Memimpin adalah jalan hidup menderita,”begitu kata Haji Agus Salim. Jadi, kalau ada pemimpin yang hidup tidak menderita, dalam pengertian hidup dalam kesenangan  dan kemewahan, berarti dia tidak seorang pemimpin atau tidak sedang dalam keadaan memimpin, akan tetapi mungkin sedang dalam keadaan menipu atau mungkin juga sedang dalam keadaan merampok hak orang banyak.

Seorang pemimpin baru merasa hidup senang dan mewah, justru ketika orang yang dipimpinnya  telah berada dalam kesenangan dan kemewahan, kendatipun dia sendiri secara kasat mata sesungguhnya dalam penderitaan. Tidak justru sebaliknya, dia merasa hidup senang dan mewah justru di atas penderitaan orang orang yang dipimpinnya. 

Sebab, jika seorang pemimpin hidup dalam kesenangan dan kemewahan di atas penderitaan orang yang dipimpinnya, berarti dia telah melakukan penipuan dan perampokan terhadap kesenangan, kemewahan, dan kebahagiaan orang yang dipimpinnya. Pada tahap ini, sesungguhnya dia telah melakukan penipuan dan perampokan terhadap kesenangan, kemewahan, dan kebahagiaan dirinya sendiri sebagai seorang pemimpin yang sejati.

Maka tidak terlalu berlebihan dan sungguh sangat tepat jika Kahlil Gibran, seorang sastrawan terkemuka dari Lebanon, mengatakan bahwa seorang sultan yang paling terkemuka kedudukannya itu adalah seorang sultan yang mencintai orang-orang miskin dan orang-orang miskin itupun mencintai dirinya. Sebab, orang-orang miskin itu adalah orang-orang yang paling merasakan penderitaan yang sesungguhnya.

Logikanya kurang lebih seperti ini: bagaimana seorang pemimpin itu tidak hidup dalam keadaan menderita jika yang ada dalam fikirannya setiap saat adalah bagaimana orang orang yang dipimpinnya hidup dalam kesenangan, kemewahan dan kebahagiaan. Sementara itu, orang orang yang dipimpinnya selalu saja ada yang hidup dalam keadaan menderita di tengah kesenangan, kemewahan dan kebahagiaan sebagian yang lain.

Sebaliknya, bagaimana tidak banyak orang-orang yang dipimpinnya hidup dalam keadaan senang mewah dan bahagia jika orang-orang yang dipimpinnya itu selalu saja terfokus kepada bagaimana menghapus penderitaan dirinya tetapi tidak kepada orang banyak. Sementara itu, kesenangan, kemewahan, dan kebahagiaannya juga telah difikirkan dengan sungguh sungguh oleh para pemimpinnya setiap saat.

Kalaupun kemudian ada diantara orang orang yang dipimpinnya itu tetap hidup dalam keadaan menderita (miskin), maka itu jelas bukan lagi karena kesalahan dari kepemimpinannya, akan tetapi telah menjadi kesalahan dari orang orang yang dipimpinnya. Sebab, orang-orang yang dipimpinnya itu tidak secara sungguh sungguh memikirkan bagaimana dapat menghapus penderitaan (kemiskinan) yang ada pada dirinya sendiri.

Namun, kendatipun begitu, seorang pemimpin sejati tetap saja memilih jalan hidup menderita bersama dengan orang orang yang menderita (miskin) itu, sambil terus berusaha untuk mengurangi dan kalau bisa mengikis habis penderitaan orang orang miskin yang senantiasa merasakan penderitaan hingga mereka juga merasakan kesenangan, kemewahan dan kebahagiaan. Maka, tidak mengherankan kalau orang orang miskin (menderita) itu sangat mencintainya.

Jadi, tidak ada alasan bagi seorang pemimpin untuk hidup dalam keadaan penuh dengan kesenangan, kemewahan dan kebahagiaan, kecuali jika semua orang yang dipimpinnya telah hidup dalam keadaan senang, mewah, bahagia, dan tidak ada lagi seorangpun yang hidup dalam keadaan menderita.

Jika masih ada orang-orang yang dipimpinnya itu hidup dalam keadaan menderita, maka dia tidak akan bisa hidup senang, mewah dan bahagia. Kecuali, ika diam atau berubah dari seorang pemimpin yang sejati ke seorang penipu atau perampok yang ulung. 

Justru kebahagiaannya itu dapat dirasakannya dengan sangat nikmat adalah ketika ia tetap berada di tengah tengah penderitaan orang orang miskin yang dipimpinnya. Dia baru merasa senang, mewah dan bahagia, ketika semua orang yang dipimpinnya tidak lagi merasa menderita. Karena pada saat yang sama, semua orang pasti mencintainya karena tidak ada lagi orang orang yang miskin dan menderita lahir dan batin.

Namun demikian, apakah itu semua masih mungkin? Ya, masih sangat mungkin!. Pada zaman Umar bin Khathab, beliau memikul gandum sendirian dari jarak yang cukup jauh untuk kemudian diserahkan kepada rakyatnya yang hampir saja mati kelaparan. Ketika salah seorang bawahannya meminta agar dia sajalah yang memikul gandum itu, Umar sebagai seorang pemimpin yang sejati berkata, “apakah di akhirat nanti kamu sanggup untuk memikul dosaku dihadapan Allah SWT” Bawahannya itupun terdiam dan tidak jadi membantu sang pemimpin yang berhati tawadhuk itu.

Pada zaman Umar Bin Abdul Aziz, tidak ada seorang rakyatnya pun yang berhak untuk menerima zakat. Semuanya malah wajib untuk mengeluarkan zakatnya. Artinya, tidak ada lagi seorang rakyatpun yang berada dalam keadaan kefakiran dan kemiskinan lahir dan batin. Semuanya berada dalam keadaan senang, mewah dan bahagia dalam lindungan Allah SWT. Akan tetapi, Umar Bin Abdul Aziz sang pemimpin sejati justru memilih jalan hidup yang penuh dengan kesederhanaan di tengah rakyatnya yang hidup dalam keadaan Makmur dan sejahtera.

Dulu, pada zaman awal awal kita merdeka, Haji Agus Salim sebagai salah seorang pemimpin sejati, juga tetap hidup dalam kebersahajaan, kendatipun ketika itu beliau adalah seorang pejabat penting dan pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Beliau tetap saja dengan karakternya yang selalu mengenakan kain sarung dan berkopiah yang taka da bedanya dengan orang kampung, dalam setiap pertemuan yang dihadirinya, baik di tingkat lokal, nasional, regional, maupun di tingkat internasional.

Seorang Muhamma Hatta pun saya kira juga begitu. Beliau tetap saja hidup dalam kesederhanaan dan menghidupi keluarganya hanya dari hasil honoriumnya sebagai seorang penulis di media cetak, kendatipun waktu itu beliau seorang Wakil Presiden dan seorang mantan Wakil Presiden. Beliau tetap saja berurusan dengan petugas listrik setiap bulan, karena selalu menunggak dalam membayar sewa listrik. Sesuatu yang sangat mudah untuk kita pahami jika disamakan dengan orang orang Indonesia ketika itu pada umumnya.

Lalu, apakah mereka tidak bisa menghapus penderitaan yang ada pada diri mereka pada waktu itu? saya kira, sangat bisa. Akan tetapi, pada saat yang sama, mereka telah berubah dari seorang pemimpin sejati kepada seorang penipu atau perampok yang ulung terhadap bangsanya sendiri. Sesuatu yang tidak aneh dan mulai menjadi biasa kita saksikan di setiap level kepemimpinan kita saat ini.