I. Latar Belakang

Sejak zaman pra-kemerdekaan hingga kini, ekstremisme selalu hadir dalam sejarah perjuangan rakyat negeri ini.

Paham ekstremisme itu awalnya digerakkan oleh kaum Nasionalis lewat sebuah gerakan bernama Soempah Pemoeda pada 28 Oktober 1928 lalu, dan mencapai puncaknya dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Kaum Ekstrimis Nasionalis itu akhirnya mampu mempersatukan ratusan suku dan bahasa daerah itu kedalam satu persatuan bernama Indonesia.

Namun gerakan kaum Nasionalis itu sebelumnya mendapat tantangan keras dari kaum ultra kanan (Islam) dan juga ultra kiri (Komunis) yang beberapa kali melakukan pemberontakan terhadap Belanda. Untungnya pertentangan diantara kedua kaum ini sangat hebatnya, seperti air dan minyak (sulit dipersatukan) sehingga membuat kedudukan kaum Nasionalis tidak tergoyahkan, yang lalu “keburu” memerdekakan Indonesia setelah sebelumnya menculik Soekarno dan Hatta.

Namun tragedi G30-S PKI kemudian menghancurkan kaum komunis hingga “keujung kuku.” Puluhan ribu orang-orang yang dicap sebagai komunis kemudian dipenggal kepalanya. Puluhan ribu lainnya dipaksa “berlibur” di kamp konsentrasi pulau Buru tanpa pernah diadili.

Kesemuanya itu akhirnya membuat PKI lebih menakutkan daripada “Kuntilanak, Genderuwo ataupun Suster ngesot” dimata masyarakat. Dengan berlalunya komunis, maka kini kaum Kanan berhadapan secara langsung dengan kaum Nasionalis.

Dicoretnya “Piagam Djakarta” dari Dasar Negara ternyata membawa “luka teramat dalam” bagi kaum ultra kanan. Agama (Islam) dan politik seharusnya berjalan seiringan. Seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat yang mayoritas Muslim ini seharusnya diatur berdasarkan syariat Islam. Namun konsep tersebut justru mendapat penolakan keras dari kebanyakan Muslim yang ingin memisahkan konsep politik yang profan dengan konsep agama yang sakral.

Pada era Soeharto praktis tidak begitu banyak aksi-aksi radikalisme yang terjadi. Akan tetapi eskalasi kekerasan/teror kemudian meningkat pada awal reformasi. “Para profesional terlatih” hampir selalu ada dibalik aksi-aksi kekerasan yang melanda hampir seluruh negeri ini.

Dimulai dengan aksi Kerusuhan Mei bersamaan dengan tumbangnya Soeharto, hingga ke Poso, Ambon dan Kalimantan... Fanatisme kedaerahan dan sentimen SARA sengaja dihembuskan untuk memprovokasi warga agar terjadi kekacauan untuk membuat instabilitas di dalam negeri.

Namun perlahan, Otonomi daerah dengan Pilkadanya, narkoba dan hedonisme kemudian membawa perubahan besar pada sendi kehidupan masyarakat. Reformasi justru membawa semua pelakunya untuk menjadikan negeri ini menjadi ajang “bancakan!”

Orang-orang ultra Kanan yang dulunya terusir pada zaman Soeharto kemudian mendapat “panggung” pada era reformasi. Mereka lalu mendirikan parpol bernafaskan “hawa ultra Kanan...” Namun sama seperti kaum Nasionalis, kaum Kanan yang doyan hedonisme ini juga, kemudian menjadikan negeri ini hanya sebagi ajang bancakan saja...

***

Pada zaman Soeharto kaum Nasionalis mendapat suara dukungan lewat ormas-ormas kepemudaan yang kemudian menjadi onderbouw Golkar itu. Sebagian lagi memperoleh dukungan lewat romantisme Marhaenisme.

Reformasi kemudian merontokkan ormas-ormas berbasis nasionalisme yang mendadak alergi terhadap embel-embel nama Bapak Pembangunan itu. Ormas ini kemudian mati suri karena tidak lagi mendapat pasokan “enerji” dari Penguasa, baik lewat proyek, konsesi maupun kucuran dana segar. Sebaliknya ormas-ormas berbau Kanan tumbuh subur bak cendawan di musim penghujan!

“Anggota ormas Nasionalis yang mati suri ini kemudian “hijrah” ke ormas berhaluan Kanan. Dulu para anggota ormas itu suka buka baju ala Rambo untuk menunjukkan tatonya, sambil minum miras di pinggir jalan. Kini mereka terpaksa harus memakai “daster” putih.

Minum mirasnya malam hari saja ditempat tersembunyi supaya terlihat sopan! Bernaung dibawah ormas kanan kini lebih menjanjikan karena pasokan dana mengalir lancar. Kini di pemerintahan banyak pejabat dan petinggi dari kaum Kanan yang bisa menjamin roda operasional ormas agar tetap berjalan lancar...

