Fana’ secara bahasa berarti lenyap, hancur, sirna atau hilang. Dunia fana adalah alam tempat tinggal manusia yang masih hidup, yang tidak kekal atau dapat rusak, mati, dan sebagainya. Semua yang ada di dunia ini fana. Hidup yang fana, manusia yang fana, waktu yang fana, dan cinta pun termasuk dalam kategori fana.
Dunia yang fana
Kita harus ikhtiar untuk memperoleh kehidupan yang abadi di alam yang fana ini. Duduk dengan nyaman dan meminta surga itu tidak mungkin! Aku tidak seberani itu meminta surga dengan duduk nyaman (Habiburrahman El Shirazy). Kehidupan ini memang akan hancur pada hari akhir nanti.
Kita sebagai manusia diuji dalam berbagai macam keadaan, lalu diperintahkan untuk saling berlomba-lomba dalam kebaikan. Mencari kebahagiaan dan kehidupan yang haqiqi, di alam yang fana ini.
Berdasarkan quotes Habiburrahman El Shirazy tersebut, ikhtiar dalam pencapaian kehidupan yang abadi bukan hanya berdoa untuk diberi surga, akan tetapi melakukan berbagai perintah dengan usaha. Dan tak lupa, niat hanya untuk Allah Ta’ala.
“Aku tidak seberani itu meminta surga dengan duduk nyaman” bahwasanya berdoa saja tidak cukup, dan tidak bisa menjadikan “doa” itu sebagai senjata atau andalan untuk mendapatkan surga-Nya.
Manusia yang fana
Manusia yang fana. Pada hakikatnya, hidup dan mati manusia hanya milik Allah. Allah yang Maha Awal, Allah yang Maha Akhir. Seperti yang dijelaskan pada firman Allah QS. Al Ankabut ayat 57 yang artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati, Kemudian hanyalah kepada Kami kamu kembali.”
Manusia tidak mempunyai sifat abadi, karena yang abadi hanya milik Allah SWT. Oleh karena itu, sebagai manusia yang hidup di jalan Allah, sudah sepatutnya selalu mengingat bahwa setelah dunia ini masih ada akhirat. Sehingga kita memiliki kesadaran untuk senantiasa kembali kepada Allah dan mempersiapkan amal untuk kehidupan akhirat.
Al Hasan al Bashry Rahimahullah berkata: “Tidaklah dunia ini semuanya dari awalnya hingga akhirnya selain seperti seseorang yang tidur yang bermimpi melihat hal-hal yang dia senangi, lalu dia terbangun”
Waktu yang fana
Waktu yang fana. Waktu adalah sesuatu hal yang sangat berharga. Begitu berharganya waktu, hingga ada istilah yang menyebutkan “Waktu adalah uang”. Fana dalam konteks waktu ini adalah jika waktu yang ada tidak digunakan dengan sebaik mungkin, akankah bermanfaat? Inilah yang disebut waktu yang rusak.
Dari kutipan seorang pujangga berkebangsaan Indonesia terkemuka, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, menciptakan sebuah puisi yang berjudul “Yang Fana adalah waktu” Puisi tersebut merupakan bentuk kritik dari Prof. Sapardi, betapa menyedihkan orang-orang yang menghabiskan waktu pada hal-hal kurang bermanfaat.
Apalagi jika hal tersebut hanya bersifat sementara dan fana. Waktu tidak bisa diputar kembali. Jika sudah begitu, akankah nanti hanya bisa menangis menyesal? Karena hal-hal yang sudah menjadi sesal? Sungguh, betapa sakitnya penyesalan itu.
Cinta yang fana
Cinta merupakan anugerah rasa yang diberikan dari Allah SWT. Pada hakikatnya pula, cinta yang sejati hanyalah cinta kepada Allah. Cinta kepada manusia? Entahlah, itu hanya sementara. Zick Rubin, seorang pakar psikologi, menjelaskan bahwa cinta adalah emosi yang terbentuk dari tiga perasaan: perhatian, kasih sayang, dan keintiman.
Cinta adalah sebuah kekuatan dan perasaan khusus, yang bisa membuat suasana hati dan perasaan berubah-ubah. Bahkan cinta bisa membuat seseorang menjadi lemah dan hidup lebih dramatis. Lalu apa itu cinta yang fana? Cinta yang fana adalah cinta yang rusak.
“Rusak” dalam arti tidak memandang apapun dalam pengaplikasiannya, atau bertindak seenaknya saja (sembarangan). Kemudian bisa diartikan juga, cinta yang fana itu adalah cinta yang akan hancur, cinta yang tidak akan bertahan lama. Misalnya, cinta antar sesama manusia. Ingatlah, Allah itu Maha Muqallib Qulub (yang membolak-balikkan hati).
Sebenarnya hati, cinta, dan apa saja yang ada dalam diri manusia itu milik Allah. Hak Allah atas kita adalah penuh. Allah bisa berbuat sesuai apa yang dikehendaki-Nya. Misalnya terdapat kasus, saya cinta dia. Tetapi di pertengahan jalan, tiba-tiba saya membenci dia, atau mungkin dia membenci saya.
Karena apa? Karena Allah sedang membalikkan hati makhluk-Nya. Dengan begitu, sebagai manusia, ada baiknya mengambil keputusan dengan sewajarnya saja tidak berlebih-lebihan. Karena sesungguhnya yang berlebihan itu pasti tidak baik.
Jika sekarang mencintai, mencintailah dengan sewajarnya. Jangan terlalu mencintai, bisa saja, masa yang akan datang engkau malah terlalu membenci. Jika sekarang membenci, membencilah sewajarnya. Jangan terlalu membenci, mungkin saja masa yang akan datang engkau malah terlalu mencintai.
Masa depan tidak ada yang tahu, tugas kita hanyalah berusaha yang terbaik. Kembali lagi, cinta yang sejati dan abadi adalah cinta kita kepada Allah SWT. Pernahkah engkau mencintai Allah lalu sakit hati? Pasti tidak. Pernahkah engkau mencintai Allah lalu kecewa? Itu mustahil. Mengapa? Karena cinta kepada Allah adalah cinta yang haqiqi.
Referensi:
1.Fathurrahman, Oman, dkk (2008).Ensiklopedi Tasawuf.Bandung:Penerbit Angkasa.Hal 356-361
2.Al Mujalasah wa jawahirul ilmi, hal. 227
4.5 Psychological Theories of Love
5.Kezia Prasetya Christvidya, 2021