Jagat sepak bola Indonesia kembali mendapat cobaan yang sedemikian rupa. Selesainya drama yang mempertontonkan kekuatan antara Menpora dengan PSSI untuk memancing kemunculan mafia-mafia, ternyata tidak serta-merta menyelamatkan nyawa sepak bola Indonesia.

Terpilihnya ketua umum yang baru di tubuh PSSI sekaligus dewan Exco-nya pun tidak lantas memberikan angin segar di lapangan. Ibarat kata: Mati satu tumbuh seribu; kelihatannya sih sudah berhasil menyelesaikan pekerjaan rumah, ternyata malah menimbulkan seabrek masalah.

Ya, PSSI yang berdiri sejak tahun 1930 tersebut, kini kembali menjadi malapetaka. Bukan karena PSSI masih belum bisa menyumbangkan medali-–kalau itu mah sudah jadi rahasia umum, melainkan PSSI yang tidak kunjung sehat meskipun usaha untuk mengobati penyakit dilakukan dengan kuat. Lagi-lagi, mafia-mafia masih berseliweran dan ongkang-ongkang di atas meja kepengurusan.

Asumsi ini tidak sekadar bualan, tetapi lahir dari opini publik yang keluar dari hati nurani terdalam: para insan suporter tim kebanggaan. Kalau tidak percaya, silahkan berjalan-jalanlah ke Kota Surabaya, dan lihat, berapa banyak spanduk yang bertuliskan resistensi terhadap PSSI berkibar.

Saking banyaknya, mungkin anda semua perlu membawa kalkulator asli, jangan dari HP, nanti kalau over bisa berabe. Atau silakan silaturrahim ke mabes (markas besar) para suporter tim, dan tanyakan, apakah kongres PSSI kemarin terbebas dari kongkalikong dan penuh ketidaktoleransian.

Penulis tidak perlu menjawabnya, karena berita di media yang waras terlampau banyak untuk dijadikan bukti sekaligus saksi. Di tambah lagi, salah satu kandidat ketua umum yang menjadi idola para suporter sepak bola, bisa-bisanya tidak mendapatkan suara satu pun. Mungkin oleh sebagian orang, ini dianggap kritik yang tidak berdasar dengan mengajukan logika sistem pemilihan dan pertimbangan dewan voters yang penuh kebijaksanaan.

Pertanyaannya, normalkah jika sistem pemilihan tidak mendasarkan diri pada proses input dari semua yang pihak yang berkaitan? Waraskah jika voters lebih memilih TNI dari pada legenda sepak bola tanah air yang kontribusi dan pengalamannya tidak perlu diragukan?

Wajarkah jika PSSI yang pada bulan Agustus sudah menjanjikan untuk membahas nasib para tim yang diduga bermasalah tetiba membiarkan dan menolak untuk mendiskusikan? Apakah masih dosa jika menuduh PSSI penuh dengan kaum munafik dan masih dikuasai oleh logika para politisi plus militer?. Kepada anda, pertanyaan ini penulis ajukan.

Hari Kasih

Hari ini tertanggal 16 November 2016, dunia sedang bereuforia memperingati Hari Toleransi Internasional. Di Indonesia, toleransi tidaklah asing di telinga para warganya. Bahkan tidak sedikit tokoh Indonesia yang oleh dunia diakui sebagai pahlawan toleransi, sebut saja Gus Dur, Cak Nur, Sinta Nuriyah dan lain sebagainya. Sikap hubungan untuk saling menghargai dan menghormati bahkan memaafkan merupakan karakter utamanya.

Seperti yang dikemukakan Micheal Wazler (1997), toleransi merupakan keniscayaan dalam ruang individu dan ruang publik karena karakternya yang senantiasa ingin mewujudkan hidup yang damai (peaceful coexistence) di antara berbagai kelompok masyarakat dari berbagai perbedaan latar belakang sejarah, kebudayaan dan identitas.

Karena toleransi mencoba mendamaikan berbagai prinsip dan sudut pandang manusia, maka tentulah acap kali melahirkan yang siap rukun bersama tanpa embel-embel, dan yang masih keras kepala; menciptakan pejuang yang toleran, dan pembantah yang senantiasa menekan, baik dari paham sesat keagamaan, buta kesukuan dan politik kepentingan.

Di Indonesia, semua agama mengajarkan pesan-pesan perdamaian, pun ayat-ayat perjuangan. Di sini tidak perlu penulis kutip bunyinya di dalam kitab suci, sebab warga Indonesia sudah pandai untuk membacanya dan semoga tidak hanya di bibir saja.

