Radikalisme dan konflik Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA) merupakan bahaya laten yang merongrong kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Hal ini muncul sebagai upaya untuk mengganti ideologi negara yakni Pancasila yang telah disepakati oleh founding father bangsa kita. 

Isu SARA selalu memicu terjadinya aksi-aksi yang menyebabkan pertikaian dan jatuhnya korban jiwa. Dari zaman ke zaman tindakan radikalisme tersebut muncul ditengah-tengah kehidupan bangsa Indonesia. Sebagai contoh adalah gerakan yang dilakukan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dan Negara Islam Indonesia (NII) yang muncul di era 1950-an. 

Setelah upaya dari gerakan ini berhasil dipadamkan, pada tahun 1965 gerakan Komunisme muncul dan dianggap melakukan tindakan makar sehingga bangsa Indonesia kembali dilanda ketegangan. Belum lagi peristiwa-peristiwa rasial yang kemudian muncul seperti sentimen anti Tionghoa, kerusuhan Sampit, dan pertikaian antar suku yang masih sering kita jumpai hingga saat ini di Papua. 

Faktor yang memicu terjadinya hal tersebut tidak lepas dari kepentingan kelompok, dendam, kecemburuan sosial, dan ketimpangan ekonomi. Pemerintah perlu melakukan upaya serius untuk menangani masalah radikalisme dan konflik SARA yang sering melanda bangsa Indonesia. 

Dewasa ini perbedaan pemahaman politik, ekonomi, sosial, dan budaya semakin memperuncing masalah kebangsaan dan semakin mempertegas pertanyaan yang muncul dibenak kita semua. Apakah sebenarnya nasionalisme bangsa kita saat ini sudah semakin pudar? 

Orde Baru telah melakukan upaya untuk meredam tindakan radikalisme dan konflik SARA dengan cara yang represif, namun upaya ini ternyata tidak memberikan solusi yang terbaik. Pasca Soeharto tumbang, radikalisme justru muncul dengan tindakan yang lebih ekstrim. 

Masih membekas dalam ingatan kita tentang peristiwa Bom Bali, dimana peristiwa itu telah merenggut banyak nyawa dan mencoreng muka Indonesia dimata dunia. Menghadapi problematika ini, pemerintah memerlukan kejelian dan solusi yang cerdas untuk memperkuat kembali rasa kebangsaan dan cinta tanah air didalam diri masyarakat Indonesia.

Radikalisme, Konflik SARA, dan Faktor Pemicunya

Radikalisme dan konflik SARA di Indonesia seolah-olah seperti muncul dan tenggelam. Menurut Sarlito Wirawan (2012), sikap radikal adalah afeksi (perasaan) yang bersifat ekstrim sampai ke akar-akarnya. Sikap radikal akan mendorong perilaku individu untuk membela secara mati-matian mengenai suatu kepercayaan, keyakinan, keagamaan, atau ideologi yang dianutnya.

Kata "Radikal" sebenarnya tidak selalu berkonotasi negatif, namun tindakan tercela yang kemudian mengiringinya berdampak buruk bagi pemahaman umum terhadap kata tersebut. Tindakan radikal sebagian besar selalu mengakibatkan kerusakan dan cenderung mengarah kepada tindakan kekerasan.

Di mata dunia, Indonesia dipandang sebagai negara yang paling subur bagi tumbuhnya paham-paham radikal. Kesenjangan sosial akibat liberalisme ekonomi dipandang menjadi faktor yang menyebabkan paham radikal kemudian masuk dan mencuci otak generasi muda. 

Paham-paham radikal justru tumbuh subur dikalangan kaum terpelajar, sebagai bentuk penolakan terhadap liberalisme ekonomi yang diterapkan oleh pasar global yang mengakibatkan perputaran modal kemudian hanya bergulir dan dirasakan bagi golongan kaya saja. Hal ini menimbulkan jurang yang amat lebar yang memisahkan antara si kaya dan si miskin (Johan Nornberg, 2001: 29).

Tindakan-tindakan ekstrim kemudian muncul sebagai upaya pembelaan terhadap paham yang mereka yakini. Pola ekonomi yang dapat menimbulkan kesenjangan yang begitu signifikan ini, memicu terjadinya penolakan dan reaksi keras untuk menentangnya. 

Sistem ekonomi liberal yang dipandang oleh kaum radikalis di Indonesia sangat bertentangan dengan sistem ekonomi yang diyakini didalam pemahaman agama mereka. Hal ini kemudian menimbulkan sikap-sikap penentangan yang berkembangan menuju kearah yang lebih ekstrim seperti terorisme.

Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pejabat negara dan penegak hukum yang semakin menurun akibat kasus korupsi, juga mempertebal keyakinan mereka bahwa Pancasila dan NKRI harus dirubah kerena ideologi tersebut hanya menciptakan pemerintahan yang zalim. 

Akibatnya, kasus penyerangan terhadap kantor-kantor pemerintahan, seperti kantor polisi yang dilakukan oleh oknum teroris kemudian banyak terjadi. Hal ini tidak hanya sebagai wujud keberhasilan dari ideologi ekstrim yang ditanamkan, namun juga sebagai bentuk pelampiasan yang ditujukan kepada aparatur negara yang dipandang sering melakukan tindakan yang merugikan rakyat.

