JELIEN-JELIEN
Malam begitu dalam
Dan telah kucoba untuk istirahat memikirkanmu
Ruas jemari bagai lengan memeluk kesunyian
Sementara ingatanku berisi masa lalu kita yang ringkas
Aku tak bisa membedakan kenangan
Cuman aku ingin menyembunyikan kesedihanku
Hanya kau dan waktu yang tahu
Aku bisa putus mencintaimu
Tapi aku mencoba membayangkanmu pada bibirku
Agar aku bisa mengelap senyummu berulang kali
Dan berharap kita bertemu dalam mimpi
Seperti dulu
Malam ini telah aku siapkan sebuah sajak
Sebagai kabar sepi untuk bisa membahasakanmu
Sebab “aku’ adalah bahasa yang selalu berarti menanti
Maka kau mengerti mengapa aku merindukanmu
Hanya kau
Seminari Lalian, 13 November 2016.
MENGAPA SEDIH
Kueduk sedihmu sayang
Pada sisa tanggismu di siang hari
Air matamu terangkai bersama kata
Manyatu indah jadi sajak
Hingga kesetianku tersangkut
Pada munggil bulat tulisanku
Kecupan rindu menyelinapkan sepi
Harapku dalam lipatan waktu
Mengapa sedih ?
Rindu hatiku hanya bagimu
Seminari Lalian, Maret 2016.
AKU. KAU. DAN TANAH PERTIWIKU
Jangan pernah kau bertanya
Berapa harga tanah pertiwiku
Aku tidak mampu menjualnya untukmu
Dari sekedar uang yang kau tawarkan
Dari rahimnya aku dilahirkan. Sejak tanggis pertamaku
Aku tumbuh sempurna serupa bunga di taman Mini Indonesia
Hidupku hijau bagai hutan hujan tropis
Aku tidak pernah peduli bila aku sakit berulang- kali dan lemah berkali-kali
Aku ingin tetap mencintai pertiwiku
Dengan nama yang sama, bahasa yang sama, budaya yang sama
Dan simfoni yang bergetar pelan seperti nyayian pengantar tidur di lidahmu
Meskipun tangan-tangan kejam menghancurkan tubuhnya
Tikus-tikus kantor yang tak pernah peduli
Pak tani. Selebriti. Pedagang kaki lima. Abang becak. Tukang ojek
Hingga perusahaan bermata dua menggikis seluruh estetika dirinya
Aku tidak pernah peduli. Aku ingin mencintai pertiwiku
Seperti Isa mencintai umatnya. Seperti kau mencintai dirimu sendiri
Jangan pernah kau bertanya
Berapa harga tanah pertiwi ini
Aku tidak mampu menjualnya untukmu
Dari sekedar uang yang kau tawarkan
Kelak. Aku akan menulis beratus-ratus buku puisi
Khusus tentang tanah pertiwiku. Dengan begitu kau bisa memasukan diri ke dalamnya
Dengan harapan mampu menemukan
siapa dia di matamu.
Kelak.
Sebab di luar puisi tiada yang pasti. Tiada.
Seon, 28 Desember 2016.
MEMBACA SMS
:Jelien
Usai membaca smsmu doben
Diruas benak ada tanya:
“kapan rai Malaka Berjaya?
Kapan rai Malaka makmur?
Dimanakah pemimpin adil lagi bijaksana?
Binar mataku ini tak lagi mampu
Menahan sedekah senyummu”
Seminari Lalian, 16 November 2015.
GERIMIS PERTAMA
Rintik embun meleleh ke udara
Angin yang manja meniupkan kerinduan
Sebagaimana rinduku padamu
Kau membuat leluka pada tangkai matamu
Melukis namaku dengan setitik darah segarmu
Hingga kau lelah dan namaku kau hapus dengan gerimismu
Tahukah kau, namaku yang kau hapus dengan gerimismu
Aku namai air mata.
Perpustakaan Seminari Lalian, 27 April 2016.
JARAK
Aku melihatmu seperti hujan yang pulang ke langit
Kau tak pernah berada di tempat yang tepat
Selalu saja mencari jarak sebagai puisi terakir bagiku
Kita pernah sepakat untuk menciptakan jarak
Bagimu jarak adalah langit yang menolak untuk disentuh
Tetapi memberi diri untuk dinikmati
Sementara untukku jarak menjelma belati yang melukaiku
Setiap kali aku merindukanmu
“J”
Aku mengartikan namamu sebagai jarak
Satu perihalku: maaf tidak terlebih dahulu memberitahumu
Seminari Lalian, 14 Desember 2016.
JHEFA
Dari kantong matamu
Gerimis kecil meluruh sendat
sedih yang memporak-poranda
menyumbat di hulu jantung
Jhefa, air matamu
Bersuaralah pada bintang
Karena malam nanti ia akan datang
Sebagai sobat terahkir tanggisanmu
Menunggumu Jhefa
Di bawah biasan cahaya bintang
Sekali pun
sunyi senyap melilit
Seminari Lalian, September 2016.
SAYUP-SAYUP YANG TERHIMPIT
Di ranjang besi
Selimut merah dahlia lembut menari
Sayup-sayup aku dalam diam
Kuterbangkan segala rasa
Di antara langit-langit kamar
Memoriku terisi senyum renyahmu
Biar kerak-kerak suara memanggil
Dan kaki layak menyentuh jubin kamarku
Sayup-sayup aku tetap pada diam
Perlahan tidur menjemput sayup-sayupku
Seengguk mimpi mulai terhimpit
Di antara layur sekujur tubuhku
Dan setenang hermoni tempikar klasik
Menghadirkan
Wajahmu
Di wajahku
Seminari Lalian, 13 Maret 2016.
EMPERAN TOKO
Untuk sebuah kenangan dalam lembaran hari
Yang tak pernah lusuh dalam waktu.
Frasa terindah untukmu ialah: Lupakan aku
Kita menganyam janji pada senja yang suram
Emperan toko jadi saksi setia. Hari yang senja.
Jangan lupakan aku bila bumi belum menua
Ingatlah aku seperti rumput merindukan hujan
Denting suaramu seakan ingin kutahan
Diantara layur hembusan angin
Tapi pada senyum matamu bibirku merekah
Aku, kau dan janji adalah sementara
Kau tertegun
Hati adalah tempat paling subur
kau menanam air matamu
Pada bayang
Tatapanmu aku pergi
Seminari Lalian, September 2016.
PUISI
Nan senja yang buram
Kucoba hadirkan kau dalam imajinasiku
Meski telah kutahu kau adalah belati di masa laluku
Air mataku adalah pelangi yang sudah kau tanam di kepalamu
ia akan berakar di hatimu
dan selamanya ia akan menumbuhkan warna persahabatan
Ini puisiku ‘a’
Kuharap bersama lagu kesukaanmu
Kau pun dapat berpuisi pada mawar di depan rumahmu
Pada foto sampul barumu
Dan pada helai rambutmu yang terurai
menentramkan hati.
Berpuisilah semampumu
selagi kau masih bernafas
Seminari Lalian, September 2016.