Ada orang merasa bodoh, makanya mencari ilmu. Belajar dalam pendidikan formal umumnya disebut ‘’sekolah’’. Dalam tingkatan tertinggi akrab dinamakan ‘’kuliah’’.

Dalam institusi Perguruan Tinggi, semua mahasiswa bebas berpikir, bebas berpendapat, bebas memilih dan menolak ikut organisasi. Kampus tentu saja bukan penjara. Maka apa pun yang ada di dalam lingkungan kampus, tidak boleh bersifat memaksa dan mengekang. Justru Kampus dibangun untuk memerdekakan nalar peserta didik.

Ada Mahasiswa baru, ada yang sudah lama kuliah. Mereka yang sudah bertahun-tahun duduk dibangku perkuliahan, biasanya menyebut diri dan kelompoknya dengan sebutan ‘’Senior’’. Biasanya, mereka menempatkan diri sebagai orang yang paling berpengalaman, punya kuasa dan dihormati mahasiswa lain, khususnya yang baru masuk kampus.

Di dalam pedoman Yayasan Kampus atau AD/ART BEM, pasti tidak ada satupun dasar tentang senioritas. Mereka yang mengatasnamakan diri ‘’Senior’’, pasti memanfaatkan umurnya yang sudah tua dan kebetulan mendaftar di kampus tersebut lebih duluan. Tidak hanya di Jurusan atau Fakultas, fenomena senioritas juga muncul di organisasi kemahasiswaan.

Senior mengidentikkan diri sebagai sosok teladan, berpengalaman, berpengetahuan lebih luas dan mempunyai pengaruh kuat. Sehingga bila Anak baru atau biasa disebut ‘’Junior’’ ingin membuat acara, harus berkonsultasi dulu ke senior. Minimal Senior diberitahu dulu konsep yang akan dibuat Junior dalam menyelenggarakan acara organisasi.

Menjadi mahasiswa baru, sial memang. Dia tidak tahu-menahu, tidak kenal dan tiba-tiba ketika masuk kuliah, Dia terjerat dalam dunia yang dipenuhi hierarki pergaulan. Ada mahasiswa baru yang rendahan, ada Kakak kelas yang agak senior, lalu diatasnya dan diatasnya lagi ada orang yang tiba-tiba menyebut dirinya Senior.

Senior merasa dirinya berada dipuncak ‘’rantai makanan’’. Dia menetapkan sederet standar etika pergaulan dan mekanisme tertentu dalam hubungan sosial yang semuanya menguntungkan dirinya sebagai Senior. Dia menekankan bahwa Junior bila berpapasan dengan Senior, Dia harus menyapa duluan sambil menunduk-nunduk. Karena itu yang dianggap sopan.

Kalau standar etika yang dirumuskan dari atas ke bawah tersebut tidak ditaati, maka Senior tertinggi menekan-ke-bawah, lalu yang dibawahnya tersebut segera mengerahkan bawahannya dan mencari Junior baru macam apa yang berani melanggar tata sopan santun hasil bentukan Senior.

Senior pastilah orang yang tahu banyak hal. Agar kekuasaan dan hukum adatnya lestari, dia memiliki seperangkat pasukan yang siap menegakkan standar etika buatannya. Dalam dunia organisasi, Senior bisa jadi donatur terbesar dalam sebuah kegiatan, tapi juga Penghukum paling jahat bila ada Junior yang dianggapnya ‘’kurang ajar’’.

Dalam organisasi mahasiswa, Senior adalah pemilik kuasa penentu kebenaran. Sebuah acara atau kegiatan bisa-bisa gagal terlaksana hanya karena Senior tidak setuju. Senior juga menentukan apakah suatu konsep dianggap implementatit atau tifak. Segala yang dianggap relevan atau tidak, Seniorlah yang mengatur persetujuannya.

Dalam organisasi ekstra kurikuler, Senior tidak hanya yang masih kuliah tapi tidak lulus-lulus meski kuliahnya sudah bertahun-tahun. Senior juga mereka yang mantan kader organisasi atau bekas Pengurus, yang karena pengaruh dan pengalamannya dijadikan Patron konsultasi.

Senior biasanya memiliki uang lebih banyak, jaringan perkenalan lebih luas, wawasan lebih mumpuni dan tingkat kekeras-kepalaan yang akut. Hanya karena kader baru tidak izin dulu dalam mengikuti suatu acara, Senior bisa tiba-tiba meledak marah bak iblis menakutkan. Senior seringkali mirip Kepala suku, titahnya menjadi hukum bagi Juniornya.

