Pendidikan merupakan suatu bagian yang penting serta berperan dalam menentukan terhadap maju atau mundurnya peradaban dari sebuah sebuah bangsa. 

Jika sebuah negara ingin memiliki sumber daya manusia yang berkualitas, maka secara absolut sistem dan proses penyelenggaraan pendidikannya haruslah dikatakan baik. 

Secara khusus, pendidikan di Indonesia belum dapat dikatakan baik. Hal ini dikarenakan masih banyaknya problematika dan persoalan. Bahkan, Presiden Indonesia, Jokowi, juga menyampaikan hal yang sama pada saat siaran langsung di akun YouTube Sekretariat Presiden, pada bulan april tahun 2020 kemarin. Pernyataan itu ia sampaikan pada saat membuka rapat terbatas tentang 'Strategi Peningkatan Peringkat Indonesia dalam PISA' . 

Ia menyampaikan bahwa masih terdapat permasalahan yang harus segera diselesaikan. Permasalahan tersebut berkaitan berdasarkan hasil survei Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis pada tahun 2019 lalu. Survei PISA ini merupakan rujukan dalam menilai kualitas pendidikan di dunia. 

Studi ini dilaksanakan 15 tahun sekali dilakukan dengan membandingkan kemampuan matematika, membaca, dan kinerja sains, dari 600.000 anak yang berusia 15 tahun yang ada di 79 negara di dunia. 

Untuk kategori kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 6 dari bawah alias peringkat 74. Skor rata-rata Indonesia adalah 371, berada di bawah Panama yang memiliki skor rata-rata 377.

Untuk kategori matematika, Indonesia berada di peringkat 7 dari bawah (73) dengan skor rata-rata 379. Indonesia berada di atas Arab Saudi yang memiliki skor rata-rata 373. Kemudian untuk peringkat satu, masih diduduki China dengan skor rata-rata 591.

Lalu untuk kategori kinerja sains, Indonesia berada di peringkat 9 dari bawah (71), yakni dengan rata-rata skor 396. Berada di atas Arab Saudi yang memiliki rata-rata skor 386. Peringkat satu diduduki China dengan rata-rata skor 590.

Berdasarkan dari hasil studi tersebut, bisa disimpulkan bahwa sekarang ini masih terdapat banyak kesalahan dari berbagai aspek dan perlu untuk dilakukan proses perbaikan. 

Lantas, apakah permasalahan yang terjadi di Indonesia ini berkaitan dengan sistem pendidikan yang dilakukan oleh Daendels dahulu, dan kita ikut-ikutan secara sadar atau tidak untuk menerapkannya? 

* * *

Pada tahun 1808, Louis Napoleon, pemimpin negeri Belanda pada saat itu, mengirim Herman Willem Daendels ke Batavia untuk menjadi Gubernur Jenderal.

Pada masa kepemimpinannya di Jawa, ia mereformasi administrasi pemerintah
Hindia yang korup, merubah sistem pemerintah hindia-belanda secara
luas, serta ia meletakan dasar-dasar bagi negara kolonial modern di
Indonesia.

Daendels membuktikannya pada tahun 1810 dengan mendirikan Sekolah Ronggeng di Cirebon, dimana sekolah tersebut mengajarkan kegiatan baca-tulis-hitung dan menggabungkan sistem pendidikan barat dan timur.

Selain itu, ia juga mendirikan sekolah militer di Batavia, pabrik meriam di Semarang dan membangun pabrik senjata di Surabaya. Ia juga menempatkan para prajurit serta orang-orang pribumi, untuk membangun banyak rumah sakit, tangsi-tangsi militer, dan yang terakhir membuat Jalan Raya Pos.

Di sinilah, program-program pendidikan yang diciptakan Daendels diorientasikan untuk mencapai kepentingannya untuk menjadi pendorong keberhasilan program-program yang direncanakannya.

Pendidikan yang dilakukan ala Daendels, bertujuan untuk melancarkan proses jual-beli, kuasa politik dan perekrutan manusia ke dalam jurang perbudakan. Sehingga di dalam sistem pendidikan yang ia buat adalah sistem pendidikan yang tidak memanusiakan manusia.

***

Setelah Belanda pergi, dan di awal masa kemerdekaan, konsep pendidikan Indonesia diwarnai oleh pandangan-pandangan Ki Hajar Dewantara. Kebijakan dalam pendidikan di masa itu diimplementasikan ketika ia menjabat sebagai menteri pendidikan pertama Republik Indonesia. 

Beberapa pandangan menurut Ki Hadjar Dewantara sendiri, seperti yang disampaikan Eka Yanuarti dalam Ki Hajar Dewantara pada buku Menuju Manusia Merdeka, tujuan pendidikan adalah sebagai tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak didik, artinya pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada mereka, agar nantinya menjadi manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Pendidikan sebagai tuntunan, juga tidak hanya menjadikan seorang anak mendapat kecerdasan yang lebih tinggi dan luas, tetapi juga menjauhkan dirinya dari perbuatan jahat.

Dalam sumber yang sama, menurut Ki Hajar Dewantara juga, dalam proses mendidik, hakikat pendidikan sebenarnya adalah proses memanusiakan manusia, yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Mendidik harus lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).

Namun yang terjadi sekarang ini, implementasi dari pemikiran Ki Hajar Dewantara di dalam penerapan pendidikan seperti panggang jauh dari api. 

Sifat dan orientasi pendidikan bukan ditujukan kepada pengembangan minat dan bakat dari anak itu sendiri. Tidak hanya itu, pendidikan saat ini hanya difokuskan kepada pemenuhan kurikulum dari program yang dibuat oleh pemerintah. Hal inilah yang sebagian besar dari kita rasakan ketika bersekolah dahulu. 

Pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan potensi anak, dan memerdekakan anak didik dalam proses belajarnya, tidaklah terjadi. 

Ruang kelas digambarkan sebagai penjara dan membuat bakat anak menjadi mengendap dan tidak berkembang. Padahal kita sudah mengetahui, bahwa setiap anak memiliki potensi, minat, bakat dan keunikan yang berbeda-beda. 

Hal yang terjadi sekarang ini adalah pendidikan yang sifatnya menggeneralisir. Implikasinya adalah terdapatnya stereotipe anak yang dianggap pintar adalah siswa yang hanya pandai dalam matematika, fisika kimia. Jika tidak bisa dalam mata pelajaran tersebut, maka dianggap bodoh. 

Kalau kita jeli melihat, sistem pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan yang ada di negara kita berasal dari apa yang dilakukan Daendels dahulu. Ntah secara sadar atau tidak sadar, para penyelenggara pendidikan mengikuti apa yang dilakukan Daendels dahulu. Pendidikan juga dibuat menjadi sebuah komoditi yang orientasinya untuk memenuhi kebutuhan pasar.

Anak didik pun lantas diperlakukan sebagai ”bejana kosong” yang akan diisi sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak. Akibatnya, para murid diperlakukan sebagai objek teori pengetahuan yang tidak berkesadaran pada realitas di sekelilingnya.

Kondisi-kondisi demikian menunjukkan bahwa corak pendidikan Indonesia sangat jauh dari konsep pendidikan dan pengajaran yang dimaksudkan oleh Ki Hajar Dewantara. Hanya slogan-slogannya saja yang digaungkan, tetapi filosofi dan praktek tidak dilakukan. Juga, kita sepakat atau tidak bahwa pengajaran di Indonesia lebih bercorak atas apa yang dilakukan Daendels dahulu.