Artikel sederhana ini akan saya mulai dari pertanyaan, sebenarnya apa yang dicari dari menjadi suporter bola?

Saya memang tidak mau melakukan penletian ilmiah untuk mengetahui pendapat orang agar membentuk kesan validitas ilmiah untuk artikel ini, seperti kuesioner dengan metodologi dan tetek-benegek lainnya, males, ribet.

Hari ini, tepat 6 bulan skripsi saya mangkrak. Mungkin bosan dengan hal-hal yang berbau ilmiah. Saya menulis artikel ini sederhana, dengan asumsi dan berdasarkan pada sesuatu yang menjadi unek-unek saja.

Apa hal yang terlintas di pikiran saya ketika ada yang menyebut suporter bola?

Kok bisa ya, manusia sebanyak itu bereteriak-teriak, ngayunkan syal, menari bahkan di beberapa kejadian ada yang berantem antar suporter tetangga dan ada yang sampai tewas.

Kita sama-sama tahu kalau mereka semua itu tidak ada yang dibayar, malah bayar tiket masuk. Apakah mereka (kawan-kawan suporter) mencari eksistensi seperti yang ada dalam teorinya Abraham maslow? Memangnya tidak ada cara lain?

Saya sempat berpikir, jangan-jangan suporter bola ini hanyalah rekayasa bisnis yang mengandalkan kekhawatiran? Seperti yang ada dalam buku Worry Marketing-nya Fidelis? Contohnya seperti kasus LBB (lembaga bimbingan belajar) yang memanfaatkan sedikit kekhawatiran murid tentang lulu tidaknya setelah menempuh UAN. Atau dalam lingkup yang lebih besar, yaitu perusahaan asuransi.

Cobak kita lihat di sini, orang yang mengaku public figure (artis, politisi, pejabat, pokoknya yang masuk TV atau menjadi hits di medsos) rata-rata punya jagoan klub bolanya sendiri.

budayawan seperti Candra Malik, Sujiwo Tedjo bahkan kalangan agamawan pun semua bersatu, untuk saling nyiyir masalah bola. Mungkin pas istirahat karena capek bikin puisi, ya?

Saya pikir, untuk mereka ndak apa-apalah ribut maslah bola karena toh berekonomi kecukupan, baik dari gaji negara, buku-buku larisnya, ataupun dari mengisi kegiatan di kampus-kampus yang tentunya tidak gratisan.

Tapi yang bikin aneh, ini masyarakat yang berada pada ekonomi pas-pasan seperti tetangga tetangga saya di kampung (Malang). Mereka bukan jutawan seperti public figure di atas, tapi loyalitas kepada tim kebanggaannya, buh, jangan ditanya lagi. Rela konvoi, rela mati, rela berhutang.

Saya berpikir sederhana, jangan-jangan hal-hal yang berbau loyalitas berlebihan adalah produk budaya yang membuat seseorang khawatir jika tidak ikut-ikutan, merasa terasing, mungkin?

Dari situ membludaklah, bum! Pasar-pasar, mall-mall penuh banget dengan jersey-jersey, bahkan di kalangan mahasiswa yang memang sengaja dientrepeneurkan oleh kurikulum kampus, ramai memasang dagangan jersey onlinenya. Mungkin karena belum banyak modal untuk nyewa kios. Inilah hikmah bola untuk perusahaan konveksi.

Coba lihat, walaupun tidak ada liga Indonesia, entah super atau primer, tapi kegiatan berbau bola pastilah akan mendorong terselenggaranya liga gubernur, walikota, camat, kepala desa, RT, RW. Kenapa? Ya, agar PT yang mempunyai tim bola ada pemasukan, toh.

Ya, mungkin saya terlalu egois memandang semuanya ini hanyalah sebagai kegiatan ekonomi. Tapi mau gimana lagi, wong yang namanya PT yo tetep PT. Suporter akan terus dijejali jargon-jargon baru, hmm.

Mungkin yang sedih melihat ini adalah orang-orang sejamannya Tan Malaka. Mereka dulu sulit galang massa tingkat bawah, sampai harus lari-larian dari koloni hanya untuk mewujudkan masyarakat yang rela mati, rela harta, atau bahkan konvoi hanya untuk kata “merdeka”.

Sekarang perusahaan yang dibantu media sangat mudah mengumpulkan massa di setiap stadion di kabupaten masing-masing, dan selalu ramai. Tanpa dibayar.

Hanya untuk teriak, bangga, dan bahkan, walaupun jarang, ya tawuran. Rela mati. Demi tim yang di elu-elukan. Sementara pemilik PT yang menjadi sponsor tim bola itu? Mereka duduk-jigang sambil tersenyum menikmati limpah ruahnya pemasukan.

Mungkin jika pemuda-pemuda kita di jaman kolonial dulu punya semangat rela mati, rela harta, rela konvoi, rela tawuran, dan tanpa dibayar, Indonesia tidak akan menunggu terlalu lama untuk sekedar proklamasi.

Pesan dari saya yang apalah-apalah ini, "Ayolah kawan, sepakbola itu hanya hiburan!"