Kevakuman sepak bola tanah air karena sanksi yang dijatuhkan FIFA terhadap PSSI jelas merupakan kabar buruk bagi pecinta sepak bola. Hal ini menyebabkan minimnya laga yang terjadi dan ketidakjelasan pemain yang selama ini merumput di Liga Indonesia. Di samping itu, sanksi ini juga menghilangkan hiburan masyarakat yang semakin hari hidupnya semakin susah.
Sejak awal berdirinya, sepak bola telah menjadi magnet tersendiri bagi penontonnya. Sepak bola telah memberikan identitas, image, dan prestise bagi suporternya. Maka tidak heran jika beragam hal dilakukan suporter untuk mendukung klub kebanggaannya.
Dalam konteks ini kita bisa berkaca pada Bonek (Bonde Nekat), julukan suporter Persebaya. Banyak macam cara dilakukan untuk mendukung skuadnya berlaga. Banyak hal nekad yang mereka lakukan seperti, demonstrasi tiga hari, berjalan panas-panasan demi menyaksikan Persebaya tanding, bahkan jika ada kebijakan PSSI yang dirasa merugikan, mereka tak segan bersuara.
Kemana pun Persebaya tanding, mereka akan mengikuti walau tanpa bekal atau uang sedikit pun. Itu semua hanya demi Persebaya tercinta. Budayawan Emha Ainun Najib pernah memuji kenekadan arek Bonek ini. Ia mengatakan, hanya Bonek suporter yang nekad ke Jakarta tanpa uang sepeser pun.
Tidak hanya Bonek yang menjadi prototipe suporter nekad di tanah air. Di Solo kita bisa menemukan Pasoepati (Pasukan Solo Paling Sejati), sebutan suporter Persis Solo. Jumlah suporternya telah mencapai jutaan (seperti dilansir sambernyawa.com).
Pasoepati adalah suporter yang siap mati demi klubnya. Dalam setiap laga yang dihadiri, baik Home atau pun Away, kita akan dengan mudah melihat spanduk bertuliskan "Bhineka tunggal Persis" atau "Pasoepati Satu Jiwa."
Bahkan bagi Andre 'Jaran', Dirigen suporter dalam tiap laga, Persis merupakan agama keduanya. Maka tidak mengherankan jika tiap kali sebelum memandu yel-yel suporter, potong kuku, mandi, memakai minyak wangi, dan berpenampilan trendi adalah ritual ibadah yang dilakukannya sebelum ke stadion.
Baginya, berdiri di podium memandu suporter di tribun merupakan ibadah yang harus dijalankan dengan sungguh-sungguh. Menurut saya tidak ada di dunia ini kecintaan yang lebih tulus dari sebuah fanatisme suporter bola.
Lain Jaran lain papua, suporter Persipura lebih ekstrim lagi. Bagi Persipura Mania, sepak bola adalah agama itu sendiri. Bahkan sepak bola adalah nomor satu setelah sekolah dan keluarga. Karena bagi mereka sepak bola merupakan hiburan sekaligus sumber inspirasi.
Sepak bola adalah ladang bagi anak-anak papua menanam mimpi. Seperti Cristiano Ronaldo yang masa kecilnya dihabiskan di sebuah gubuk kecil di pinggir pantai.
Seperti halnya suporter dengan kesebelasan yang didukungnya, fanatisme tersebut tidak mungkin muncul tanpa didasari cinta. Tidak mungkin timbul aksi nekat hingga tidak memedulikan diri sendiri tanpa dibekali ketulusan cinta.
Perlu digarisbawahi, cinta di sini bukan berarti cinta terhadap lawan jenis seperti yang kita kenal. Akan tetapi cinta dalam spektrum yang lebih khusus, spesial.
Reza A.A Wattimena mengatakan bahwa cinta itu paradoks. Cinta adalah di mana kita bisa merasakan sayang sekaligus benci pada seseorang. Benci di sini bukan sesuatu yang direncanakan. Tapi benci yang ditaklukkan oleh besarnya cinta.
Saya sebenarnya kurang paham maksud Reza, bagaimana rasa cinta dan benci itu bisa muncul bersamaan? Atau mungkin saya kurang paham karena saya belum pernah merasakan cinta? Entahlah.
Namun Benci di sini bisa jadi berarti kekecewaan jika klub kebanggaanya mengalami kekalahan. Hal seperti ini kerap kali kita temukan pada fans yang fanatik. Kekecewaan ini bahkan bisa berujung anarkis atau yang akrab disebut hooligan.
Sebut saja aksi Raja Minyak dari Kuwait yang membanting televisinya karena skuad negaranya kalah tanding. Atau juga ulah suporter Malaysia yang menyerang suporter Filipina karena kekalahan yang dialami timnasnya.
Namun perlu dipahami, ulah fans yang anarkis tersebut bukan karena didasari ketulusan cinta, tapi nafsu untuk selalu menang dan menistakan kekalahan. Padahal dalam setiap pertandingan, kalah menang itu hal biasa.
Lagi-lagi saya ingin mencontohkan kesetiaan Pasoepati. Meskipun Persis Solo tidak pernah menduduki puncak klasemen, keriuhan serta optimisme tinggi kerap menyertai mereka dalam setiap laga Persis Solo.
Contoh kasus ketika Persis Solo tanding di Tangerang. Waktu itu jumlah Pasoepati yang berangkat ke Tangerang mencapai 4000 suporter. Angka yang fantastis untuk sebuah klub bola lokal.
Meskipun hasil laganya seri dan Persis bercokol di dasar klasemen, hal ini tidak membuat hati Andre Jaran dan kawan-kawan surut. Mereka kembali ke kota asal dengan rasa bangga. Bukan karena hasil seri yang diraih, namun karena kesolidan Pasoepati.
Cinta memang harus seperti itu, tidak hanya muncul ketika kita lagi di atas, namun juga ketika sedang terpuruk. Cinta itu mewujud dalam dukungan dan kesetiaan. Klub sepak bola bukanlah apa-apa jika tanpa suporter, begitupun aku tanpa dirimu.
Bukankah cinta seperti ini juga yang kita inginkan, Dik?