Apabila mode produksi feodalisme dikelola dengan relasi “tuan-budak” dan dengan corak “patrimonial”, mode produksi yang disebut “kapitalisme” dikelola dengan relasi “kerja-upahan” dan mekanisme “legal-rasional”. Artinya, kehadiran kapitalisme dicirikan oleh kehadiran organisasi yang bekerja dengan sifat rasional.

Organisasi yang bersifat rasional dibutuhkan oleh kapitalisme untuk membebaskan masyarakat dari kungkungan etika komunal yang kaku dan pembatasan-pembatasan yang diberlakukan oleh sistem feodal.

Keberadaan organisasi rasional dimaksudkan untuk terus-menerus mencari dan mengadopsi alat-alat dan mekanisme produksi yang terbaik untuk merealisasikan tujuannya, yakni memperluas ekspansi dagang dan penumpukan kekayaan tanpa batas. Bahkan bagi si kapitalis jika perlu mekanisme perdagangan mampu menembus keterbatasan ruang dan waktu.

Organisasi yang bersifat rasional semakin dibutuhkan oleh kapitalisme untuk mencapai “efektivitas dan efisiensi” produksi, di tengah membengkaknya tuntutan-tuntutan persaingan di dalam pasar bebas. Artinya, rasionalisasi atas mekanisme produksi demi mencapai efektivitas dan efisiensi adalah “prasyarat” bagi si kapitalis untuk bertahan di tengah persaingan pasar yang semakin sengit.

Bahkan Weber menyatakan bahwa yang membuat kapitalisme mampu bertahan lama sebagai sebuah corak produksi ialah pengelolaan yang terus-menerus dikonstruksi, diorganisasi dan dimekanisasi atas prinsip-prinsip rasional.

Baik adanya pembaruan teknik-teknik rasional sampai rasionalisasi cara hidup. Maka wajar jika Habermas menyatakan bahwa semakin menguatnya sistem kapitalisme, otomatis akan terjadi “rasionalisasi masyarakat” secara massif. Sehingga logika rasio-instrumental yakni logika yang terarah pada efisiensi juga bakal semakin menguat. Masyarakat semakin mengarah pada pembagian kerja yang rasional dan bersifat fungsional.

Apalagi di saat situasi krisis. Hal yang paling mungkin dilakukan oleh si kapitalis untuk mengatasi dan menyelamatkan diri dari rongrongan krisis ialah merekonstruksi, dan mereorganisasi diri, yakni dengan memperbarui hubungan produksi. Artinya rasionalisasi atas hubungan produksi adalah hal yang paling mungkin dilakukan si kapitalis untuk menghindar dari krisis. Di tengah keterbatasan sumber daya alam dan tak selalu bisa diperbaharui (tak abadi).

Dan di tahun 2008, kapitalisme mengalami krisis yang parah. Yang hingga saat ini belum pulih benar. Untuk itu, merasionalisasi kembali hubungan produksi adalah syarat utama bagi kapitalisme untuk bisa bertahan di tengah tuntutan persaingan pasar dan menyelamatkan diri dari krisis.

Akan tetapi, upaya kapitalisme merasionalisasi kembali hubungan produksi yang lebih berdasar pada efisiensi dan efektivitas, segera bertabrakan dengan praktik-praktik korup dan kolusif dari ekonomi rente (kapitalisme kroni). Karena praktik-praktik korup dan kolusif dari ekonomi rente yang melibatkan bisnis kroni yang berasal dari penguasaan mereka atas monopoli, kontrak dan konsesi dalam proyek-proyek pemerintah dianggap sesuatu yang “irasional” dan “inefisien”.

Upaya merasionalisasi hubungan produksi menjadi lebih efisien justru terhambat apabila kebanyakan praktik bisnis dijalankan dengan relasi patrimonial dan kronisme, yang kebanyakan aktor bisnis ialah sekaligus para pejabat negara, perwira militer atau keluarga serta teman-teman dekat mereka (pengusaha sekaligus penguasa atau membangun bisnis karena dekat dengan kekuasaan/dari hasil rente).

Semua ini melibatkan praktik-praktik korup dan kolusif, yang menghambat hubungan produksi kapitalisme untuk merekonstruksi diri menjadi lebih efisien.

Prinsip efisiensi-efektivitas para kapitalis (rasionalitas) justru bertentangan dengan prinsip ekonomi rente yang melibatkan bisnis kroni dan praktik-praktik koruptif dan kolusif. Sehingga terjadi “kontradiksi sistem” antara praktik irrasionalitas-eknonomi rente dengan rasionalitas-kapitalisme.

Maka semakin membiaknya praktik korupsi yang melibatkan bisnis kroni dan perburuan rente, justru semakin mengancam upaya kapitalisme untuk menyelamatkan diri dari krisis ekonomi melalui reorganisasi diri menjadi lebih efisien.

Dan mau tak mau, upaya itu juga akan membawa “rasionalisasi” terhadap hubungan antara bisnis dan pemerintah. Hubungan antara bisnis dan pemerintah yang dulu dikelola dengan logika kronisme dan ekonomi rente bakal digantikan dengan logika kapitalisme yang rasional dan efisien.

Sehingga kekuatan untuk menjadi lebih “rasional” dalam kapitalisme akan meluruskan apa yang tidak efisien, efektif dan transparan, atau apa yang korup, kolusif dan nepotis dalam hubungan antara bisnis dengan pemerintah. Asumsi ini juga sesuai dengan oposisi konseptual yang dibuat Max Weber antara “legal-rasional” dan “patrimonial”. Oposisi ini cepat atau lambat akan mengalami konflik.

Kenyataan bocornya Panama Papers yang melibatkan sejumlah nama para konglomerat hitam, atau penguasa sekaligus pengusaha dan terbongkarnya kasus-kasus korupsi yang terindikasi adanya praktek perburuan rente adalah fenomena yang menunjukan hal itu. Sebuah fenomena yang merupakan akibat dari adanya upaya kapitalisme mereorganisasi diri untuk menjadi lebih efisien agar selamat dari krisis.

Permasalahan ini dapat dipahami apabila ia ditempatkan dalam bingkai ekonomi global. Apalagi satu refleksi penting yang diajukan oleh Jeffrey Winters dalam Power in Motion (1996) mengatakan bahwa dinamika ekonomi-politik di Indonesia tidak ditentukan oleh kemauan pemerintah, melainkan oleh “mobilitas modal” dan kontrol atas “modal yang mudah bergerak” dalam bingkai ekonomi global.

Sehingga ramai-ramainya kasus Panama Papers dan banyaknya kasus korupsi kelas kakap yang hendak dibongkar adalah akibat dari sebuah keniscayaan reorganisasi kapitalisme untuk menjadi lebih efisien dan dapat selamat dari jurang krisis ekonomi.

Akan tetapi, yang jadi soal banyak dari pengusaha yang melakukan perburuan rente dan bisnis kroni adalah para penguasa dan pemilik partai. Selama ini partai politik menghidupi diri dari hubungan mereka dengan bisnis kroni dan ekonomi rente. Untuk itu, senja kala ekonomi rente bisa dikatakan paralel dengan senja kala partai politik. Dan kenyataan yang terjadi akhir-akhir ini sepertinya menunjukkan hal itu.