Belasan pemuda berseragam batik berjalan menuju sebuah hajatan. Teman mereka menikah dan sekarang mereka bermaksud membantu kelangsungan acara tersebut. Istilahnya “laden” dalam bahasa Jawa. Saya sulit menerjemahkannya dalam Bahasa Indonesia. Apa yang mereka lakukan pada dasarnya adalah membagikan makanan dan minuman pada para tamu pesta tersebut. Mereka juga akan membantu berkemas saat pestanya telah usai.
Pada pesta pernikahan gedongan, mereka adalah pelayan yang digaji. Mereka melayani tamu sebagai bagian dari profesionalitas. Tapi di desa saya ini, di mana pesta pernikahan demikian sederhana dalam segala aspek, para pemuda tersenyum dan menyapa karena itulah yang diajarkan budayanya. Seragam mereka pun hasil iuran kolektif seluruh masyarakat desa.
Kesahajaan mereka sangat timpang dengan kegaduhan yang diperlihatkan para politikus di TV. Kata orang, politik itu bla bla bla. Realitanya, bagi saya dan mungkin banyak orang Indonesia, politik adalah nama-nama tokoh yang sering berseteru, lembaga yang saling tuding, isu-isu yang didramatisir, hingga mayoritas dan minoritas yang terus berperang. Politik sangat jauh dari kehidupan saya dan dari para pemuda yang seumuran saya tersebut.
Politik telah didominasi oleh mereka yang berkuasa. Orang seperti saya hanya bisa muncul sebagai pelengkap saja. Entah itu pelengkap derita dari klaim bahwa kebijakan seorang pejabat salah, atau justru sebaliknya. Saya bukan siapa-siapa, dan pada akhirnya “kami” hanya ngomel di sosial media.
Tapi di sudut ini, para pemuda mengukir makna politik dengan caranya sendiri. Politik bisa dialami sebagai aktivitas bersama untuk kehidupan desa yang lebih baik. Makna politik telah berubah wajah. Ia menoleh pada saya dengan senyumnya yang hangat. Dan yang pasti, aktivitas politik itu bisa benar-benar kami jangkau.
Tentu bukan maksud saya mengatakan bahwa permasalahan nasional bisa disamakan dengan permasalahan mengenai hajatan di desa kami. Tetapi dari kesahajaan menentramkan ini, kita bisa menyelamatkan secuil harapan akan apatisme politik yang terus merajalela terutama di kalangan pemuda, pemuda yang konon menjadi tonggak masa depan bangsa itu!
Di sisi lain, kita bisa mencoba merumuskan bagaimana peran pemuda dan politik kepemudaan dari kesejatiannya yang mengakar di masyarakat ini. Pembangunan makna tersebut tak akan terjerumus dalam jurang keterasingan karena memang bersumber dari karakter manusia muda Indonesia itu sendiri. Dengan cara ini, mereka juga bisa menarik simpati warga Indonesia, sebagaimana para pemuda desa saya telah menarik simpati seluruh warga.
Pemuda Desa dan Pembangunan Makna Politik Kepemudaan
Berbagai masalah di desa kami telah dibahas dalam rapat-rapat organisasi kepemudaan. Selain hajatan orang, berbagai hal lain seperti kerja bakti, ronda, sampai pembangunan jalan yang tergenang air pun menjadi isu yang harus diselesaikan. Mereka membuat proposal pengajuan dana, meminta iuran dari warga, dan terkadang mendonasikan bantuan untuk desa lain yang dianggap lebih tertinggal.
Mereka telah menjadi wakil-wakil anggota masyarakat. Persis seperti para dewan di gedung DPR yang idealnya juga mewakili suara rakyat itu. Tapi selain perbedaan skalanya, di sini juga berlaku sesuatu yang lain.
