Awal cerita, kisah ini berdasarkan pengalaman pribadi teman saya. Saya sudah mengantongi izinnya untuk memuat ceritanya di artikel. Sebelum saya bercerita mengenai teman saya yang melakukan self harm, sudahkah kamu tau apa itu self harm dan apa saja jenisnya?
Self harm sendiri secara sederhana dapat diartikan sebagai tindakan yang membahayakan diri sendiri. Hal ini biasanya dilakukan ketika sang penderita merasa tidak bisa menyalurkan kegundahan hatinya dengan kata-kata. Sang penderita biasanya melukai dirinya sendiri agar dapat memindahkan rasa sakit di hatinya ke tempat lain.
Salah satu self harm yang paling terkenal adalah melakukan sayatan atau goresan benda tajam pada bagian tubuh. Sang penderita merasa seolah beban pikirannya menghilang setelah melihat darah mengalir. Namun, self harm tidak hanya dalam bentuk itu saja. Memukuli diri sendiri, menjambak rambut, menyalahkan diri sendiri secara berlebihan juga termasuk bentuk self harm.
Kisah teman saya di mulai ketika dia berada pada tingkat akhir Sekolah Menengah Atas (SMA). Pada waktu sebelum pandemi, dia hanyalah seorang siswa SMA biasa. Sebagai mana siswa SMA menghabiskan masa putih abu-abunya dengan bermain 60% dan belajarnya hanya 40%.
Teman saya termasuk berasal dari ekonomi keluarga yang menengah ke atas, bisnis katering yang dilakukan ibunya berjalan lancar. Dia selalu bersemangat menceritakan mimpinya menjadi seorang dokter. Tak jarang teman saya mengirimkan video berdurasi singkat mengenai operasi organ dalam.
Membuat merinding memang, namun senang rasanya melihat dirinya bersemangat.
Takdir seseorang memang tidak ada yang tahu. Bak roda yang berputar, kehidupannya yang biasa saja menjadi sangat berbeda setelah pandemi corona dimulai. Satu demi satu kedamaian remaja yang dia miliki menghilang.
Bermula dari Ayahnya yang tidak peduli dengan keluarga mereka jatuh sakit, bahkan sakit yang dialami oleh ayahnya termasuk penyakit serius, yaitu sakit jantung. Hal ini membuat Ayahnya harus dirawat inap selama beberapa kali.
Teman saya juga bercerita jika Ayahnya haruslah mencuci darah rutin setiap bulan sekali. Biaya berobat yang tak sedikit membuat ekonomi keluarga mereka terpuruk. Apalagi selama pandemi bisnis Ibunya tak selancar dahulu.
Kewajiban seorang anak memanglah berbakti kepada orang tua. Meskipun rasa kesal yang meradang di hati teman saya karena mengingat perlakuan tidak peduli Ayahnya kepada keluarga mereka dahulu, dia tetap merawat sang Ayah.
Tahun itu bertepatan dengan kelulusan teman saya, dirinya yang ingin menjadi dokter memutuskan untuk mengambil jurusan Kedokteran di beberapa Perguruan Tinggi Negeri dan juga Perguruan Tinggi Swasta. Tetapi, tidak ada yang menyatakan dirinya lolos.
Kalimat darinya yang menyayat hati saya adalah ketika dia berkata,
“Keluargaku udah engga punya uang, kira-kira aku bisa engga ya kuliah di kedokteran”
Hingga pada akhirnya, dia harus menelan bulat-bulat kekecewaannya karena gagal berkuliah. Dia memutuskan untuk gapyear satu tahun. Dalam jangka waktu beberapa bulan setelahnya, dia bersama Ibunya merawat Ayah yang kondisinya semakin parah.
Dia bilang jika Ayahnya sudah tidak sadar. Ingat sekali saya ketika dia mengabarkan bahwa Ayahnya semakin parah saya sedang melakukan tahlilan tetangga saya yang baru saja meninggal. Akhirnya saya memutuskan untuk mengirim doa pula untuk Ayahnya yang sedang berjuang.
Kabar tak mengenakkan darinya kembali datang,
“Ayahku engga ada”
Deg! Perasaan iba menyeruak ke hati saya. Saya dapat melihat bagaimana dirinya yang berjuang bertahan hidup dengan segala beban yang terjadi dalam waktu bersamaan.
Finansial yang semula stabil menjadi terombang ambing, bahkan cita-citanya pun ikut dipertaruhkan. Tak pernah terbesit dalam pikiran saya jika dirinya akan memilih jalan self harm sebagai pelampiasan pilu hatinya.
Dia berkata jika dengan menyayat tangan dan membiarkan darah segar mengalir membuat sakit hatinya berkurang dan berpindah pada tempat lain. Untaian kata demi kata saya ucapkan untuk mencoba merengkuhnya agar tidak melakukan hal mengerikan itu lagi.
Apa daya, ketika seseorang merasa hidupnya tidak adil dan menyalahkan Tuhan atas segala cobaan yang harus dihadapi pasti akan sulit mendengarkan kata-kata penyemangat positif dari orang lain. Mereka akan merasa bahwa orang lain tidak akan pernah mengerti bagaimana rasa sakit hatinya.
Setelah beberapa waktu, teman saya berhasil survive. Meskipun tidak 100% berhenti, teman saya mengurangi self harm nya. Terkadang memang ada orang yang tidak butuh kata-kata penyemangat, bahkan bisa saja kata-kata penyemangat itu malahan terdengar seperti ejekan bagi mereka.
Seperti kasus teman saya, dirinya hanya perlu waktu untuk menenangkan diri dan ditemani bercerita. Bukan sebuah saran yang berakhir memojokkannya.
Sekarang dirinya membantu ekonomi keluarganya dengan berjualan online, hasil jualannya pun sudah mencapai dua digit rupiah. Saya ikut merasa senang melihatnya. Hal yang paling membanggakan adalah dia berhasil lolos di jurusan keperawatan pada salah satu Perguruan Tinggi Negeri ternama di Indonesia.
Kawan, hidup memang tak pernah mudah tetapi bukan berarti kita harus menyakiti diri kita sebagai jalan penyelesaian masalah. Alih-alih menyakiti diri bagaimana jika kamu bermain dengan cat air atau mencoba hobi baru? Dari situ kamu juga bisa mengembangkan keahlianmu lohh.
Kamu juga harus tau, orang di sekitarmu siap menjadi sandaranmu ketika kamu terlalu lelah untuk berdiri tegak. Setelah hujan saja ada pelangi, jadi setelah semua masalah ini berlalu pasti ada kebahagiaan yang menunggumu.
Sesungguhnya Tuhan tidak akan pernah memberikan cobaan yang melebihi batas kemampuan umatnya. Akhir kata, sayangilah dirimu sendiri terlebih dahulu karena dirimu adalah segalanya.