Budi memiliki sahabat yang bernama Bono. Tingkat kemiskinannya dapat dipastikan sama. Mengingat secara naluriah manusia akan tertarik dengan orang yang mirip dengannya (baik dari segi ekonomi, pengetahuan, minat dan lain sebagainya), setidaknya itu kata ahli yang pernah berkata.  Begitu pun yang menimpa Budi kiranya.

Bono pernah suatu waktu tidak bisa makan, bukan karena hambatan kemampuan biologisnya untuk mengunyah, melainkan karena faktor ekonomi keluarganya. Budi dengan senang hati memberikannya sedikit makanan. Meskipun Budi juga kekurangan panganan.  Namun, tiada masalah baginya berbagi sedikit kenyangnya. Mungkin itu yang di maksud persahabatan.

Hal yang paling diingat Budi, pernah suatu waktu bersama sahabatnya itu menjelajah aliran sungai bersama. Penjelajahan dimulai dengan memotong pohon pisang yang tumbuh tak bertuan. Guna diambil batangnya. Lalu dirajutnya hingga berbentuk sampan. 

Mereka pun bisa mengapung di atas sungai dan mengikuti alirannya secara bersama. Hingga akhirnya Budi dan Bono terdampar di suatu daerah perkampungan yang asing baginya. Sama seperti kehidupan asingnya yang kelak kemudian akan dialami nya.

Bulan-bulan telah berlalu. Begitu pun tahun-tahun. Budi merasa bosan bermain dengan Bono yang begitu-begitu saja. Tiada kemajuan. Hanya bermain permainan tradisional ala kadarnya. Paling tinggi, hanya bisa bermain Play Station. Namun itu pun itu pun di tempat persewaan. Setelahnya, apabila ketahuan, dipastikan orang tuanya akan kecewa. Pukulan pun biasanya akan mengenainya.  

Menjelang malam, Budi mendengar suara excavator dan truk meraung-raung silih berganti di samping desanya. Sudah bertahun-tahun terdengar suara itu sebenarnya. Akhirnya, keesokan paginya, karena penasaran Budi bergegas mendatangi pusat gemuruh tersebut. Ternyata, wilayah yang tadinya kampung telah disulap menjadi cluster mewah.

Budi seketika ingat, tempat itu ternyata perkampungan yang Budi dan Bono pernah terdampar akibat bermain rakit-rakitan di sungai sewaktu dahulu kala. “Wow, tempat yang tadinya kampung membosankan, kini telah menjadi modern mirip gambaran kota di film-film” begitu gumamnya yang berisi ketakjuban.

Tiada lama, seorang anak datang menemuinya, dengan penuh percaya diri memperkenalkan diri bahwa dia bernama Wahyu, dia mengatakan bahwa dia dari suatu kota besar dari baru tinggal di daerah tersebut. Budi yang merupakan anak kampung, sedikit gugup, memperkenalkan diri bahwa dia bernama Budi dan tinggal di kampung sebelah.

Setelah bercakap-cakap cukup panjang, terdengar suara langkah ibu-ibu yang datang menghampirinya, beliau berkata dengan suara lembut “Wahyu mari kita makan dulu, ibu sudah menyiapkan makan, ini teman baru mu ya? ayok sekalian adik kita makan bersama”. Budi sebenarnya gugup dan tidak ingin mengiyakan ajaknya, namun karena dipaksa akhirnya Budi mengiyakannya.

Wow, mewah sekali rumahnya. Ada PlayStation, lukisan-lukisan, beneran mirip di film-film” begitu gumamnya lagi yang kurang lebih sama saat pertama kali bergumam memasuki komplek cluster tersebut. Budi makan bersama, setelahnya bermain PlayStation bersama, dan melukis bersama. Senang sekali hari itu Budi hingga waktu seolah cepat berlalu. Hingga akhirnya ibu Wahyu mengatakan “Budi pulang dulu ya, besok main kesini lagi karena sudah menjelang maghrib”.

Budi mengiyakan, pulang dengan wajah senang karena memiliki teman baru yang memberikan pengalaman baru di hidupnya.

Setelah hari itu, Budi tidak pernah main ke rumah Bono lagi, toh ujung-ujungnya pasti main kelereng. Membosankan. Begitu gumamnya. Keesokan dan seterusnya, Budi selalu bermain ke rumah Wahyu. Bermain PlayStation bersama tanpa perlu sewa yang diiringi perasaan was-was diketahui oleh kedua orang tuanya. Budi senang, karena toh orang tua Wahyu selalu bersikap ramah setiap kali berkunjung ke sana.