Sejatinya dukungan ormas-ormas (preman) ini hanya diperlukan pada saat isidentil saja, terutama untuk aksi teror ataupun untuk kontra-teror ketika menghadapi aksi demo dari kaum yang berseberangan. Dukungan utama tetap dibutuhkan dari kaum “sufi” yang lebih terpelajar namun tetap radikal dalam konsep dan sikap mereka. Kaum “sufi” ini mendapat privilege dari masyarakat karena dianggap lebih agamis dan juga lebih pintar beretorika...

Sama seperti ormas preman, “ormas sufi” ini juga bertindak sesuai dengan garis komando.  Jadi walaupun terkesan radikal, kedua ormas ini tetap saja memang disetir oleh “pengguna jasa mereka” lewat arahan komandan lapangan. Yang berbeda dari kedua ormas ini adalah alur “pembinaan” untuk para anggotanya.

Anggota ormas preman dibina dengan standar kekerasan, uang, dan hedonisme. Artinya anggota dibina supaya mereka bisa menciptakan”surga” di dunia ini. Surga (kesenangan) tersebut tentu saja butuh biaya, dan itulah yang perlu mereka upayakan bersama lewat ormas. Pendapatan yang mereka terima (biasanya lewat aksi kekerasan) setelah “dipotong pajak” lalu dipakai untuk membeli surga (kesenangan)

Sebaliknya anggota “ormas sufi” dibina supaya mereka bisa mewujudkan “kehidupan dunia di surga” nantinya! Artinya filosofi hidupnya dibalik! Ketika hidup di dunia yang fana ini, mereka harus hidup seperti di surga, yaitu menjauhkan segala kebatilan, kemungkaran dan dosa. Kalaupun mereka “terpaksa” harus melakukan kekerasan didunia ini, itu semata untuk menegakkan keadilan dan menghancurkan kezoliman...

Lalu ketika mereka tetap setia melakukan segala perintah dari ormas, maka mereka kelak akan mendapat upah di sorga, yaitu hidup seperti di dunia dengan menikahi banyak bidadari cantik! Entah bagaimanalah caranya surga yang sakral (tentu saja fisik manusia yang profan tidak bakalan mendapat tempat) bisa menjadi pelaminan antara manusia dengan bidadari...

Perekrutan anggota ormas preman tentu saja sangat mudah karena “Akademi jalanan” setiap hari menelurkan ribuan alumni yang akrab dengan kekerasan. Sebaliknya untuk anggota “ormas sufi” butuh waktu yang lebih panjang karena mereka harus “dibimbing” dalam jangka waktu yang cukup lama.

Tidak gampang mendoktrinasi seseorang agar bisa menjadi radikal, dan mau melakukan kehendak pemimpin. Selain itu Warga, RT, Polisi maupun aparat terkait lainnya bisa saja curiga dan malah menciduk para pemimpin ormas ini nantinya.

Jadi akademi pelatihan yang pas itu adalah memakai “jalur normal” yang tidak menimbulkan kecurigaan dari warga. Itulah sebabnya pengajian di sekolah, kampus maupun pada tempat tertentu rawan untuk disusupi oleh ormas sesat seperti ini. Apalagi hampir tidak bakalan ada yang curiga kalau tempat ibadah dipakai sebagai tempat untuk penyebaran paham radikalisme.

Awalnya pada khotbah diselipkan sedikit paham radikalisme. Ketika warga berdiam saja, maka porsi radikalismenya akan ditingkatkan. Dan setelah beberapa lama waktu berjalan, maka ditempat tersebut paham radikalisme akan terus menerus disebarkan. Sebaliknya ketika warga langsung bereaksi keras, maka “khatib gadungan” tersebut tidak akan berani lagi datang ketempat tersebut, dan akan mencari tempat lain yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

II. Penyebab Radikalisme dan Ekstremisme

Ada beberapa penyebab yang dapat kita lihat sebagai berikut,

Pertama. Ketidaktahuan

Jangankan dalam konteks lintas agama, dalam konteks intra agama saja sering terjadi permusuhan. Banyak yang membenci Syiah atau Ahmadiah tanpa pernah belajar mengenai ajaran Syiah atau Ahmadiah.

Saling ejek diantara mazhab Katolik, Protestan, Karismatik dan beberapa denominasi lainnya juga masih kerap terjadi. Sebagian besar disebabkan karena tidak memiliki pemahaman mendalam terhadap mazhab lainnya. Tetapi bagaimana paham kalau tidak belajar, “bagaimana sayang kalau tidak kenal...”

Lalu bagaimana lagi dengan lintas agama? Isu kristenisasi selalu menjadi isu seksi bagi kaum Muslim. Yang teranyar bakti sosial dari sebuah gereja Katolik di Jogja harus dibatalkan karena isu Kristenisasi ini.

Menurut seorang pejabat lokal, sebaiknya bakti sosial tersebut dilakukan di dalam gereja saja agar tidak menimbulkan polemik. Ini jelas pernyataan keliru. Gereja tersebut sudah lama berdiri dan berhubungan baik dengan warga sekitarnya. Kalau selama ini hubungan gereja dengan warga jelek, tentu saja gereja tersebut tidak akan mungkin berdiri disitu...

