Siapa yang hari gini tidak paradoks? Gak ada! Kita semua paradoks, kok. Mulai dari aktivis lingkungan, sutradara film, pemikir bangsa, kamu, mereka, dan lain sebagainya, sampai pada aku sendiri. 

Apa sih paradoks atau dalam bahasa Inggrisnya paradox itu? Paradoks adalah suatu situasi yang timbul dari sejumlah premis (apa yang dianggap benar sebagai landasan kesimpulan kemudian; dasar pemikiran; alasan; (2) asumsi; (3) kalimat atau proposisi yang dijadikan dasar penarikan kesimpulan dalam logika), yang diakui kebenarannya yang bertolak dari suatu pernyataan dan akan tiba pada sekelompok pernyataan yang menuju ke sebuah kontradiksi atau ke sebuah situasi yang berlawanan dengan intuisi.

Biasanya, baik pernyataan dalam pertanyaan tidak termasuk kontradiksi. Hasil yang membingungkan bukan sebuah kontradiksi, atau "premis"nya tidak sepenuhnya betul (atau, tidak dapat semuanya betul). Pengenalan ambiguitas.

Ini menurut wikipedia, (bahasanya canggih bgt, ya). Tapi kalau aku artikan lebih simpel, sih maksudnya kontradiksi antara yang ingin kita dengang-dengungkan selama ini dengan realitas yang kita ciptakan (terjadi). Mungkin bagiku bisa juga disebut muna, munafik (kali!).

Di sekitar kita, semua paradoks. Dari hal-hal kecil saja, misalnya; kita melarang orang lain membuang sampahnya di sembarang tempat. Namun, ketika ada suatu lahan kosong di pinggiran kota, yang di sana kita melihat tulisan besar-besar "Dilarang membuang sampah di sini". Namun, kita masih membuang sampah kita di sana.

Sampai, ada tulisan "Anjing yang buang sampah di sini." Tapi, kita masih melakukannya (karena kita bukan, anjing, kan? He he). Siapa sih yang mau hidup dengan sampah? Walau itu sampahnya sendiri!

Aku pernah melihat posting teman di status WhatsApp-nya, dia membagikan foto sebuah acara yang bertema lingkungan. Namun, sungguh sangat paradoks sekali ketika suguhan dalam acara itu kemudian jajanan dalam kemasan plastik. Niatnya mengurangi sampah, eh malah menciptakan sampah baru.

Aku juga punya kenalan, seorang perempuan "pemerhati lingkungan". Sebelum menikah, dia punya komunitas pencinta lingkungan, sering diundang berbicara tentang lingkungan, dan mengelola sampah menjadi sesuatu yang berfaedah. 

Namun sayang, setelah menikah, mungkin karena tidak sevisi dan semisi dengan suaminya, dia tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Dia yang "hijau" yang mengikuti suaminya yang mungkin "merah", alangkah sangat paradoksnya, menurutku.

Suaminya yang kurang suka "hijau". Maksudnya, kurang suka hijau adalah makanan yang dikonsumsi biasanya yang instan, modern food, atam goreng tepung itu. Sedangkan si kenalanku tadi, si perempuan, suka ikan masak dan sayur-mayur bening.

Belum lagi konsep rumah si laki lebih bergaya modern. Sedangkan, si perempuan ingin membangun rumah panggung, rumah tradisional. Pada akhirnya, di rumah itu, ketika aku berkunjung, banyak suguhan junk food, dan rumah yang mereka bangun adalah rumah batu, bergaya modern dan dilengkapi dengan pemasangan AC (Air Conditioner).

Terus, ada seorang laki-laki yang rajin beribadah ke Tuhan, namun tidak mau bekerja keras menghidupi keluarganya, ya paradoks. Ada yang suka menepi, "bersemedi," tapi sekaligus suka membagikan posting hoaks di media sosial, ya paradoks. Ada yang mengajak orang memakai sedotan bambu tapi masih menggunakan sedotan plastik, ya paradoks.

Ke-paradoks-an Semesta

Contoh di atas, yang ditunjukkan mungkin skalanya, hanya bagi pribadi, dan partnernya. Namun, keparadoksan di bawah ini tingkat semesta, atau kuartikan universal (paradoks yang parah).

Aku pernah mengikuti acara yang bertema "Air" di Jogjakarta. Namun, sungguh sangat disayangkan, acara yang diselenggarakan sebuah jurusan dari kampus ternama itu, yang bekerja sama dengan NGO perairan, sangat paradoks.

Walau di awal acara, setelah absen di daftar peserta seminar dan kami diberikan cenderamata berupa botol minuman, di dalam ruangan, kami disuguhkan air botol dalam kemasan. Acaranya tentang keberlangsungan AIR, cenderamatanya tempat botol minuman, suguhannya air botol kemasan itu.

Bukan cuma acara ini yang paradoks. Baru-baru ini, aku juga mengikuti acara di Jakarta. Isunya memang mengangkat pemikiran seorang tokoh dan mendelegasikannya nanti. Acaranya sangat keren, menggugah mind set-ku tentang menjadi manusia Indonesia seutuhnya.

Namun, diteknis-teknis acara, banyak yang mengganggu pikiranku. Mungkin terlihat sepela bagi beberapa orang. Namun, bagiku penting bagi kita yang membahas masalah kemanusiaan ke depannya. Di ruangan yang sudah dingin karena hujan (saat itu sering hujan), kami masih menyalakan AC karena ruangan memang dimaksudkan sebagai ruangan tertutup.

Orang Indonesia kok, ya. Kok masih menyalakan AC? Ini sama halnya seperti ruangan yang memiliki banyak jendela, tapi jendelanya ditutup, dan lampu dinyalakan (dan biasanya di siang hari).

Bukan cuma itu, salah seorang temanku juga menyayangkan air botol kemasan yang disediakan panitia bagi kami peserta (lagi-lagi air botol kemasan). Katanya, mengapa mereka tidak menyediakan galon yang lebih ekonomis, dan ramah pada lingkungan? Walau memang terlihat lebih ribet.

Paradoks sekali, ketika kami membincangkan masalah kemanusiaan, kami lupa masalah kemanusiaan yang lain, yang  juga penting. Misalnya, ketika kami mau peduli pada lingkungan demi keberlangsungan kehidupan manusia.

Aku Tahu tapi Pura-pura Tidak Tahu

Dan inilah "paradoksku",  Aku hanya pintar bersungut-sungut menulisnya, tanpa bisa mengungkapkannya. Saat ada sesi diskusi atau perenungan di akhir acara yang menurutku paradoks tadi, yang bisa dikritisi itu, aku hanya diam, tak berani mengungkapkan. Akhirnya, jadi, kecewa sendiri. Seperti halnya cinta, ketika tidak diungkapkan akan terasa sakit (Eaaa).

Dan aku, aku tahu dia punya pacar, namun pura-pura tidak tahu dia punya pacar, dan aku masih berharap jadi pacarnya. Waduh, paradoks banget, kan?

(Jadi, siapa yang paradoks? Elu-Gw end, eh paradoks).