"Kamu nggak pernah kelihatan sekarang, Kim," katanya beberapa waktu lalu, sesaat sesudah saya nanya ke dia sekarang tinggal di mana.

"Kita sama-sama nggak pernah kelihatan," jawab saya, "untuk satu sama lain."

Kami pernah tinggal di satu kota, yaitu di Tegal, sebelum kemudian dia bergeser ke lain kota dan menetap di kota tersebut. Dan jawaban untuk pertanyaan sekarang dia tinggal di mana cukup membikin saya terkejut.

Dia menyebut nama sebuah tempat di Jakarta—tempat di mana dia tinggal sekarang. Saat dia nanya juga di mana saya tinggal sekarang, saya menyebutkan nama tempat yang sama.

"Hah?!" katanya. Kelihatannya, dia lebih kaget ketimbang saya.

"Mungkin kapan-kapan kita bisa ketemu," kata saya.

"Jangan kapan-kapan," katanya, "harus secepatnya dong. Tentuin waktunya."

Ada jeda beberapa detik setelah itu, karena sebetulnya saya tidak yakin apakah saya bisa menyempatkan waktu untuk bertemu dengannya atau tidak. Ketika saya bilang ke dia "kapan-kapan mungkin kita bisa ketemu", saya hanya bilang secara asal saja, atau kata-kata itu hanya meluncur begitu saja secara spontan.

Kemudian dia meneruskan, "Aku punya banyak cerita di sini, Kim, yang aku pendam sendiri."

Saya tidak menggubris apa yang barusan dia bilang.

"Di sini, kamu tinggal sama siapa?" tanya saya.

"Aku udah nikah dan punya anak," katanya. "Aku tinggal di sini sama suami."

Saya mematung untuk beberapa detik mendengar dia sudah menikah dan punya anak. Mungkin sedikit terkejut.

"Menikah itu membosankan, tidak enak, dan bikin lemah. Aku nggak suka berada di zona seperti ini," katanya meneruskan.

"Kamu sudah telanjur menikah," kata saya.

"Semua teman-teman juga bilang begitu," katanya; dia mengatakannya seperti menginginkan tanggapan yang berbeda dari saya.

"Sekarang," kata saya, "ada banyak pertanyaan untukmu yang mulai menyembul di pikiran aku."

"Sudah nggak heran," jawabnya, "kamu, kan, dari dulu suka nanya-nanya, kayak wartawan."

"Tapi," kata saya kemudian, "pertanyaannya nggak akan aku ajukan."

"Pasti soal pernikahanku, kan?" katanya.

"Ya."

"Tapi sebelum cerita, aku mau nanya dulu," katanya. "Menurutmu, aku keren nggak?"

"Kamu butuh semacam validasi untuk pertanyaan itu?" tanya saya.

Omong-omong, percakapan itu terjadi di Instagram—pada pukul satu dini hari beberapa waktu lalu, di dalam pesan kotak masuk di media sosial itu. Saya tidak tahu apakah dia keren atau biasa saja, tetapi saya mengamati beberapa foto yang dia unggah di media sosial tersebut sesaat setelah dia nanya ke saya apakah dia keren atau tidak.

Kemudian, sesudah saya menggerayangi sejumlah fotonya di Instagram, saya memutuskan untuk menjawab sembarang saja.

"Kamu seperti wanita kebanyakan," kata saya, "yang bisa ditemukan di banyak tempat-tempat tertentu di Jakarta."

Itu cuma jawaban atas kesan eksternalnya saja, yang saya dapatkan dari mengamati beberapa fotonya di Instagram. Dan dari beberapa fotonya itu, saya mendapati dia bercokol di sebuah bar, dengan segelas bir di tangan kanan; sebatang rokok di tangan kiri, dan dengan mengenakan baju-baju yang berbelahan dada rendah—payudaranya cukup besar untuk ukuran tubuhnya yang ramping.

Ada sejumlah pria yang mengerubunginya di bar itu. Dan saya tidak tahu apa yang ada di pikiran pria-pria yang berkerumun itu mengenai baju yang teman wanita saya kenakan, apakah bajunya keren atau harganya mahal atau murah.

Kami dulu adalah teman yang cukup dekat, dan dia pernah nanya ke saya pada suatu malam di stasiun kereta api di Tegal ketika kami iseng duduk-duduk di sana, apakah saya sepakat dengan Gabriela—salah satu tokoh wanita dalam novel The Winner Stands Alone karya penulis Brazil Paulo Coelho—yang memiliki pemikiran bahwa pria tidak begitu peduli atau tidak terlalu memberi perhatian pada pakaian apa pun yang dikenakan wanita, karena sebetulnya pria selalu membayangkan wanita telanjang.

Saya tidak menjawab "ya" atau "tidak"; tidak menggelengkan kepala atau menganggukkan kepala. Saya hanya tersenyum—dengan cara dikulum, sebelum kemudian bangkit dari tempat duduk saya dan pergi begitu saja ke mini market di dekat stasiun untuk beli dua cokelat es krim.

Ketika saya kembali dan duduk di sebelahnya, dia menanyakan lagi hal yang tadi. Selanjutnya dia terus mengejar untuk mendapatkan jawaban.

Kemudian, saya kembali mengemut senyum sambil menyerahkan satu cokelat es krim untuknya, dan tetap tidak menjawab pertanyaannya yang barusan. Selanjutnya, saya langsung menjilati es krim dengan khusyuk.

Itu pertemuan terakhir kami, kalau tidak salah, sekitar dua tahun lalu. Setelah itu, kami sama-sama tidak pernah kelihatan, dan sama-sama seperti saling lupa.

