1.
Tak seperti hujan di bulan Juni milik Sapardi, hujan bulan April ini sedikit berbeda, deras dan berangin.
Dan untuk menikmatinya aku tak lagi sambil ngopi, selain asam lambungku yang manja, aku bisa apa bila kau tak ada di antaranya?
2.
Pada kuning pagi dan sepanjang jalan yang kulewati, senyumanmu berlari mengikuti. Membuatku sejenak lupa akan warna cakrawala.
Lantas senja kembali, membuat segala menjadi begitu jingga, membara serupa perih yang menyisip diam-diam.
Sungguh dan aku hanya diam dan masih terheran-heran, mengapa senyummu itu begitu menyenangkan.
3.
Malam kutatap nanar dari jendela yang sedikit terbuka.
Angin bergerak lebih kencang dari biasanya.
Derak ranting. Gigil selimut. Dingin yang semakin.
Kau bilang, "Pada akhirnya kita akan memacu rindu dengan sedikit tergesa-gesa, memburu cinta yang telah jatuh tanpa diminta. Percayalah bahagia itu ada; saat kita bertemu atau ketika kita tak akan pernah bertemu."
4.
Menunggu, aku menunggu.
Pada bacaan-bacaan, pada cuaca, pada diam, pada malam dan pikiran-pikirannya. Hey, berapa bulan terlewati tanpa namamu di notifikasi.
Kau bilang, "Semesta sedang bekerja, Ing, aku pun bergegas. Mungkin akan sedikit melampaui batas, sebab kadang nyaman ini diam-diam menjebakku. Tak perlu ragu jika rindu, katakan saja, kita masih punya kesempatan kan?"
Lalu suatu hari minggu kubeli buku gambar baru, aku ingin menggambarkan apa-apa tentangmu di sana, sebelum lupa.
5.
Kusebut senja untuk mengenangmu.
Sambil mengirim pesan-pesan tersembunyi.
Kemudian lebur dalam kata-kata.
Dalam sekulum senyum. Dalam tumpukan harapan yang kau suguhkan.
Meski aku mengerti bahwa esok hari, kenyataan akan menyadarkanku kembali.
6.
Lantas aku pun bertanya-tanya, apakah kita memang layak untuk bahagia?
Sebagaimana halnya aku, mungkin kamu, kita--tidak akan bahagia.
Atau harus pura-pura bahagia di tengah ketidakmungkinan yang ada.
Barangkali kita sama-sama terluka, tapi kita tahu kita sama-sama ada
saling menggenggam asa, kurasa.
7.
Pada malam kesekian saat rembulan tersayat.
Pengap udara, sesaknya semakin.
Dan laki-laki dalam ingatan, datang lebih cepat mendahului airmata.
8.
Aku menemukanmu sebagai puisi, juga sebagai sepi yang tak sudah-sudah.
Di televisi, bahagia dibagi-bagi. Di gelas-gelas kopi, rindu benar-benar tak tahu diri.
9.
Rinai hujan, sekelebat bayang lalu lalang.
Hey, sepi! Mari bertaruh, kau atau dia yang akan menggugurkan rinduku.
10.
Sepasang mata terpejam
Menunggu lelap dalam diam
Derit pintu pagar
Desir angin samar
Kisah berlalu terburu-buru
Padahal aku belum sampai
Pada hari yang hanya berisi potongan-potongan lalu dan sekeping hatimu
11.
Hari yang biasa
Seseorang membuka jendela
Lalu rindu menguar liar
Pada mata
Pada kata-kata
Pada apa-apa yang menjelma ia sebagai pijar.
12.
Barangkali ini cara semesta menjagaku dari hal-hal yang menjemukan seperti ini; malam memanggilku sehangat parafin, sehangat doa-doa yang diterbangkan sayap harap.
Lalu esok adalah potongan-potongan waktu, yang layak dikenang sebagai sebaik-baiknya ingatan lalu.
