Kakekku gemar sekali bermain catur. Di keluargaku catur merupakan permainan wajib dan harus dikuasai turun temurun. Sudah ditanamkan cukup lama dan sudah menjadi budaya. Maka tak heran jika kita selalu membawa papan hitam putih kemanapun kita pergi.
Ini menjadi budaya dan terus dijaga terutama di keluargaku. Aku pun ditanamkan hal itu sejak masih bayi. Entah itu di halte, terminal, angkot, warteg, masjid, bahkan diacara pernikahan sekalipun, kakekku selalu mengeluarkan papan hitam putih kebanggaannya. Seperti sudah menjadi candu.
Pernah suatu ketika ayah dan ibuku sangat disibukkan dengan pekerjaan kantornya, jadi kakekku lah yang pada hari itu berinisiatif untuk mengantar jemputku. Ayah ibuku tentu sangat tertolong. Ayah dan ibuku berangkat terlebih dahulu mengendarai vespa bututnya, sedangkan aku dan kakekku masih bersiap-siap.
Kulihat kakekku membawa sebuah koper berwarna hitam. Saat itu aku belum tahu apa yang beliau bawa. Sambil menggandeng tanganku kakek memanduku berjalan. Beruntung, belum jauh kami berjalan terlihat angkot dan kami pun menaikinya. Jarak dari rumah menuju sekolahku sebenarnya tidak terlalu jauh, jika mengendarai sepeda motor kurang lebih lima belas menit sampai.
Tetapi berbeda dengan menaiki angkot terutama di pagi hari, rute jalan yang memutar dan lamanya angkot nge-tam membutuhkan total waktu kira-kira kurang lebih tiga puluh menit. Untungnya hanya membutuhkan sekali naik angkot saja, tidak perlu ganti angkot.
Tak bisa dibayangkan, waktu di dalam angkot serasa begitu panjang. Saat penumpang bertambah satu orang dan kebetulan seorang bapak pegawai kantoran dengan setelan jas yang begitu rapih (salut dengan yang menyetrika) spontan kakekku membuka obrolan pembuka, ya obrolan pembuka seperti biasa.
“Mau kemana? Kerja dimana? Suka Catur?”, tentu dengan mimik muka yang menarik lawan bicaranya. Kakekku memang jago jika soal dialog, seakan-akan beliau tahu apa yang harus dipertanyakan agar mendapatkan jawaban yang diinginkannya. Sembari ngobrol kakekku mengeluarkan papan ajaibnya, aku dipindah di pangkuannya.
“Silahkan mas, mau yang hitam atau yang putih mas?”, Tanya kakekku sambil melemparkan senyum yang dipenuhi dengan kepercayaan diri yang tinggi. Beliau sudah yakin tak terkalahkan. “Eh, yakin pak main catur disini, nanti pada jatuh pak pionnya”, sahut pegawai.
“Tenang saja mas, ini catur sudah canggih, anti roboh dan anti getar, ada magnetnya tenang”, balas kakekku. “Ya sudah saya pilih putih saja pak seperti kulit saya”, saya hanya meringis begitu mendengarnya karena sangat bertolak belakang dengan kulit aslinya.
“Gini saja mas, biar semangat dan serius mainnya, yang kalah bayar angkot ya? Mas kan juga masih muda, masa takut sama orang bau tanah seperti saya?”, kakekku memprovokasi. “Siapa takut mbah!”, si pegawai merasa tertantang dan diremehkan oleh pria tua bangka.
“Perhatikan ya le”, sambung kakekku. Dan permainan dimulai. Jam terus berlalu. Penumpang silih berganti. Tak terasa angkot yang tadinya sepi menjadi penuh. Dan suasana angkot semakin riuh, begitu asyik melihat permainan catur antara kakekku si tua bangka dengan pegawai kantoran muda yang tak lagi muda juga. Aku melihat melalui jendela bahwa sebentar lagi kita akan sampai tujuan.
“Kek, sudah kek, sebentar lagi sampai”, ujarku. “Sudah mbah, mbah saja yang menyerah mbah, daripada cucunya terlambat ke sekolah itu loh.. “, rayu pegawai kantoran. “Hwehehehe, Maaf saja mas, sebenarnya dari tadi kamu hanya bisa 5 langkah lagi saja mas ganteng, Cuma saya ulur-ulur saja. Ya sudah, makasih ya mas sudah dibayari ongkos angkotnya nih. Skakmatttt!“, kakekku berteriak dengan lantang dan gagah.
Semua penumpang ikut bersorak-sorai. “Memang jago anda Pak, padahal dulu saya pernah juara turnamen catur tingkat kampung lho! Kalo se-angkot lagi main lagi ya mbah, eh eh, pak sopir. Saya kebablas pak, waduh piye iki!”
“Tenang, beres langsung saya antar yang penting bayar 3 kali ya sama ongkos mbah tadi, hwehehehe”, ujar sopir bahagia. Kakekku mengantarku sampai gerbang, sebelum sampai gerbang beliau berkata kepadaku dengan mimik mukanya yang serius.
“Ya seperti itu le, hidup itu ya seperti catur, harus tau langkah yang mau diambil, dan risiko setelah mengambil langkah itu. Dan tentu harus menyesuaikan dengan kondisimu saat itu! Dan seperti warna catur, kamu harus bisa membedakan mana yang hitam dan mana yang putih. Ingat-ingat ya le”, itulah pesan yang aku pegang sampai sekarang.
Ya memang benar saja. Tak hanya dari segi warna, setiap pion pada catur memiliki langkah dan caranya sendiri. Dan persoalan-persoalan dalam hidup sebenarnya adalah diri kita sendiri.
Kudengar-dengar kakekku menunggu di warung depan sekolah sambil bermain catur dengan siapa saja yang mau diajaknya sampai aku selesai sekolah, karena beliau memang lupa tak membawa ongkos! Memang dasar pikun!