Apa sebenarnya yang kita harapkan dari politik? Kenapa kita harus begitu peduli dengan politik itu? Dan kenapa pula beberapa kita harus ikut serta dalam proses politik?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa sangat beragam dan tak ada jawaban tunggal. Bergantung pada motif kita masing-masing.
Tapi ada jawaban normatif yang bisa kita rumuskan dengan nalar kebanyakan orang Indonesia. Nalar orang-orang yang sebenarnya tak punya cukup waktu untuk memikirkan hal-hal rumit, sebab tuntutan pekerjaan demikian merepotkan dan tuntutan hidup demikian rumit.
Mari kita andaikan jawabannya begini:
1) Kita mengharapkan politik dapat memberikan kita kebijakan yang baik untuk kemudahan hidup kita hari-hari.
2) Sebab dari politik itu kebijakan publik dirumuskan sedemikian rupa dan kita tidak bisa mempercayakan sepenuhnya, begitu saja, politik itu kepada para elite yang memang tidak mungkin kita percaya sepenuhnya. Mereka perlu dikontrol oleh kita yang memberikan mandat.
3) Kita tidak harus ikut di dalam proses politik itu. Ada banyak orang yang ikut di sana. Tapi kalaupun harus turun, itu karena kita sedang memperjuangkan nasib kita sendiri.
Saya mengandaikan jawaban kebanyakan orang Indonesia se-pragmatis itu. Sebab tak guna bicara politik kalau tak memberi kebermanfaatan pada diri kita sendiri. Percayalah, aktor-aktor politik itu ya cuma tiga. Pertama mereka yang telah selesai dengan hidup mereka sendiri dan merasa harus mengabdi pada Negaranya, kedua mereka yang cari makan di sana atau sedang berjuang memperbaiki taraf kehidupan mereka dan ketiga mereka yang memang kurang kerjaan.
Bagi rakyat kebanyakan partisipasi politik adalah dengan memberikan sumbangan potongan pajak dari pendapatan mereka hari-hari. Lebih dari itu, mereka takut terlibat dalam percakapan politik intens, sebab di ujung sana ada risiko yang mustahil dihadapi sendiri.
Bertolak dari asumsi-asumsi kita tentang politik yang sering tak lagi terpikirkan itu lah kita tergerak untuk berpartisipasi. Pengalaman bergumul di tengah-tengah situasi politik juga telah memampukan kita untuk membuat kategori benar-salah, pantas-tidak atau ideal-tidaknya suatu situasi politik tertentu. Dan memang kita merasa ada yang tidak ideal pada situasi politik 2019 kemarin. Perasaan itu dengan mudah dapat kita temukan dalam percakapan publik hari-hari, entah sebagai pendukung Presiden maupun sebagai oposan.
Tentu sebagai oposisi tiap kebijakan dan tiap issue bisa jadi masalah--setidak-tidaknya kelemahan pemerintah, tapi sebagai pendukung pemerintah apa tidak ada kekacauan pada situasi 2019 itu? Jawabannya tentu ada. Paling tidak kita bisa mengeluhkan soal politik identitas, pembagian kursi menteri, soal komunikasi publik dan lain lain.
Lantas apa yang akan kita rumuskan pada tulisan ini? Saya akan membuatnya menjadi semacam percakapan. Mari kita mulai dengan Feodalisme.
***
Tentang prilaku politik kita, apa lagi yang paling sering dibicarakan ketimbang feodalisme yang mengurat nadi ini? Bahkan di wilayah keagamaan pun, masalah kita sebenarnya bukan pada apakah penafsiran atas teks keagamaan itu keliru atau benar, mafsadat atau manfaat, tapi pada kesilauan kita melihat simbol-simbol keagamaan tertentu.
Apa yang disebut pemerintah sebagai manipulator agama, barangkali tidak pernah berniat memanipulasi agama untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya, lebih-lebih kepentingan teros. Mungkin pada mulanya ia hanya menyampaikan pesan keagamaan tertentu, kemudian di tengah jalan tergoda untuk menjadi otoritas, sebab orang-orang di sekitarnya terlampau memuliakannya.
Pada taraf yang lebih ekstrem, prilaku memuliakan seseorang secara berlebihan ini berubah menjadi mesiahisme, menganggap seseorang sebagai ratu adil, imam besar, pemimpin agung, pemimpin terbaik, tak tergantikan dan seterusnya. Padahal apa yang kita lakukan itu tak lebih dari pupuk yang semakin menyuburkan geliat feodalisme itu.
Ciri utama dari feodalisme ini adalah kita terlampau sering bicara siapa orangnya dan bukan apa idenya. Di belakang sana ada transaksi gelap tentang berapa logistiknya. Dan memang seringnya begitu. Mereka yang beruntung memiliki kemampuan akses ke sumber utama akan memiliki kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup, tapi yang tak punya akan tenggelam dalam pusaran konflik tak berkesudahan--sepanjang 5-10 tahun kepemimpinan mesiahnya.
***
Yang tak sudah dan tak selesai adalah Indonesia yang terus dalam kemenjadiannya. Sebab begitu kita usai, menyebutnya sebagai final dan harga mati, maka kita akan tergoda menganggapnya sebagai yang mulia, yang suci dan yang agung.
Jika keagungan dan kemuliaan itu kita letakkan pada entitas kebangsaan atau kenegaraan, daya rusaknya tentu bisa diminimalisir, tapi jika kita terjerembab memuliakan aktor-aktornya atau orang-orangnya, maka 2024 mendatang tak akan beda dengan 2019 kemarin; dimana keributan adalah soal siapa Jokowi dan siapa Prabowo, sementara usai pilpres keduanya bersatu di dalam pemerintahan yang agung.
Adalah pekerjaan rumah bagi intelektual, bagi eksponen mahasiswa dan buruh untuk mengikis kecenderungan feodalisme ini pada komunitas-komunitas kita, pada orang-orang dekat kita. Transaksi di 2024 nanti harusnya berubah menjadi transaksi ide dan visi, bukan sekedar soal fanatisme, kebencian maupun dollar dan rupiah.