Senior memang bukan Tuhan yang tidak pernah salah. Akan tetapi, mereka mengembangkan pemikiran, ‘’Kalau Senior yang wawasannya luas, pengalamannya banyak dan sudah makan asam-garam kehidupan saja bisa salah, apalagi kader baru yang baru berproses kemarin?’’.

Argumen diatas dijadikan alasan supaya Junior atau Kader baru harus terus-terusan tunduk pada arahan Senior. Untuk tahu kebenaran dan apa yang dapat mengantar ke kesuksesan acara, maka seniorlah petunjuk jalannya. Kader baru dihegemoni untuk selalu patuh pada perintah yang diucapkan Senior.

Senior memposisikan dirinya sebagai Juru selamat organisasi. Seolah apa yang dilakukannya pasti lebih baik untuk kemajuan Junior, padahal belum tentu. Ayat dalam Al Qur’an dijadikan pegangan mereka dan menjadi jurus ampuh. ‘’Sesungguhnya Senior lebih tahu apa yang tidak kamu (junior) ketahui’’.

Indonesia yang dideklarasikan merdeka dari penjajahan pada tahun 1945, nyatanya belum tuntas membasmi penindasan dalam tiap segi kehidupan. Manusia-manusia yang memanfaatkan segala daya dan usianya untuk memperalat mereka yang bodoh, masih menjamur dimana-mana. Tidak terkecuali di dunia kemahasiswaan.

Orangtua mahasiswa baru yang rela membanting tulang di sawah, menjadi buruh, bertaruh nyawa melaut dan ibunya menjadi TKW di Arab, tidak pernah tahu ternyata anaknya dikuliahkan hanya untuk menjadi objek penindasan. Anaknya yang diidamkan menjadi Sarjana, ternyata hanya dijadikan bahan permainan Kakak-kakak kelasnya.

Meski sholat tiap hari, ke gereja tiap minggu atau seorang Agamis yang taat, mereka mahasiswa baru yang terlihat saleh, ternyata menyerah oleh manipulasi sosial yang dirancang seniornya. Agamanya tidak menjadi alat pendorong untuk melawan ketika Dia sendiri diperlakukan tidak adil. Semangat Nabi untuk bebas dari penindasan tidak diamalkan.

Di dalam kelas, Dia dibungkam. Materi ajar yang disampaikan Dosen ada yang tidak relevan, tapi dia diam saja karena kalau sampai dia berani menginterupsi, dia takut tidak diberi nilai A. Di dalam kelas dia direpresi, diluar kelas diperpelonco kakak kelas, dan di organisasi kemahasiswaan dia ditekan oleh Petinggi organisasi.

Mahasiswa baru karena sudah biasa dikuasai dan dijinakkan oleh sistem senioritas, lama-kelamaan mental budak terbentuk dalam dirinya. Ketika Orangtuanya di Desa gagal panen dan waktunya dia bayaran, uang kiriman dari kampung tidak juga kunjung datang. Dia yang tidak berhasil membayar tepat waktu, dihukum cuti oleh kampusnya.

Mahasiswa baru yang nalar kritisnya telah mati, selalu menjadi objek kuasa oranglain. Di kelas, dia mesti menelan pil pahit bahwa Dosennya tidak cakap. Bayaran yang mahal, kalau terlambat bayar dihukum cuti, ditukar dengan mendapat Pengajar Perkuliahan yang tidak kompeten.

Uang orangtua yang didapat dari perasan keringat Bapaknya di Desa, ditukar dengan kualitas Dosen yang tidak mumpuni. Mahasiswa rela berkelahi dengan macet dan hujan demi mengejar jam kuliah, tapi Dosen seenaknya saja telat berjam-jam tanpa ada sedikit rasa bersalah karena sudah menyia-nyiakan waktu dan perjuangan mahasiswanya.

Sungguh kesialan yang tidak terkira pilunya. Senioritas tidak hanya memalukan, tapi juga membunuh nalar kritis dan keberanian dalam diri anak muda. Perbudakan intelektual membuat mahasiswa dengan sabarnya menerima setiap perlakukan tidak manusia. Entah yang dilakukan kakak kelasnya, atau Dosennya yang tidak tahu diri.

