Semasa masih berada di bangku sekolah dasar, saya sering mengirimkan kartu lebaran kepada sahabat. Momen Idulfitri saya maknai sebagai ajang peleburan dosa lewat sepucuk surat. 

Tulisan permohonan maaf dengan aneka narasi-puitis itu dimasukan ke dalam kartu lebaran. Kartu itu berwarna biru, sesuai warna kesukaan saya.

Itu dahulu sekitar hampir sepuluh tahun silam. Sekarang tradisi ini hampir tak sepenuhnya dilakukan sebab telepon pintar telah menggeser peran dan fungsinya. 

Kita kini tak lagi bermaaf-maafan melalui kartu lebaran karena dianggap kurang efektif. Eksistensi kartu lebaran ini perlahan meredup sejak dua lapisan disrupsi. Pertama, pulsa SMS. Kedua, kuota internet.

Barangkali selebrasi minta maaf kepada sanak-saudara atau kerabat sampai pada titik sekadar basa-basi. Sebagian besar dari kita mungkin mengamini hal ini. Khususnya ekspresi tertulis lewat media sosial. Kebanyakan tulisan yang dikirimkan sebagai bentuk permohonan itu hanya hasil “cetak-tempel” dari kiriman sebelumnya.

Sementara permohonan maaf di atas kertas yang dimasukan kartu lebaran itu, menurut saya, sedikit berbeda: menginjeksikan kreativitas menulis plus bubuhan estetis. Kenapa begitu?

Pertama, kartu lebaran berisi beberapa paragraf yang intinya memohon maaf tapi dikonstruksi sedemikian rupa melalui dorongan kreatif. Tanpa “jiwa seni” yang lumayan, kartu lebaran itu bak surat biasa yang bernilai pesan semata. 

Kartu lebaran mungkin basa-basi karena dialamatkan kepada seseorang yang penulis terkait merasa perlu memohon maaf, namun usaha menulis sekaligus membingkainya itulah yang perlu diacungi jempol.

Kedua, tulisan mohon maaf sampai narasi-narasi puitis di dalam surat itu dibubuhkan secara manual tanpa bantuan alat ketik. Ia menulis biasanya dengan pensil atau bolpoin agar menjaga autentisitas. Sebuah bukti kesungguhan penulis kepada penerima. 

Anda bisa bayangkan berapa tulisan yang mesti ditulis, baik dinarasikan serupa maupun tidak, sebelum kartu lebaran itu sampai kepada penerima.

Itu kenapa lazimnya kartu lebaran hanya ditulis secara terbatas. Ia dikirimkan, dengan kata lain, sekadar kepada orang-orang terkasih. Tentu saja ini berbeda dengan kartu lebaran versi institusi atau perusahaan yang hanya menggadakan sesuai dengan jumlah penerima. Saya sebut yang terakhir ini sebatas basa-basi atau pelengkap saja.

Tradisi inilah yang sekarang sama-sekali sirna dalam peradaban literasi kita. 

Berbicara mengenai kertas, tentu saja kita tak boleh luput akan tradisi ini. Sebagian orang mungkin menyetujui perubahan zaman dari teks tulis ke teks digital, sehingga mengucapkan selamat Idulfitri berikut permohonan maaf cukup diekspresikan di depan layar. Bagi saya tidak!

Kertas kartu lebaran mesti dimaksimalkan sedemikan rupa dalam rangka merayakan Idulfitri ini. Esensi utamanya bukan terletak pada konten, melainkan nuansa kertas itu sendiri. Bagi saya pribadi, kartu lebaran tersebut dapat diarsipkan, suatu bentuk merawat memori kemanusiaan.

Ucapan permohonan maaf, bila hanya hasil cetak-tempel, niscaya akan tergilas pesan-pesan lain. Itu pun kemudian bisa kita telisik kembali: apakah memang pemohon benar-benar mengucapkan serupa sesuai isi hati atau sebatas basa-basi. 

Saya cenderung poin kedua karena hari ini kita dikondisikan untuk menjadi pribadi yang ikut-ikutan. Jika tak mengirimkan selamat Idulfitri atau minta maaf, kita takut dianggap sombong, bahkan kehilangan momen selebrasi hari raya.

Praktik keberislaman kita melalui ucapan itu di hari Idulfitri lebih dikonstruksi secara seremonial. Atribut tertulis semacam itu pada gilirannya juga merupakan hasil dari kebudayaan membeo. Saya tak hendak meromantisasi keadaan, tetapi hanya mengkritisi kebudayaan Idulfitri kita.

Bayangkan jika kertas-kertas bermotif esetis itu kita maksimalkan sebagai kartu lebaran, seberapa produktifkah kita di dalam merawat kemanusiaan itu? 

Kemanusiaan ini dipertegas oleh daya kreasi kita dalam membuat kartu lebaran dengan narasi khas yang penuh ketulusan kepada orang yang dituju. Bukankah kertas yang semula benda mati itu dapat menjadi koleksi yang terkenang bagi orang lain?

Di sinilah kita, sebagaimana sudah saya tekankan sebelumnya, kalau kemanusiaan di hari raya Idulfitri ini hendaknya dimulai dari ketekunan menulis sampai pemaksimalan kertas. Kontribusi kita dalam mengolah kertas menjadi kartu lebaran yang memiliki jiwa seni itu adalah bentuk intimitas kita sebagai manusia dan bagian dari masyarakat literat.

Konon kartu lebaran yang telah banyak diproduksi dan dikirimkan kepada orang terdekat itu akan menjadi kenangan autentik di masa mendatang. Saya punya sepupu yang dahulu menggandrungi aktivitas ini. Lebaran tempo hari ia menceritakan kepada saya kalau koleksi kartu lebaran sejak tahun 90-an itu masih tersimpan rapi di kardusnya.

Ia sudah beristri dan memiliki seorang anak berusia setahun. Kartu lebaran yang tersimpan di rumahnya itu sesungguhnya ia terima dari mantan-mantannya. 

Terkadang ia masih mendaras kartu lebaran itu. Yang membuat ia terkenang, antara lain, isi surat di dalamnya. Kalimat demi kalimat ia baca, sehingga membangkitkan nostalgia bersama mantan orang terkasihnya itu.

Saya katakan kepadanya kalau kertas-kertas yang ia simpan itu sebetulnya sekarang menjadi sejarah. Terlepas dari kenangan pahit bersama mantannya itu, kartu lebaran tersebut sudah selayaknya disimpan. Bukan untuk mengungkit masa lalu, melainkan menjadi bukti historis intimitas asmaranya.

Bukankah ini merupakan kehebatan kertas yang mampu membekukan kenangan?