Para pemuda adalah pelayan masyarakat dalam artian metafor dan literal. Mereka memimpin berbagai acara di desa sekaligus mengangkat suara warga. Mereka mencium tangan ibu-bapaknya dan ibu-bapak seluruh warga desa. Mereka membungkuk dengan santun tetapi dengan cara pandang dinamis yang melepaskan diri dari kekolotan. Mereka adalah anak-anak yang disekolahkan untuk diharapkan mengabdi pada keluarga dan masyarakatnya. Mereka adalah pelayan sekaligus pemimpin.
Dari sinilah kita harus bisa memberikan warna pada politik yang dipimpin oleh semangat kepemudaan. Benar, kepemudaan adalah kuncinya. Bukan pemuda itu sendiri. Sebab pemuda yang bersifat kolot sama sekali tidak punya makna dalam tema ini, kecuali sebagai sesuatu yang harus dikritik.
Memberikan Warna untuk Politik Kepemudaan
Politik kepemudaan harus bisa dibedakan dengan beberapa cirinya yang menurut saya meliputi beberapa hal di bawah ini:
Melayani dan “Jadi Pandu Ibuku”
Kata orang, wakil rakyat adalah para pelayan. Tapi bagaimana bisa menjadi pelayan bila mereka seorang tuan yang duduk di kursi bangsawan?
Para pemuda di sisi lain, hadir untuk melayani yang tua dengan menjadi penuntunnya dan mengayomi adik-adiknya. “Jadi pandu ibuku” begitu sepenggal lirik dalam lagu kebangsaan kita. Tanpa karakter melayani dalam artian paling sejati sebagaimana seorang anak kepada orangtuanya, maka politik yang di bawa pemuda hanya jatuh kepada arogansi dari semangat muda itu sendiri.
Progresif, Tidak Kolot
Pemuda adalah agen perubahan. Berbagai perubahan yang terjadi di negeri kita pun tak lepas dari peran para pemuda. Jadi, jangan pernah sekali-kali politik kepemudaan jatuh pada retorika dan pemahaman lama yang antikritik. Jangan sampai kita anti pada perubahan atas nama apapun. Pembaharuan harus disaring, bukannya ditendang. Segala sesuatu harus diarahkan ke progresivitas bukannya sebaliknya.
Idealis yang Realistis
Idealisme kuat yang dimiliki pemuda justru harus dikuatkan. Tetapi bukan dikuatkan dengan retorika, melainkan dikuatkan dengan realisasinya. Di sinilah tantangan yang harus dijawab para pemuda. Dikatai sebagai idealis dan kurang pengalaman tentu bukan hal yang jarang. Solusinya ialah memberikan jawaban yang konkret. Sebab, isu ini adalah yang sering menjegal mereka yang masih membara.
Menjunjung Kreativitas
Apa bedanya hasil kerja dari kaum muda bila ia mengandalkan cara lama dengan hasil produk serupa? Kreativitas harus ditingkatkan sebagai anak dari mentalitas antikolot yang telah disebut di atas.
Keberanian Mengaku Salah dan Terus Belajar
Muakkah kita melihat politisi yang bersikap bagai dewa tak mau mengakui dirinya pernah salah barang satu kata pun? Politik kepemudaan harus bisa menghindarkan dirinya dari waham dewa ini. Kembalikan diri kita sebagai pemuda yang memang masih harus belajar, maka sikap instropektif harus dijunjung tinggi dan diapresiasi. Bukan dicemooh tanpa cela.
Tentu saja apa yang saya utarakan di sini tidak akan bisa menjadi final mengenai pembangunan konsep politik kepemudaan itu sendiri. Tetapi, semoga saja kita dan para pemuda lainnya di negeri ini bisa memberikan warna baru dalam dunia politik dengan partisipasi aktif yang dicirikan dengan perbedaan jelas tersebut.
Mari kembali ke akar kita. Pada kesejatian bagaimana pemuda bisa berperan dalam masyarakat. Jangan dicerabut! Jangan dipalsukan. Dengan seragam batik siap menjadi “laden”, di situlah para pemuda bisa menampilkan politiknya yang menawan. #LombaEsaiPolitik