Selalu ada alasan mengapa ide liberalisme masih harus dan perlu kita ulas.

Tulisan yang dilayangkan oleh Arlandy Ghiffari berjudul Mempertanyakan Liberalisme: Catatan Kecil untuk Maman Suratman kiranya patut untuk saya beri respons kembali. Ketika saya berargumen bahwa hampir tak ada celah yang saya temukan untuk menentang liberalisme, yang mungkin baginya menampakkan saya sebagai penganut taat yang tidak kritis, dia justru berbicara sebaliknya: celah itu masih ada.

Sebagai tanggapan atas Mengapa Liberalisme?, Arlandy berusaha membeberkan beberapa celah yang memang saya tidak temukan dalam ide liberalisme. 

Beberapa celah yang dimaksud, di antaranya: (1) keniscayaan kompetisi dalam liberalisme yang tampak hanya dimonopoli orang-orang tertentu, terutama mereka-mereka yang punya modal besar; (2) konsep kesetaraan hukum, yang baginya sebagai akibat dari berkuasanya pemodal besar, terus-menerus termanipulasi hingga membuatnya terlihat semu; (3) pun pada konsep kesejahteraan sosial dalam sistem ekonomi pasar bebas; dan (4) penjajahan masih terus terjadi dalam rupa yang berwarna ragam.

Pertama, saya pun mengakui betul bahwa keempat fakta di atas masih sangat membumi dalam realitas masyarakat kita. Bahkan bisa dikatakan, fakta-fakta tersebut seolah telah menjadi darah dalam daging yang justru membuatnya makin sukar saja untuk kita lakukan upaya penanganan atasnya.

Kedua, saya harus berterima kasih untuk catatan kecil dari Arlandy. Karenanya, saya punya alasan memadai mengapa saya harus berbicara lagi tentang ide-ide liberalisme secara lebih lanjut.

***

Sebagai tanggapan balik, kesan pertama yang mungkin saja akan ternilai dari tulisan ini adalah bahwa ini sebatas bentuk “apologia” semata. 

Ya, setiap pembelaan akan tampak seperti itu. Hanya saja, ketika sebelumnya saya menulis tanpa sikap kritis yang memadai, tetapi kali ini saya akan mengedepankan sikap intelektual tersebut yang khusus saya tujukan kepada tanggapan Arlandy atas tulisan saya sebelumnya.

Tentang keniscayaan kompetisi dalam masyarakat bebas, saya memang menguraikannya bahwa kompetisi harus berwujud ke dalam bentuk sikap saling dewasa-mendewasakan, bebas-membebaskan, dan maju-memajukan. Akan tetapi, ketika melihat fakta-fakta yang ada, tak ada bentuk sikap yang tampak seperti itu. Yang ada justru sikap saling kerdil-mengerdilkan, jajah-menjajah, dan tumpul-menumpulkan.

Pertanyaannya, sedemikian itukah kompetisi dalam ide liberalisme sebagaimana ditampakkan oleh Arlandy? Sungguh, kompetisi yang bebas bukanlah kompetisi semodel hukum rimba: siapa kuat dia menang. Penilaian tinggi semacam ini hanya mungkin bisa kita temukan ketika mengulas lebih jauh tentang apa sebenarnya “kebebasan” itu.

Konsep Kebebasan

Banyak pemikir telah mengurai bahwa kebebasan hampir semodel dengan ketidakbebasan sebagai lawan sekaligus ide yang hendak diruntuhkan oleh ide liberalisme. Salah satunya bisa kita baca dari pemikiran Isaiah Berlin dalam bukunya berjudul Four Essays on Liberty (Empat Esai Kebebasan).

Melalui bab “Two-Concepts on Liberty”, Berlin secara terang menggambarkan adanya dua konsep kebebasan yang pada faktanya masih sering tersalah-artikan. Dua konsep tersebut adalah “Kebebasan Positif” (Positive Liberty atau Freedom To) dan “Kebebasan Negatif” (Negative Liberty atau Freedom From).

Dua konsep kebebasan ini berurat-akar dari dasar berpikir filsuf-filsuf kebebasan, seperti Thomas Hobbes dan John Locke. Meski sama-sama berangkat dari kondisi alami manusia, secara praktik, konsep kebebasan keduanya justru punya perbedaan yang sangat signifikan (Saidiman Ahmad, Apa Itu Kebebasan?).