Tindakan SARA dan sentimen negatif yang terjadi terhadap suku tertentu, tidak lepas dari kesenjangan ekonomi yang muncul di masyarakat. Suku Tionghoa sering menjadi sasaran dalam hal ini, karena stigma negatif yang dipelihara turun-temurun terhadap mereka. Orang Tionghoa dianggap pelit, kaya dengan cara culas, dan menindas orang-orang pribumi. Padahal pada kenyataannya, sejak ratusan tahun yang lalu dinamika etnis ini telah mewarnai sejarah bangsa Indonesia dan beberapa diantaranya muncul sebagai tokoh yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan.

Ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial inilah yang harus segera diselesaikan. Meskipun pada kenyataannya tantangan ini sulit, pemerintah harus segera mencari solusi yang cerdas untuk menekan munculnya radikalisme dan konflik SARA yang mengancam keutuhan bangsa Indonesia. 

Tidak harus meniru gaya represif yang dilakukan pada masa Orde Baru, yang justru menimbulkan ketakutan dan membawa pemerintahan kepada rezim yang otoritarian, melainkan menggagas solusi yang mampu mewadahi seluruh kepentingan masyarakat serta efektif dalam membangkitkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia.

Kekuatan Sepakbola, Gegap Gempita Para Suporter, dan Nasionalisme

Mewujudkan upaya solutif untuk mengatasi permasalahan radikalisme dan konflik SARA bukanlah sebuah hal yang mustahil untuk dilakukan. Cara yang paling ampuh adalah membentuk tim nasional sepakbola yang benar-benar kuat serta mampu menjadi juara dikompetisi tingkat internasional. 

Penelitian yang dilakukan oleh E.J Hobsbawn, akademisi dari Cambridge University mengungkapkan bawah olahraga merupakan salah satu pemicu yang paling kuat dari tumbuhnya nasionalisme didalam sebuah bangsa.

Olahraga dirasakan sebagai sebuah sarana yang paling mudah dipahami oleh semua orang dan mampu menumbuhkan harga diri bagi sebuah bangsa, didalamnya juga mengandung unsur patriotisme tanpa adanya kekerasan bersenjata. 

Apabila tim yang membela suatu negara mampu menjadi juara dalam olahraga tertentu maka secara otomatis akan membangkitkan rasa nasionalime bagi seluruh masyarakat yang berada dalam negara itu (Hobsbawn, 1992: 163). Rasa kebanggaan yang muncul, secara perlahan-lahan akan menekan tumbuhnya paham-paham yang radikal. 

Mengapa harus sepakbola? Bukan Bulutangkis? Padahal timnas sepakbola bangsa kita kering akan raihan prestasi. Pertanyaan ini akan selalu muncul didalam benak seluruh bangsa Indonesia. Pemerintah harus mampu menjawabnya dengan tindakan nyata dengan meningkatkan prestasi timnas sepakbola kita. 

Sepakbola dan nasionalisme ibarat dua sisi mata uang yang berjalan beriringan karena sepakbola adalah olahraga rakyat. Segala lapisan masyarakat sangat menggemari olahraga tersebut dan sangat loyal dalam mendukung tim yang mereka cintai.

Tingginya nasionalisme bangsa Indonesia sebenarnya tidak perlu diragukan. Sebagai contoh, pada setiap pertandingan yang melibatkan timnas Indonesia dengan Malaysia. Seluruh lapisan masyarakat Indonesia mengarahkan fokus dan dukungannya terhadap tim nasional yang bertanding. Bahkan seluruh pendukung secara serentak bernyanyi dan berteriak "Ganyang Malaysia".

Seolah dogma-dogma ataupun perbedaan paradigma melebur menjadi satu dan mewujud menjadi sebuah dukungan penuh bagi kesebelasan kita. Pemerintah seharusnya dapat memberikan feedback yang positif terhadap keinginan masyarakat yang haus terhadap prestasi dan kebanggaan. 

Indonesia dapat berkaca pada negara Brazil, dimana sebenarnya negara itu bukanlah termasuk dalam negara maju dan sejahtera masyarakatnya secara finasial. Brazil mengalami problem yang hampir sama dengan Indonesia yakni perang terhadap masalah korupsi dan gembong narkoba. Namun timnas sepakbola yang mampu menjadi juara dunia sebanyak 5 kali menyebabkan dampak positif, dimana pemahaman radikal dan kekerasan rasial minim terjadi dinegara ini.

Radikalisme dan konflik SARA dapat diatasi dengan membentuk tim nasional sepakbola yang kuat dan pembenahan terhadap kinerja organisasi PSSI. Prestasi akan memunculkan kebanggaan bagi masyarakat kita. 

Dari olahraga yang merakyat tersebut, segala bentuk pemahaman yang pada awalnnya mengkotak-kotakkan masyarakat dapat dipersatukan dan berubah menjadi sebuah loyalitas. Radikalisme dapat diarahkan menjadi hal positif, dimana masyarakat tanpa lelah akan terus mendukung timnas Indonesia dalam setiap laga yang dihadapinya.

 

Daftar Pustaka

Sarwono, Sarlito Wirawan, 2012. Psikologi Remaja. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada.

Johan Norberg, 2001In Defense of GlobalCapitalismLondon: Cambridge University.

E.J. Hobsbawn, 1992. Nasionalisme Menjelang Abad XXI. Yogyakarta:PT. Tiara Wacana.