Hingga suatu hari tiba, Budi mendengar suara sayup-sayup suara Wahyu dari ruangan sebelah “Ibu, itu Budi kenapa sih main kesini terus setiap harinya, ini kan jam untuk les musik Wahyu”, terdengar suara ibu-ibu menyahut “Wahyu gak boleh gitu, harus hormatin kalau teman datang ke rumah, itu adabnya”.

Tidak kuat mendengar lanjutan percakapan itu, Budi langsung berlari keluar rumah itu. Langsung mengambil dan mengayuh sepeda kecil usangnya.  Mengayuh dengan cepat keluar komplek mewah, yang disebutnya mirip di film-film itu.

Sampai di rumah, Budi langsung memasuki kamar mungilnya, air matanya tiba-tiba mengalir di pipinya, Wahyu yang dikira akan menjadi sahabat baik barunya ternyata diam-diam tidak menyukainya. Begitu menurutnya.

Mungkin yang dikatakan ahli sosial itu benar sebagaimana yang telah dijelaskan pada awal kalimat ini. Tidak cocok Budi anak kampung mencoba menjalin persahabatan dengan Wahyu yang merupakan anak orang kaya.

Budi ingin meluapkan pengalaman menyedihkan yang baru dialaminya tersebut. Namun, Budi bingung ingin bercerita kepada siapa. Ibu nya bukan tempat yang cocok untuk menampung cerita Budi. “Ya salah kamu, ngapain main sama orang kaya!”, begitu imajinasi jawabannya apabila Budi tetap nekat bercerita kepada ibunya.

Seketika Budi ingat Bono, teman yang sempat dilupakan dan diremehkannya itu.  Budi langsung mengusap air matanya dan kembali mengayuh sepeda usangnya untuk menuju rumah Bono.  Namun ternyata rumah itu sudah kosong.

Budi lantas bertanya kepada warga sekitar, mengapa rumah Bono saat ini kosong tak berpenghuni. Salah seorang warga menjawab bahwa Bono sudah pindah dari beberapa minggu lalu. 

Alasannya, karena orang tua Bono sudah tidak sanggup membayar biaya sewa yang kian mahal. Selain itu, pemiliknya juga berencana akan menjual rumah tersebut ke pengembang cluster di samping kampung tersebut sehingga tetap dibiarkan kosong tak berpenghuni.

Wajah sedih langsung kembali terlihat di raut wajahnya. Budi langsung mengayuh sepeda kunonya untuk kembali ke kamar mungilnya. Budi kembali menangis dan sesekali mengusap cucuran air mata di wajahnya. Sekarang, dia juga kehilangan sahabat baiknya, begitu pikirannya.

Belasan tahun telah berlalu.

Dan saat ini sudah zaman media sosial. Budi seketika teringat sekelumit kisah masa kecilnya itu. Iseng-iseng, Budi mengetik nama “Bono Parjono”. Nama lengkap sahabat kecilnya itu. Dan ternyata muncul foto yang familiar. Setelah di klik, dan ternyata benar itu wajah sahabat karibnya dulu.  

Budi melihat, bahwa orang tersebut banyak berfoto-foto di atas yacht dan kapal pesiar mewah. Sesekali ada foto di pelabuhan besar. Setelah mengklik biodata akun media sosial tersebut, terdapat informasi “Bekerja di Perusahaan Viking Cruise Line”.

Budi hanya tersenyum. Merenung sejenak. Lalu langsung menutup laptopnya tanpa coba menjalin kontak kembali dengan sahabat kecilnya itu.

Budi berkata dalam hati “Dulu kita berlayar bersama di sungai, saat ini kamu berlayar di luas nya samudera-samudera. Kerasnya dunia ini mungkin telah membuat kita lebih baik saat ini, Bon. Tetap semangat bekerja. Gapai cita-citamu seperti yang dulu kamu cerita. Aku tidak ingin mengganggu mu untuk itu. Aku dulu mungkin berharga buat mu. Namun saat ini aku bukan siapa-siapa di kehidupanmu”.

Budi yang saat ini sedang menempuh pendidikan lanjutan di negeri seberang sana, hanya bisa tersenyum, lalu tertidur lelap di malam itu dengan raut muka cerah dan bahagia, sesekali tersenyum karena mengingat sekelumit kisahnya dengan Bono waktu kecil dahulu.