13.
Tetapi di sepasang netranya, puisi hanyalah barang setengah jadi, juga campuran kangen dan cemas saat malam beranjak pergi.
14.
Ada yang lebih berbahaya dari kata-kata rayuan gombal, rindu yang terlalu lama tinggal dan tak mau tanggal. Ia hangat yang merambat, lalu menjelma nyala api yang membakar diri sendiri.
15.
Gerimis datang lagi, semua disinggahi. Guguran daun-daun, jejak orang-orang di sepanjang trotoar, dan engkau yang berada di dalam aku.
16.
Hujan bulan Juni berisi sunyi yang sedikit nyeri.
Petikan gitar, tegukan kopi, denting cangkir dan botol-botol bir, adalah pigura percakapan cinta yang khawatir.
17.
Harap beradu cemas
Pagi ke pagi yang berjalan lambat
Sangat lambat
Angin seperti mati
Terlalu sepi, aku benci
Sesungguhnya, sayang, apa yang engkau pikirkan?
Kau tahu, aku kelelahan.
18.
Barangkali cinta sedang sibuk menerka apa-apa yang mengundang kesedihan datang. Barangkali tak hanya kehilangan tetapi juga hal-hal semacam puisi yang tak dituliskan atau rindu yang tak dikatakan.
Sementara aku, kekasih, memilih sering-sering menatapmu. mencuri senyumanmu dan mendalami matamu yang mungkin di sana ada aku.
19.
Adalah kita, dua pengunjung kedai yang sama. Bedanya kau memilih kopi dan percakapan-percakapan yang mengikutinya, sedang aku hanya memesan sepi.
20.
"Hey, apa kabar?"
Lalu desau angin membawa aroma terbaiknya. Lalu derak ranting. Lalu warna-warni segala menjadi penanda semesta sedang bekerja, bahagia tak hanya ketika sabtu tiba.
21.
Tanpa kegaduhan cinta selalu punya cara untuk ditemukan. Serupa langit kotaku malam ini, menenangkan. Serupa sepasang netramu, yang entah mengapa begitu menyenangkan. Serupa bunga yang mekar dan layu di musim-musim berbeda.
Perihal keseimbangan, ada yang harus tinggal ada yang harus tanggal, mungkin luka mungkin cinta.
22.
Serupa angin yang sanggup ku halau dinginnya, tetapi gigilnya menyusup di selimut, merambat ke lengan yang kehilangan peluk.
23.
Hujan jatuh di kotaku, satu demi satu.
Lalu lebam dadaku, dihantam rindu yang kamu.
24.
Di buku-buku puisi rindu berwarna biru. Tetapi kadang abu-abu saat jauh dari temu. Tetapi malam ini aku melihatnya sebagai potongan-potongan puzzle yang tak ingin diselesaikan.
25.
Engkaulah terang bagi puisi-puisiku yang malam. Senyummu nyala api, menghangatkan sepi-sepi.
26.
Malam ini kusinggahi hujan yang asing. Tak ada apa-apa kecuali sepasang sayap patah dan sajak cinta di ujung lidah.
27.
Di luar hujan jatuh, di dada rindu luruh.
Pada sepi September, puisi menuliskan kesedihannya sendiri, berkali-kali.
28.
Kopi tumpah memenuhi pagi.
Pecahannya berserakan di lantai, dinding, meja, sofa dan ruang-ruang yang pernah kau singgahi. Kenangan terisak, lalu pasi, lalu sunyi.
Mungkin ini napas dini hari yang gagap bicara cinta, waktu, juga perasaan remeh temeh yang mengganggu. Sungguh mengganggu, kau tahu?
Mungkin aku bodoh memburu kosongnya harap sementara luka masih menyala.
Kau (mungkin) bukan penanda bagi hari yang terlanjur pecah.
Hanya sepi. Hanya beberapa teguk kopi, lalu bayang-bayang berhamburan ke tanah.