Saya benar-benar jatuh cinta dengan senjata pusaka nusantara. Dilihat dari keragaman jenisnya, teknik pembuatannya dan motif yang terdapat pada bilah-bilah pusaka tersebut membuat saya kagum tidak alang kepalang.
Di masa lalu, dimulai sekitar abad ke-4, kerajaan di nusantara sudah mengenal teknik metalurgi yang mumpuni. Para empu di kerajaan-kerajaan tersebut sudah bisa membuat senjata dengan teknik tempa lipat dan menggunakan tidak hanya satu macam bahan saja, tetapi bisa sampai 10 macam bahan pembuat senjata.
Di masa awal atau dikenal dengan era Kabudhan, teknik pembuatan senjata pusaka memang masih sederhana, belum mengenal apa itu pamor –motif yang terdapat pada bilah--pada senjata pusakanya, tetapi teknologinya sudah dengan teknik tempa lipat –teknik penempaan dengan melipat bahan dengan tujuan membuat bahan menjadi padat dan kuat. Di masa sesudahnya, sekitar abad ke-7 sampai puncaknya sekitar abad ke-15, para empu di berbagai kerajaan nusantara sudah menguasai teknik pembuatan yang luar biasa.
Proses tempa lipat yang dilakukan itu bukan hanya terbilang dua atau tiga lipatan saja, proses ini bisa mencapai puluhan, bahkan ratusan lipatan. Hasilnya sungguh luar biasa, pusaka tersebut jadi memiliki motif di bilahnya dan dikenal dengan nama pamor. Luar biasanya, pamor-pamor tersebut bukan terjadi secara kebetulan, tetapi sengaja dibuat, karena dipercaya pamor-pamor tersebut memiliki filosofinya masing-masing. Ada pamor yang dipercaya untuk kewibawaan/kepemimpinan, kerezekian, pergaulan dan lain-lain.
Penelitian yang dilakukan ahli fisika nuklir, Haryono Arumbinang, terhadap sejumlah keris di Jawa kuno menemukan pamor dalam senjata pusaka ini memiliki kandungan besi (Fe) dan arsenikum (As). Selain itu, unsur yang dominan dijumpai adalah titanium (Ti). Adapun nikel (Ni) juga dijumpai pada bilah walaupun frekuensinya tidak sebanyak Ti. Dalam dunia modern, titanium dan nikel dikenal sebagai logam berkualitas tinggi karena sifatnya yang kuat, ringan, dan tidak berkarat. Titanium menjadi bahan pembuat pesawat dan menjadi bahan mahal. Selain bahan logam tersebut di atas, senjata pusaka yang diwariskan kepada kita sekarang, tidak sedikit yang mengandung meteorit (batu meteor).
Bicara mengenai asal-usul keris atau senjata pusaka lain, hingga sejauh ini masih menjadi perdebatan. Sebagian menyebutnya berasal dari Jawa, misalnya Bambang Harsrinuksmo dalam Ensiklopedi Keris (2004). Namun, sebagian menyebutnya berasal dari budaya Melayu, seperti Sir Thomas Raffles dalam “The History of Jawa” (1817). Faktanya, UNESCO telah menyebut keris sebagai a distinctive, asymmetrical dagger from Indonesia. Kita perlu berbangga karenanya, karena budaya nusantara sudah diakui secara Internasional oleh UNESCO.
Senjata pusaka di nusantara tersebar hampir merata, dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa tenggara dan sebagainya. Walaupun memiliki bentuk khas dari masing-masing daerah, teknik pembuatan pusaka zaman dahulu tetap menggunakan teknik tempa lipat dengan hasil bilah berpamor tadi. Di sinilah keunikan senjata-senjata pusaka tersebut.
Kebanyakan orang hanya mengenal pamor pada bilah keris saja, padahal pamor tersebut juga terdapat pada senjata pusaka lainnya seperti golok, pedang, badik dan sebagainya. Menyenangkan memiliki kegiatan baru, yaitu turut melestarikan warisan budaya bangsa berupa senjata pusaka tradisional.
Sebagian orang memang melihat senjata pusaka dari sisi esoterisnya saja atau sisi mistisnya saja. Memang itu adalah satu dimensi dari banyak dimensi lainnya jika berbicara mengenai senjata pusaka. Saya lebih suka mengesampingkan dimensi esoteris tersebut atau bisa dikatakan tidak peduli terhadap dimensi tersebut. Saya bukan menafikan sisi esoteris, tetapi lebih tidak ingin terjebak dalam dunia klenik di dimensi tersebut. Saya lebih mengagumi hasil budaya yang diwariskan oleh nenek moyang kita dan ingin turut serta dalam hal merawat dan melestarikan senjata-senjata pusaka tersebut.
Berbicara mengenai teknologi membuat senjata, tidak bisa dipungkiri Damaskus adalah salah satu tempat yang pasti disebut orang untuk urusan ini. Ibukota Suriah ini dikenal sebagai tempat pengolahan besi yang sangat masyhur. Kualitas besi dari Damaskus ini diakui banyak kalangan di seluruh dunia.
Selain kuat dan tajam, pedang-pedang buatan Damaskus ini sangat berkualitas dan memiliki tekstur yang sangat indah. Ketajaman dan kekuatan pedang Damaskus sudah diakui dunia. Ketika Perang Salib terjadi, pedang Damaskus ini membuat lawan terperangah karena pedang ini bisa merobohkan lawan dengan sekali tebas saja.
Damaskus menjadi pusat pembuatan pedang yang terkenal terjadi pada abad ke-7 saat Damaskus berada di bawah kekuasaan Umayyah dan terus berlanjut mencapai kejayaannya pada abad ke-12 saat berada di bawah kekuasaan Ayyubiayah. Masanya tidak berbeda dengan apa yang terjadi di nusantara, pada masa itulah memang puncak kejayaan pembuatan senjata pusaka di nusantara.
Bedanya mereka terus melanjutkannya sampai saat ini, sedangkan di nusantara sempat terhenti saat VOC mulai datang, peperangan antarkerajaan mulai terjadi akibat politik adu domba yang dilancarkan Belanda. Kerajaan fokus terhadap peperangan yang terjadi, baik antarkerajaan, maupun terhadap Belanda sendiri. Saat itu bisa dikatakan budaya pembuatan senjata di nusantara sempat terhenti.
Saat ini memang ada beberapa tempat yang melanjutkan pembuatan senjata, seperti yang cukup terkenal seperti Ciomas di Banten atau Cibatu di Sukabumi dan beberapa sentra pembuatan senjata tajam lainnya. Walaupun sampai saat ini bisa dikatakan bahwa belum ada tempat yang bisa menghasilkan senjata seperti senjata yang dibuat nenek moyang kita terdahulu secara kualitasnya.
Hal yang bisa dilakukan sekarang adalah turut serta melestarikan tinggalan budaya senjata pusaka yang masih tersisa agar bisa lestari dan sampai kepada generasi mendatang. Itu adalah bukti bahwa nusantara pernah berada pada posisi yang dikenal sebagai tempat pembuatan senjata tajam masyhur di masa lalu, sejajar dengan Damaskus yang kebetulan lestari sampai saat ini.
Salam Budaya.