prinsip dan pemahaman hukum akan sulit menciptakan tatanan pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jangan lagi ada manipulasi kepemimpinan hanya untuk memenuhi hasrat pribadi maupun kelompok. 

Karena itu, pasca kekuasaan LE, Penjabat Gubernur Papua berwawasan hukum adalah harga mati bagi kita semua. Sebab, jika seorang pemimpin gagal memahami hukum, maka dia akan gagal dalam segala hal.

Akhir kata dari penulis, kepemimpinan tanpa landasan pemahaman hukum adalah tirani. Bentuk tiraninya adalah berupaya menghindari tanggung jawab kepada masyarakat.