Karenanya, sangatlah lucu jikalau masyarakat Indonesia yang pandai beragama masih ada yang menolak untuk menerima dan memaafkan sesama. Kelucuan ini tidak hanya tertuju pada hubungan antar pemeluk agama, atau antar suku-suku Nusantara, melainkan juga hubungan penguasa dengan rakyatnya, termasuk urusan lapangan sepak bola.

Toleran di Lapangan

Di muka, penulis sudah menyampaikan sedikit cerita tentang keadaan sepak bola Indonesia. Sama dengan kisah Barathayuda, cerita sepak bola Indonesia ini pun dilatarbelakangi arogansi para pemimpin dalam sebuah wilayah yang tidak pernah mendengar masukan para rakyatnya, akhirnya mau tidak mau lahirlah para pahlawan yang bervisi untuk mengubah tatanan agar sesuai dengan cita keadilan.

Persamaannya lagi, pemimpin yang arogan tadi baik di Barathayuda maupun di sepak bola, ternyata tidak ahli dalam mengatur dan membuat kebijakan. Bayangkan saja, kurawa yang tidak pernah ikut terlibat dalam pembuatan kebijakan kerajaan, tetiba duduk di kursi megah setelah berhasil menyingkirkan pandawa.

Begitu juga di sepak bola Indonesia, yakni PSSI, para manusia yang tidak pernah menggocek bola bahkan nama pendiri PSSI pun mereka tidak memahaminya, tetiba duduk mengeksekusi ihwal lapangan setelah berhasil menyingkirkan pahlawan dengan prestasi dan pengalaman sepak bolanya yang tidak terbantahkan.

Ya, kemelut sepak bola saat ini merupakan implikasi dari persoalan-persoalan sebelumnya.

Ada dua peristiwa yang berperan, yakni pertama, saat terjadi dualisme kompetisi sepak bola di Indonesia, yaitu ISL dan IPL. Kala itu, klub seperti Persebaya Surabaya, Arema Indonesia, Persema Malang, Persibo Bojonegoro, Lampung FC, Persipasi Bekasi dan Persewangi Banyuwangi masuk ke dalam IPL, yang oleh PSSI berdasar pada kebijakan FIFA dianggap sebagai kompetisi ilegal. Hal ini berujung pada dicoretnya mereka dari keanggotaan PSSI.

Kedua, perlawanan Menpora kepada PSSI yang terbukti dihuni oleh para mafia-mafia pengatur jalannya sepak bola. Perlawanan yang ditandai lewat pembekuan PSSI oleh Menpora tersebut berjalan cukup lama.

Hampir publik sudah melihat betapa busuknya sepak bola tanah air di dalam tubuh PSSI, mulai dari permainan skor sampai perputaran uang di bawah rumput lapangan. Hingga akhirnya, drama sepak bola tersebut berakhir ‘untuk sementara’ tatkala Menpora menandatangani SK pencabutan pembekuan PSSI dengan berkata bahwa semata-mata untuk menghormati MA dan menghargai niat baik–-insya Allah-–FIFA.

Dari kedua hal di atas, kemudian muncul pertanyaan alamiah: Mengapa PSSI tidak kunjung melakukan pemutihan terhadap status klub di atas? Bukankah PSSI menjunjung istilah fair yang tentu juga harus mau melakukan tindakan yang berkeadilan? Apakah PSSI benar-benar terbebas dari mafia?

Terlepas dari sejarah masa lalu, tentu kita harus melihat realitas sepak bola sekarang ini. Logikanya, tatkala sepak bola sudah menjadi identitas kebanggaan dan cita-cita untuk melihat sebuah tim kesayangan telah mendarah daging (lihat saja perjuangan para suporter tim-tim di atas, utamanya yang tergabung dalam Arek Bonek), maka suatu kedunguan jika para penguasa menutup telinga lantas berlalu pergi.

Parahnya lagi, sungguh bebal jikalau penguasa yang sudah berjanji untuk membahas nasib tim sepak bola, yang padahal para suporter dari tempat terjauh pun rela hadir agar bisa menikmati kebijaksanaannya, tetiba dengan mengawur membatalkan agenda pemutihan sanksi pada Kongres Pemilihan PSSI pada hari Kamis, tanggal 10 November 2016, di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta.

Akibatnya, beribu-ribu suporter mengecam dengan nada ancaman kepada PSSI baik lewat demonstrasi maupun opini. Ditambah lagi, solidaritas yang terbangun oleh suporter sampai merambah ke manajemen tim yang saat kongres tidak mendukung adanya pemutihan. Lha, kalau ini dibiarkan, berapa banyak lagi adu domba dan pertikaian bertebaran di sudut-sudut lapangan dan menghambat prestasi tim kebanggaan?

Bukankah toleransi mengharuskan para manusia untuk saling menerima semuanya asal bisa menjadi saudara atas sesama? Kepada PSSI dan suporter Indonesia, penulis bertanya.