It was one year ago, ketika saya mengalami sebuah peristiwa yang hingga saat ini membuat saya sadar akan satu hal, bahwa terkadang hidup memang tidak selalu seperti yang kita harapkan. Bersiaplah menerima bahwa kenyataan memang tak seindah realita.

Nyatanya, semesta memang diciptakan begitu agar membuat kita lebih bijak dan bersyukur dalam mengarungi bahtera kehidupan dunia.

Sore itu langit sedang diselimuti awan gelap yang semakin lama akhirnya membuat air hujan turun juga sedikit demi sedikit membasahi bumi. Tak pernah sedikitpun terbesit pada benak saya saat itu untuk menepi; karena tidak membawa mantel. Pertigaan lampu merah Suhat, Malang sedang macet-macetnya.

Maklum, jam sudah menunjukkan pukul lima sore hari, yang artinya telah masuk jam pulang kantor dan kuliah. Sepanjang pertigaan lampu merah, saya tidak menemukan tempat untuk berteduh. Kebanyakan tempat yang berada disana letaknya sangat mepet dengan jalan. Bahkan, untuk menaruh kendaraan saja sulit karena trotoarnya tidak tertata.

 Hujan turun kian deras, ditambah macetnya pertigaan lampu merah suhat yang juga semakin menyebalkan. Karena kondisi yang kepepet, akhirnya saya mengeluarkan bakat terpendam, yakni melanggar aturan lalu lintas dengan melawan arah sambil meliuk-liuk bak pemain bola melewati satu persatu kendaraan lain.

Sedang asyik-asyiknya meliuk-liuk ditengah kemacetan, tiba-tiba saya mendengar suara sirine dari belakang. Rasa kemanusiaan membuat saya akhirnya memilih perlahan menepikan motor, masuk lagi ke macet dan merelakan tubuh diguyur hujan yang turun dengan derasnya hari itu.

Suara ambulans kah? Atau suara sirine mobil pemadam kebakaran? Atau justru suara mobil patrol? Jujur saya merasa biasa saja ketika kendaraan-kendaraan itu melintas di jalanan yang padat.

Mungkin, pasien di ambulans sedang dalam keadaan darurat dan mobil pemadam kebakaran sedang berpacu dengan si jago merah. Kalau mobil patroli? Ya tidak papa juga sebenarnya. Paling-paling mereka sedang mengawal pejabat yang gupuh ingin menghadiri acara peresmian, atau hal lain yang sifatnya demi “kepentingan rakyat”

Melihat kebelakang melalui kaca spion, ternyata juga banyak kendaraan lain yang ikut menepi seiring suara sirine yang semakin kencang.

Namun, terdapat hal ganjil ketika suara sirine itu sudah semakin dekat. Di belakang suara sirine itu, ternyata diikuti oleh suara gemuruh khas kenalpot mobil sport yang jumlahnya cukup banyak.

Perasaan yang awalnya rela, berubah menjadi amarah. Benar saja, beberapa detik kemudian, selang beberapa menit kemudian, lewatlah mobil patrol polisi yang merupakan sumber suara sirine, mengekor di belakang mobil.

Emosi yang berkecamuk di hati sudah sampai pada titik puncaknya. Tidak peduli apakah di sekeliling saya heran ataupun justru ikut jengkel dalam hati masing-masing. 

Sebetulnya terbesit niat untuk mengejar konvoi tersebut, kemudian menyalip dan memberikan kata-kata kotor khas jawa timuran pada mobil-mobil tersebut. Untung saja, niat buruk itu tidak jadi saya laksanakan.

Saya dan mungkin beberapa pengendara lainnya ikut merasa menjadi orang yang tidak berdaya, tersisihkan haknya dalam menggunakan jalan. Sampai mobil terakhir yang memiliki ciri sama dengan mobil-mobil di depannya lewat, yang bisa saya lakukan hanya misuh.

Sangat memuakkan rasanya ketika maksud hati ingin menepi hanya untuk memberi jalan kepada yang dipikir darurat, eh, justru para bedebah perampas hak yang dengan sombongnya lewat. Sudah jalanan ramai, macet, ditambah hujan pula,

kok ya seenaknya sendiri mereka membunyikan sirine. Buat apa mereka menyalakan sirine kalau bukan untuk menyuruh orang lain untuk memberi jalan dan mengalah? Apakah benar-benar ada yang darurat?

Harusnya para pengendara ini sadar, kalau jalanan bukan milik mereka saja. Nyatanya, mereka dan kita semua pengguna jalan nggak ada bedanya kok, wong sama-sama bayar pajak. Bayar pajak berapa, sih?

Kecuali jika ternyata mereka membayar uang pajak sepuluh kali lebih besar dari orang-orang pada umumnya, kejadian itu masih bisa dimaklumi. Belagak sok menguasai jalan boleh sih, tapi ya mbok jangan pas waktu jalan lagi macet-macetnya dong, ditambah hujan deras pula.

Sejatinya, pengalaman seperti ini sudah bukan yang pertama kalinya bagi saya. Saat berada di Batu, pernah juga saya mendengar bunyi lantang sirine diikuti raungan knalpot dari para pengendara motor gede. 

Pengalaman dan pengetahuanlah yang membuat saya sadar akan satu hal; jalanan adalah milik semua orang, bukan milik satu golongan tertentu saja. Beberapa kali saat setelah kejadian di lampu merah perempatan suhat dan Batu, saya menolak untuk menepi dan malah justru mempercepatnya. Berkali-kali klakson milik para pengendara moge latang berbunyi dibelakang saya, seakan memberikan tanda peringatan bahwa saya harus minggir dan menepi.

Meski takut dan sedikit gemetar, saya tetap kukuh berdiri di depan para pengendara moge itu. Kebetulan, jalan yang berlawanan arah kondisinya sangat padat, sehingga rombongan klub motor gede di belakang saya tidak bisa overlap dan tetap pada jalurnya.

Rasanya sangat tidak adil. Meskipun sudah membayar pajak, menyewa patwal untuk konvoi sport car atau motor gede bukanlah hal yang bijak. 

Kalau memang ingin menikmati jalan, mereka juga harus mau merasakan macetnya juga, sekalian berdampingan dengan masyarakat lain seperti mahasiswa atau pekerja yang hendak pulang atau berangkat beraktivitas.

Apa nggak mikir kali, ya? Semisal orang yang disuruh minggir hanya demi mengalah pada konvoi bersirine ternyata sedang ditunggu oleh keluarga tercintanya di rumah.

Seharusnya, jika memang ingin atau harus melakukan konvoi, ya usahakan bikin jalan sendiri lah!, jangan merepotkan pengendara lain!