Pada sebuah acara lawakan, banyak ujaran-ujaran yang tercantum di dalamnya. Tujuan ujaran-ujaran tersebut bukan pada pesan apa yang terkandung di setiap ujaran, namun bagaimana proses indeksikal bahasanya sehingga membuat orang tertawa.

Lantas, bagaimana dengan bahasa iklan politik yang marak di media jelang setiap Pemilu?

Apa Itu Indeks/Indeksikalitas?

Era sekarang telah lahir teori yang memandang bahasa sebagai teks-konteks. Teori yang dimaksud adalah teori indeks dan indeksikalitas yang merupakan perkembangan dari teori Semiotika.

Indeks merupakan salah satu tanda dalam teori Semiotika Pierce (1955 [1940]). Namun teori indeks ini merupakan tanda yang hanya merujuk pada satu objek saja sehingga lahirlah teori Semiotik Indeksikalitas oleh Silverstein (1976). Teori ini memperlihatkan bagaimana teks dan konteks dipermainkan sehingga kadang berkesesuaian dengan teks kadang pula sebaliknya.

Teori indeksikalitas sangat berkaitan erat dengan konsep emergent structure (struktur yang mengemuka dari teori percakapan Schegloff (1973) dimana ujaran-ujara mengindeks posisi-posisi interaksional. Ujaran-ujaran ini pula dihubungkan dengan konsep voice dari teori Dialogisme Bakhtin (1981 [1935]). Teori ini menjelaskan bagaimana ujaran yang ada dalam yang mengindeks pada posisi interaksional merujuk kepada suara-suara kelompok tertentu.

Teori puitik Jakobson (1960) berhubungan pula dengan indeksikalitas dimana ujaran-ujaran bisa dilihat dari fungsi referensial yang berpusat pada konteks dan fungsi puitik yang berpusat pada pesan yang terkandung dalam ujaran.

Adanya teori indeks dan indeksikalitas serta kaitannya dengan teori-teori tersebut diatas dapat membangun kekuatan sosial (social power) dalam berbahasa serta membagi teks kedalam tiga level yaitu teks denotasi, teks interaksional dan teks mediasi.

Lelucon dan Bahasa Politik

Kekuatan utama pada lelucon terletak pada bagaiman suatu ujaran terpisah dari konteks sebenarnya kemudian diangkat kekonteks dimana lelucon atau acara lawakan diadakan. Dalam hal ini teori indeks/indeksikalitas, emergem structure, voice, dan puitik bekerja bersamaan. Teks-teks lelucon merujuk pada suara-suara tertentu yang ada dalam kelompok sosial tertentu. Misalnya meniru suara-suara politik, pribahasa, petuah, tuhan, dan nenek moyang.

Suara-suara yang ada dalam komedi dikontruksi dalam berbagai bentuk teks denotasi seperti bentuk introgatif, imperatif, dan declaratif yang bersifat informatif dan persuasif. Namun dalam level teks interaksional kumpulan suara tersebut hanya menyatu dalam satu tujuan yakni usaha untuk melucu dan membuat penonton tertawa dan terhibur.

Bagaimana dengan bahasa pada iklan politik ? berbagai bentuk konstruksi dalam bahasa politik  pada level teks denotasi seperti halnya pada bahasa dalam komedi namun, pada level teks interaksional hanya bermuara pada satu tujuan yakni menarik simpati masyarakat.

Dimana kesamaan bahasa dalam iklan politik dan bahasa dalam komedi ? bisa dilihat pada tingkat teks mediasi dimana pada konteks komedi dan konteks politik partisipan yang ada didalamnya sama-sama mempermainkan teks-konteks. Partisipan berusaha sekreatif mungkin dalam berbahasa. Banyak bahasa yang mengindeks pada suara-suara kelompok tertentu yang mengindeks juga kepada relasi sosial interaksional. Bahkan ada yang berani meniru suara Tuhan.

Dari usaha kreatif partisipan lahirlah yang namanya kontekstualisasi dimana bahasa didekatkan pada realitasnya. Khusus pada bahasa politik, konteks politik yang bercirikan produk berubah penekanan ke proses yang kemudian dikonstruksi partisipan secara aktif dalam negosiasi interaksional.

Tak jarang pula dalam iklan politik masa kini terjadi entekstualisasi bahasa yaitu menjauhkan bahasa dari realita. Dalam hal ini terjadi pemisahan teks dari konteksnya. Khusus bahasa politik kadang didalamnya ada teks-teks yang diangkat dari konteks lain melalui proses dekontekstualisasi kemudian kemudian direkontekstualisasikan kembali kedalam bahasa politik. Hal ini banyak pula terjadi dalam pidato politik dimana pribahasa, wacana orang terkenal, suara Tuhan, prinsip dalam kearifan lokal diangkat kedalam teks pidato.

Adanya proses dekontekstualisasi dan rekontekstualisasi dalam iklan politik menimbulkan relasi antar teks yang disebut intertekstualitas. Semua fenomena bahasa baik itu kontekstualisasi, entekstualisasi dan intertektualisasi adalah hubungan indeksikal bahasa dalam bertutur dan yang paling penting adalah mengonstruksi power(kekuatan) dalam berbahasa baik itu dalam konteks komedi maupun politik.

Kecerobohan dalam berbahasalah yang betul-betul bahasa politik menjadi lelucon karena kegagalan dalam meminimalkan kesenjangan bahasa secara tekstual dan kontekstual apalagi dilakukan secara berulang-ulang oleh banyak orang. Contohnya teks kesejahteraan rakyat, membangun bangsa dan bebas korupsi  maknanya berubah menjadi pilihlah saya dan konteks dari teks tersebut berubah pula kedalam konteks persaingan politik. Tidak ada konteks nyata dari teks tersebut yang bisa terlihat.

Bahasa-bahasa politik seperti ini apa bedanya dengan sebuah lelucon ?