Anak sekolah mana saja bisa mencintai laiknya orang pandir,
Namun membenci itu, oh nak, kau butuh seni tersendiri.
Puisi Ogden Nash berjudul “A Plea For Less Malice Toward” tersebut dapat menggambarkan konflik komunal yang terjadi di dunia ini. Membenci butuh alasan. Atas dendam atau menginginkan kekuasaan politik dan ekonomi. Kebijakan exhorbitante rechten misalnya, sejarawan Ong Hok Ham dalam “Exhorbitante Rechten Gubernur Jenderal” mendefinisikannya sebagai hak Gubernur Jenderal Hindia-Belanda untuk menentukan tempat tinggal bagi golongan-golongan yang penduduk Hindia-Belanda atau pribadi tertentu.
Tujuannya menciptakan sistem perkampungan golongan etnis. Nama-nama seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir pernah menjadi korban. Bukan hanya dari golongan atas, golongan bawah pun demikian: kepala desa, dukun, guru agama, jago desa, dan pemimpin lain sering dibuang.
Kebijakan ini jelas menyalahi hak-hak asasi manusia, khsususnya hak untuk bertempat tinggal. Terlebih dikenakan pada orang-orang yang terbukti tidak melanggar hukum. Etnisitas dijadikan dalih politik dalam memperoleh keuntungan. Menguntungkan bagi pembuat kebijakan, sengsara bagi yang diasingkan.
Dari exhorbitante rechten, hasilnya, dapat kita lihat hingga sekarang: adanya Kampung Pecinan, Kampung Melayu, dan sebagainya. Produk semacam ini menjadi dinding pemisah yang kuat, dikhawatirkan akan muncul sentimen-sentimen yang menyebabkan konflik primordial. Terlebih, hampir seluruh wilayah Indonesia didiami etnis yang heterogen dari kelompok etnis yang berbeda. Budaya primordial yang diterapkan secara eksklusif, mengembangkan masyarakat yang soliter, tertutup terhadap kelompok lain.
Sektarian dan Soliteris
Amartya Sen, seorang filsuf cum ekonom, mengungkapkan bahwa identitas bersama memang dapat memberikan kekuatan dan kehangatan hubungan dengan pihak lain, seperti tetangga, anggota komunitas yang sama, sesama warga negara, atau penganut agama yang sama. Namun, apabila sudah ditunggangi oleh aktivis sektarian radikal, identitas dapat memicu konflik kemanusiaan.
Pihak sekterian akan menjadi soliter: memandang manusia hanya bagian dari bagian satu kelompok saja. Hal ini dapat menimbulkan konflik primordial, yaitu konflik yang tidak disebabkan oleh ideologi, tetapi oleh agama, daerah, atau suku budaya. Konflik Muslim-Kristen di Ambon pada 19 Januari 1999 misalnya.
Tri Ratnawati, peneliti LIPI dalam “Mencari Kedamaian di Maluku: Suatu Pendekatan Historis Politis”, mengatakan terdapat kecenderungan primordial dan keterikatan pada tradisi, terutama pada agama masih sangat kuat di antara komunitas Ambon. Ia menyimpulkan bahwa tragedi Ambon menunjukkan bahwa orang Ambon kurang mempunyai kemampuan untuk mengatur perbedaan agama dan kepercayaan lainnya dalam masyarakat mereka. Identitas yang bersifat tunggal akan melekat pada diri seseorang seolah kita agresif terhadap kelompok lainyang sudah dicap.
Identitas Tunggal Yang Memecah
Amartya Sen dalam Kekerasan dan Identitas (2016) mengatakan, yang melandasi brutalitas maha kejam adalah kerancuan konsep mendasar tentang identitas manusia, yang mengubah manusia multidimensi menjadi satudimensi. Muncullah manusia dengan identitas tunggal—“pengabdian identitas” – yang diwujudkan dalam perilaku meniadakan pengaruh rasa berbagi identitas apapun dengan orang lain.
Kekerasan dipicu oleh pemaksaan identitas tunggal yang penuh permasalahan kepda orang-orang awam, yang digelontorkan oleh para penebar teror. Pemberian cap identitas kepada suatu orang atau kelompok akan berbuntut dengan pelecehan yang biasanya menyulut terjadinya tindak kekerasan terhadap orang-orang yang dicap jelek.
Terlepas dari keberagaman kita yang tidak pernah seragam, dunia tiba-tiba dipahami bukan sebagai kumpulan orang-orang, melainkan federasi agama-agama dan peradaban-peradaban (Sen, 2016: 19).
William Chang dalam “Berkiatan Dengan Konflik Etnis-Agama” menyebut proses fragmentasi meliputi hampir seluruh sektor kehidupan umat manusia. Perbedaan etnis tidak lagi menciptakan persatuan, tapi sebaliknya, justru menciptakan konflik. Proses Keterikatan yang kuat dan eksklusif pada suatu kelompok bisa mengundang keterpisahan dari kelompok lain.
Pada tahun 1970 misalnya, tentara Hindia-Belanda di bawah perintah Gubernur Jenderal Adrian Balckenier membantai Komunitas China. Sekitar 10.000 laki-laki, perempuan, dan anak-anak menjadi korbannya. Banyak pelaku pembunuhan adalah tentara lokal yang direkrut Hindia-Belanda. Penduduk lokal membenarkan tindakan itu karena orang China dianggap kafir dan orang asing (Denys Lombard dalam R. Tockary, 2003: 54-55).
Pemaksaan identitas tunggal ini kerap menimbulkan pertikaian sektarian. Menjadi senjata yang digunakan oleh para aktivis sektarian untuk mengabaikan seluruh ikatan dan kesetiaan terhadap satu identitas tunggal tertentu. Dengan tindakan konfrontasi dan propaganda, si pemilik identitas tunggal itu melakukan pembantaian.
Dari pembantaian pembantaian Komunitas China tersebut, penulis setuju dengan Parlan Suparlan di “Etnisitas dan Potensinya Terhadap Disintegrasi Sosial di Indonesia”, “Selama konflik etnis terjadi, etnisitas menjadi acuan utama dalam mengidentifikasi. Konflik etnis pada dasarnya adalah suatu konflik yang mengarah pada pemusnahan masing-masing etnis melalui perusakan terhadap lambang-lambang etnis. Masing-masing pihak berupaya untuk menghancurkan dan mengeliminasi eksistensi pihak lainnya. Ini menjelaskan mengapa konflik etnis menjadi ajang penghancuran total, melebihi kehancuran yang diakibatkan perang dua negara.”
Tantangan Pluralitas
Sebagai konklusi, “Sektarian, soliteris, dan identitas tunggal merupakan sebuah ilusi. Namun kejam.” Tiga hal tersebut merupakan tantangan yang dihadapi Indonesia sebagai bangsa yang plural. Bukan hanya negara, masyarakat harus mengakui multikulturisme di Indonesia. Berhenti berlaku ekslusif. Lebih banyak bergaul daripada konservatif.
Sudah banyak konflik komunal yang mengiringi jalannya sejarah bangsa Indonesia. Teringat kalimat yang dilontaran Ernest Douwes Dekker, “Hindia Belanda harus dimiliki oleh seluruh orang Indonesia, Eurasia, Cina, dan Eropa yang memilihnya sebagai tempat tinggal mereka.” Sudah sepatutnya orang yang mengakui Indonesia sebagai tanah air mereka dapat hidup tentram tanpa konflik kemanusiaan. Sejahtera itu ketika suatu bangsa dapat ditinggali dengan nyaman oleh masyarakat yang plural.