Tidak lama sesudah pertemuan itu, saya memutuskan untuk tinggal di Semarang karena mendapat pekerjaan di kota tersebut, sebelum kemudian pindah ke Jakarta karena mendapat pekerjaan lain di sana.

Dan tentang pertanyaan apakah menurut saya dia keren atau tidak, terus terang, saya tidak tahu dalam konteks apa dia menanyakan hal tersebut. Lagian, saya pikir itu tidak penting sama sekali apakah dia keren atau wagu atau jelek sekali.

"Ya udah," katanya. "Jadi aku tahu gambaran seperti apa tentang aku di pikiranmu."

Ada jeda lagi di sini untuk beberapa detik, sebelum kemudian dia meneruskan.

"Menurut suamiku," katanya, "aku nggak keren. Tapi menurut aku, aku keren banget. Dia nggak suka baca buku, nggak suka kata-kata indah, nggak suka ngobrol serius; selalu nggak tahu lagu apa yang aku putar setiap hari, selalu nggak mau tahu juga apa yang lagi aku rasain."

Dia nggak tahu Ernest Hemingway, nggak tahu Albert Camus, nggak tahu Dostoevsky, nggak tahu Anton Chekhov, nggak tahu Etgar Keret, nggak tahu Paulo Coelho, nggak tahu Gabriel Garcia Marquez, nggak tahu Haruki Murakami, nggak tahu Knut Hamsun, dan sebagainya. Dia nggak tahu penulis-penulis dunia yang aku tahu dan suka.

Dia banyak nggak tahunya, Kim. Dan menurut aku dia nggak keren. Sama sekali nggak keren, sama sekali nggak keren, sama sekali nggak keren, dan sama sekali nggak keren. Aku ingin bilang seperti itu sebanyak mungkin dan dia betul-betul nggak keren.

Dan satu lagi, dia nggak suka pakai sepatu. Aku salah nggak menuntut dia buat menyukai apa yang aku suka?"

"Aku nanya dulu," kata saya. "Apa yang bikin kamu akhirnya mutusin buat nikah sama dia?"

"Karena kelepasan," katanya. "Terus punya anak."

Itu adalah alasan yang klise. Dan untuk yang ini, saya sama sekali tidak kaget atau mendadak terjengkang ketika mendengarnya.

"Aku rasa kamu nggak perlu menuntutnya buat menyukai apa yang kamu suka," kata saya akhirnya. "Kamu nggak bisa mengubah orang lain."

"Eh!" katanya, dia kelihatan sedikit naik pitam, "emang orang sampai mati nggak bisa berubah, ya?!

"Maksudku, kita nggak benar-benar bisa mengubah orang lain. Biasanya, orang itu akan berubah kalau kita sudah tidak lagi berusaha untuk mengubahnya, atau kalau kita sudah berhenti menuntutnya untuk berubah."

Tetapi, apa boleh buat, itu adalah hal yang memang lazim kita lakukan ketika kita menjadi bagian hidup dari seseorang. Kita menginginkan orang itu berubah sesuai kehendak kita, dan kita mungkin menyibukkan diri untuk mengubah orang itu, kemudian kita menjadi jengkel ketika orang itu tidak bisa berubah.

Dan itu mungkin juga terjadi dalam pergaulan kita sehari-hari bersama teman-teman kita. Mungkin kita memiliki salah satu teman yang menjengkelkan, lalu kita meminta mereka untuk berhenti menjadi menjengkelkan, lalu kita menjadi jengkel ketika mereka tetap menjengkelkan.

Kebanyakan dari kita, mungkin memang suka menyibukkan diri untuk mengubah orang lain, bukannya menyibukkan diri untuk mengubah diri sendiri. Atau mungkin kita justru melakukan keduanya: menyibukkan diri untuk mengubah diri sendiri dan orang lain.

Tetapi hidup ini—selain berengsek—penuh dengan hal yang paradoks. Contoh, Anda mendapati diri Anda membutuhkan seseorang, kemudian seseorang yang Anda butuhkan, biasanya, akan mendapati dirinya tidak membutuhkan Anda, atau tidak butuh-butuh amat ke Anda.

Itulah kenapa penting kita memiliki rasa bahwa kita tidak membutuhkan siapa pun, kecuali diri kita sendiri.

Contoh lainnya. Kita mungkin bisa bereksperimen dalam hal mencari pekerjaan, tetapi dalam keadaan kita tidak membutuhkan pekerjaan sama sekali. Mungkin kita akan mudah mendapatkan pekerjaan ketika kita justru tidak membutuhkannya sama sekali. Siapa tahu?

Dan ini serupa dengan seorang pria yang ingin memiliki seorang wanita yang dia dekati. Biasanya, dia akan cenderung gagal ketika mendekati wanita karena ingin memilikinya, dan justru akan cenderung berhasil ketika dia mendekatinya bukan karena ingin memilikinya.

Sekali lagi, hidup ini penuh dengan hal yang paradoks. Ada banyak contoh lainnya yang bisa kita temukan dalam pengalaman-pengalaman kita.

Dan dalam konteks tulisan ini, mungkin kita akan sepakat dengan apa yang dinyatakan oleh seseorang—saya tidak tahu siapa namanya—di dalam blognya yang berjudul Botschaften von Gott. Setidaknya, kita mungkin akan sepakat secara intuitif, dan pernyataannya berbunyi seperti ini: "Perubahan terjadi, ketika kita tepat berhenti ingin mengubah orang lain."