Apakah warga gereja Katolik tersebut semuanya adalah orang kaya? Tentu saja tidak, justru banyak dari mereka itu adalah orang biasa saja! Akan tetapi warga gereja itu tergerak hatinya untuk membantu warga yang berkekurangan disekitar mereka lewat sebuah kegiatan bakti sosial. Tetapi kemudian baksos tersebut dilarang oleh kelompok tertentu dengan dalih kristenisasi. (Padahal yang melakukan baksos adalah gereja Katolik, bukan gereja Kristen!)

Jadi penyebab karut marut persoalan ini adalah ketidaktahuan saja! Kalau sekiranya umat Muslim, Katolik dan Kristen itu khatam baca Alkitab dan Quran, tentu saja mereka tidak akan saling curiga. Kalau yang Katolik dan Kristen sesekali ikut Jumatan tentu saja akan menambah pemahaman beragama.

Begitu juga yang Muslim sesekali ikutan misa atau kegiatan di gereja untuk menambah wawasan beragama mereka. Apakah hal itu akan membuat mereka “mendadak murtad?” Tentu saja tidak!

Lihat saja seperti di Palestina dimana multi agama dapat tumbuh dengan baik. Bisa saja dalam sebuah keluarga besar anggota keluarganya memiliki beberapa agama yang berbeda. Ada yang Muslim, Katolik, Kristen maupun Yahudi. Mereka tetaplah warga Arab Palestina yang berseberangan (politiknya) dengan Israel yang nota bene penduduknya juga beragama Yahudi, Muslim, Kristen dan Katolik. Artinya agama tidak berpengaruh terhadap pandangan politik!

Kedua, Penyesatan terhadap masyarakat 

Isu hoaks semakin populer dalam beberapa tahun terakhir ini. Utamanya sejak Pilpres 2014 lalu dimana orang-orang seperti Jonru mendapat panggung istimewa lewat medsos. Medsos menjadi media yang ampuh untuk menyuarakan ujaran kebencian, maupun tindakan-tindakan intoleransi lainnya.

Ada ratusan portal dan penulis profesional untuk menyebarkan hoaks yang sebagian besarnya memang dibayar untuk kepentingan pihak tertentu. Sebagian dari warganet juga suka latah dengan men-share berita hoaks yang tidak jelas ujung pangkalnya untuk memperunyam suasana.

Pengrusakan dan pembakaran beberapa vihara di Tanjung Balai beberapa waktu yang lalu itu hanya dipicu oleh berita hoaks dimedsos yang kemudian dishare oleh warganet lainnya. Lantas siapakah yang diuntungkan akibat dari “kebodohan” ini? Sama sekali tidak ada! Justru kita semualah yang harus menanggung kerugian bersama dengan rasa malu yang tak tertahankan... 

Ketiga, Politisasi Agama 

Di negeri yang penuh kemunafikan ini agama memang mendapat tempat yang sangat istimewa dimata penduduknya, sekalipun banyak dari penduduk dan pemimpin hidup dalam kebejatan yang justru jauh dari sendi-sendi keagamaan itu sendiri!

Menurut laporan dari KPK per 10 Agustus 2016, ada 361 Kepala Daerah di Indonesia yang terlibat korupsi. Angka tersebut jelas sudah bertambah pada awal tahun 2018 ini. Jangan lupa juga ada 2 (dua) menteri agama yang terjerat kasus korupsi terkait pengadaan Quan dan penyelenggaran Haji. Catat! itu Menteri Agama bukan Menteri urusan Perawan (peranan Wanita)

Korban penipuan dari travel “Ibadah umroh” ilegal terus bertambah. Kasus penipuan berlandaskan urusan agamapun tak pernah berkurang di negeri ini. Sebaliknya hampir tidak pernah kedengaran pengusaha togel tertipu konsumen, atau konsumen togel mengadu kepada polisi karena bandar melarikan uang mereka!

Entah mengapa isu agama selalu mendapat perhatian istimewa dari warga. Sebagian besar diakibatkan oleh rendahnya tingkat pendidikan mereka ini. Itulah sebabnya “politisi dan pengusaha lihai” selalu berusaha memanfaatkan sentimen agama ini untuk kepentingan pribadi maupun politik mereka. Walaupun terlihat menjijikkan, tetapi isu agama ini ternyata sangat efektif untuk menjerat mangsa!

Pilkada DKI 2017 adalah saksi mata sebuah politisasi agama. Timses dan konsultan politik kemudian meramu sentimen agama ini sebagai objek politik, menjadikan agama sebagai justifikasi atau pembenaran demi kepentingan kekuasaan.

Isu “ayat dan mayat” menjadi isu yang sangat populer pada Pilkada DKI lalu. Menebarkan fitnah dan kebohongan untuk menyerang lawan politik dengan justifikasi agama pada hakekatnya justru menjadikan agama itu menjadi korban dari politik itu sendiri!

Dua tahun kedepan adalah tahun politik yang puncaknya adalah Pilpres 2019. Sepertinya aksi-aksi radikalisme berbalut SARA seperti sekarang ini masih akan terus saja berlangsung...