Seandainya sejak awal kuliah atau ketika Dia masuk organisasi tidak ada Senioritas, pastilah Adik-adik mahasiswa kita tumbuh menjadi jiwa-jiwa merdeka. Menjadi anak muda yang kritis, tidak mudah ditekan dan berani mengutarakan pendapat sebetapapun berbedanya dengan argumentasi Dosennya.

Gara-gara sistem senioritas yang mengekang, menguasai, membekap dan menakut-nakuti mahasiswa baru, adik-adik mahasiswa kita terpasung inisiatifnya. Dia lebih takut salah dan dihukum, ketimbang mencoba berkreasi dan menemukan jalan baru bagi pembaruan. Senioritas mendukung tumbuhnya manusia-manusia pengecut.

Senioritas tidak ada bedanya dengan feodalisme. Seseorang karena lebih tua, berkuasa dan masuk duluan, menempatkan dirinya menjadi sosok tertinggi. Lalu dengan itu dia mengekalkan pengaruhnya ke bawah, dan melanggengkan kekuasaannya bak raja-raja jaman penindasan.

Senior atau Penindas, menikmati status dan hierarki yang ada. Senior tidak mungkin mau melepas pengaruhnya dan membiarkan kader baru merdeka lepas dari cengkeramannya. Seandainya anak baru sadar cara berpikir senior, maka dia tidak mungkin memohon ke senior untuk memerdekakan dirinya dari hegemoni Sang senior.

Berkaca pada rentetan kronologi proses kemerdekaan Indonesia, dari situ kita paham kebebasan tidak mungkin didapat dari memohon atau meminta ke Penjajah. Kebebasan dan kehormatan harus direbut. Hak-hak diri jangan menunggu diberikan, tapi harus diambil, dikejar, dipertegas dengan melawan dan dipertahankan dengan kekuatan.

Kita percaya Tuhan tidak ingin ada manusia di muka bumi terjajah. Ketika Anda ditindas dan kuasai sistem senioritas, percayalah itu bukan karena Tuhan menginginkan seperti itu. Itu pasti karena ulah politik Senior demi menenggelamkan kita dalam kekuasaannya. Senior dapat menguasai kita dengan pengaruh, juga bisa menggunakan uang.

Uang yang digelontorkan senior kepada kita, menjadi alat efektif untuk menyandera. Hanya orang-orang tidak tahu diri yang berani melawan senior, padahal kemarin dia baru saja makan dan ngopi dari dompet seniornya. Mereka yang paling tidak merdeka biasanya mereka yang paling sering kenyang dari uang seniornya.

Perlawanan melawan sikap congkak senior tidak hanya berfokus pada kelakuan senior. Kita terlebih dahulu harus membunuh nafsu dalam diri kita yang muncul dalam bentuk; ingin makan enak, dikasih uang, diberi proyek, kegiatan kita disumbang dan diperkenalkan pada sederet Pejabat-pejabat Pemerintah.

Diri kita yang sudah jinak dan mampu menahan diri dari godaan uang dan politik praktis, serta kita sudah siap menolak segala tawaran yang diberikan senior, tapi kita masih saja diintervensi atau disetir, berarti memang seniornya yang brengsek. Orang macam seperti itu tidak layak dihormati, apalagi diikuti.

Satu-satunya solusi agar diri kita lepas dari pengekangan ya melawan. Melawan merupakan bagian dari ajaran Nabi Muhammad. Ketika orang-orang yang berniat baik dan ingin hidup independen kok malah direcoki Senior, maka saat itulah tiba saatnya Para Junior tertindas merapatkan barisan untuk bersatu melakukan perlawanan.

Jangan takut dicap aneh-aneh atau liar. Dulu Soekarno dimata Kerajaan Belanda juga dicap Pemberontak. Nabi Muhammad dimata Kaum Tua Quraisy Mekkah juga dicap ‘’anak kemarin sore’’ yang ‘’gila’’ ketika menyebarkan ajaran Islam yang berbeda dengan keyakinan Para Penyembah berhala.

Sekali Anda takut, maka ketika itu pula Anda akan terus-terusan diperlakukan tidak adil. Sekali Anda diam, maka ke depan pun anda akan diinjak-injak oleh oranglain. Karena yang salah bukan anda yang jadi korban, tapi senior yang mengambil untung dari menindas diri kita.