Tentu masih segar dalam ingatan, dimana terdapat sebuah berita yang menunjukkan bahwa kegiatan keorganisasian mahasiswa di kampus jarang di minati mahasiswa masa kini. Para mahasiswa mulai bersikap skeptis terhadap organisasi kampus macam BEM dan ormawa lainnya.

Bukan tanpa alasan, dilansir kompas.com, terdapat beberapa alasan mengapa kini ormawa mulai tidak diminati oleh mahasiswa salah satunya adalah akibat tindakan para mahasiswa lama yang sering kali melakukan aksi semena-mena atau senioritas terhadap para mahasiswa baru.  

Senioritas di lingkungan kampus di Indonesia bukanlah sebuah fenomena baru, melainkan sebuah peristiwa uzur yang masih terus berkembang dan dipelihara atas nama “pride”.  Dari sanalah model relasi hirarkis tumbuh sangat subur antara mahasiswa yang lebih dulu masuk ke universitas dengan mereka mahasiswa yang baru masuk jauh setelah itu.

Fenomena senioritas di dalam kampus membuat suasana perkuliahan yang seharusnya menjadi tempat nyaman untuk belajar tetiba berubah bak dunia militer. Doktrinisasi agar para mahasiswa baru (maba) mematuhi perintah (pokoknya harus patuh) tanpa ada ruang untuk beradu argumen seringkali digaungkan.

Para senior bebas membuat, merubah, bahkan menyalahgunakan wewenang sesuka hati hanya karena lebih tua. Seringkali, mereka tidak peduli sama sekali atas perilaku mereka. 

Isi Otak dan fikiran mereka hanyalah “yang penting gue puas” sehingga ada kebanggaan yang harus dijaga dengan bertindak sewenang-wenang pada junior. Alih-alih peduli, universitas justru sibuk sendiri menutupi tingkah laku bobrok para mahasiswa senior di kampus mereka selagi “belum memakan korban”.

Aksi senioritas jelas telah melenceng dan tidak sejalan dengan cita-cita Indonesia yang termaktub dalam undang-undang dasarnya; mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Fenomena ini sekaligus memberikan gambaran kontradiktif, bahwa di negeri yang menjunjung tinggi demokrasi ini justru tidak mempraktikkan demokrasi.

Bagaimanapun juga, aksi senioritas ini bukanlah sebuah hal baru. Ia sudah ada bahkan jauh sebelum sistem reformasi tercipta, Dalam buku catatan demokrasi karya penulis dan aktivis terkenal sok hok gie, disebutkan bahwa tindak senioritas sudah menjamur sejak sedia kala, dimana saat itu para penyelenggara ospek Universitas Indonesia membentak, memaki, dan melakukan kekerasan fisik terhadap mahasiswa baru.  

Sayang seribu sayang, kegiatan berkedok “yang tua yang harus dihormati” di kalangan para mahasiswa ini tak kunjung hilang meski menteri dengan segala kurikulumnya telah silih berganti. Senioritas terlanjur menjadi budaya.

Usaha untuk menyudahi mata rantai aksi ini pun terhalang faktor personal seperti ingin membalas dendam masa lalu yang mereka alami. Padahal, kejadian masa lalu sama sekali tidak berhubungan dengan para mahasiswa baru.

Baru-baru ini, aksi senioritas senior pada juniornya kembali memakan korban, tepatnya di salah satu akademi tinggi di Surabaya. Korbannya adalah salah seorang taruna yang mengalami kekerasan dari seniornya.

Pelaku lantas secara sadar langsung meminta maaf atas tindakannya tersebut. Pelaku mengaku kepada polisi bahwa ia tak menyangka korban akan sampai meninggal dunia akibat dari penganiayaan yang ia lakukan saat masa pembinaan.

Pertanyaan yang muncul di kepala adalah; pembinaan macam apa yang memperbolehkan penganiayaan? Bahkan sampai memukul kea rah ulu hati dan perut? Pembinaan bukanlah sebuah ajang untuk pamer diri, lebih dari itu, pembinaan dengan kekerasan bukanlah jalan untuk mengembangkan karakter individu.

Alih-alih membentuk karakter, sistem seperti itu justru akan membentuk karakter pendendam yang kelak akan turun-temurun terwariskan pada generasi selanjutnya.

Program pembentukan karakter yang digaungkan oleh pemerintah di bidang pendidikan terlihat sangat kontradiktif dengan eksistensi praktek senioritas. Pada dasarnya, hakikat pembentukan karakter tidak hanya didasari pada kecerdasan intelektual dan emosional, tapi juga tindakan yang menghargai sesama manusia.

Terjadinya disparitas yang cukup jauh antara dua hal tersebut menjadikan pendidikan di Indonesia hipokrit. Para mahasiswa yang diajarkan untuk memanusiakan manusia justru berubah menjadi sosok senior yang hobi melakukan penganiayaan.

Nyatanya, program pendidikan dan pembentukan karakter yang digagas oleh pemerintah belum berhasil memberantas masalah fundamental yang terjadi di sistem pendidikan Indonesia. 

Institusi perguruan tinggi utamanya harus segera berbenah dan berusaha sebaik-baiknya membangun suasana pendidikan yang lebih demokratis dan aman bagi para mahasiswanya. Jangan sampai ada lagi kasus mahasiswa yang harus kehilangan nyawa akibat kekhilafan para senior.

Here is the message that I want to say to all the senior there

Perbuatan kalian saat menindas dan menganiaya junior sangatlah tidak keren. Justru, tindakan-tindakan seperti itu semakin membuat kalian terlihat bodoh di hadapan mereka. Jika ingin mendapatkan respect, jangan memaksakan mereka untuk mematuhi seluruh aturan ngawur yang kalian buat, tapi buatlah mereka nyaman berada di lingkungan baru.

Meminjam quotes dari Tere Liye; jika ingin mendapatkan sebuah penghormatan dari orang lain, maka mulailah untuk menghormati orang lain terlebih dahulu. Karena orang yang suka menganiaya tidak pantas mendapatkan penghormatan!