Bagi Hobbes, kondisi alami manusia adalah kondisi konflik dan perpecahan. “Perang semua malawan semua” adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi tersebut. 

Guna meredam praktik “perang semua melawan semua”, Hobbes lalu memberi tawaran bahwa orang-orang harus membentuk kontrak sosial. Tiap individu menyerahkan kebebasannya untuk diatur. Penguasa atau pemerintah (negara) tak jauh beda dengan “Sang Leviathan”—sejenis monster atau raksasa laut dalam mitologi klasik.

Secara terbalik, bagi Locke, kondisi alami manusia justru adalah kondisi yang damai tanpa perpecahan. Tiap individu bebas dan saling membebaskan. Hanya saja, ketakutan akan munculnya nuansa ketidakbebasan menjadi isyarat untuk dimungkinkannya sebuah kontrak sosial sebagaimana juga dalam pandangan Hobbes.

Meski tiap orang juga menyerahkan hak-haknya kepada negara, tetapi dalam kontrak sosial ala Locke, ada tiga hak yang boleh tiap individu tak serahkan, atau tak boleh dirampas oleh negara, yakni hak hidup, kebebasan, dan hak milik. Kondisi semacam inilah yang meniscayakan bahwa peran pemerintah sebatas sebagai “penjaga malam” saja.

Dilihat dari dua dasar berpikir di atas, tampak bahwa kebebasan ala Hobbes adalah kebebasan positif. Dengan dalih kebebasan, penguasa dimungkinkan untuk melakukan tindak semena-mena. 

Penguasa punya kebebasan absolut di mana warga negara hanya harus tunduk dan patuh demi menjaga perang semua melawan semua. Dan ini bukanlah kondisi kebebasan, melainkan sebaliknya: ketidakbebasan, penjajahan, atau penindasan.

Sedang pada konsep kebebasan ala Locke, tampak bahwa inilah kondisi kebebasan yang dicita-citakan dalam ide liberalisme. Peran pemerintah hanya dimungkinkan untuk menjaga kebebasan individu, hak hidup, dan hak miliknya. Di luar itu, sama sekali tak diperbolehkan. Sebab berlaku demikian hanya akan tampak sebagai intervensi yang melanggar kebebasan itu sendiri.

Dengan demikian, kiranya jelas bahwa kompetisi dalam ide liberalisme tidaklah serupa kompetisi yang hari ini marak berlaku. Apa yang hari ini terjadi adalah apa yang bisa kita sebut sebagai praktik ketidakbebasan, penjajahan, atau penindasan. Kompetisi yang demikian tidaklah berangkat dari ide-ide liberalisme sebagaimana Arlandy yakini dalam tulisannya.

Kondisi Kebebasan

Saya tak bisa mungkiri bahwa ketidakmampuan orang-orang membedakan mana kondisi kebebasan dan mana kondisi ketidakbebasan membuat tak sedikit dari mereka untuk menghindari peneguhan kebutuhan alami, yang justru lebih tinggi dari sekadar roti dan air ini.

Penyebab lain, tentu saja, adalah kurangnya minat baca, perhatian besar kepada sejumlah literatur yang ada, juga mungkin keliru dalam memaknai nilai dari ide liberalisme itu sendiri. Sehingga tak jarang orang cenderung acuh tak acuh dan menempatkan ide liberalisme sebagai ide yang tak ubahnya serupa hantu dan momok yang harus orang-orang lawan.

Saya tidak bermaksud untuk menyalahkan sepenuhnya pandangan Arlandy. Saya hanya ingin berkata bahwa tingkat pendidikan jelas sangat menentukan bagaimana seseorang memandang ide liberalisme seperti kondisi kebebasan yang meniscayakan adanya kebebasan individu.

Padahal, jika mampu menilik sejumlah literatur yang tepat, salah satunya yang ditelurkan oleh Isaiah Berlin, akan tampak bahwa kebebasan merupakan fitrah yang senantiasa harus orang perjuangkan demi kelangsungan hidupnya.

Terlepas dari kondisi ketidakbebasan yang hari ini masih membumi sebagai suatu fakta sejarah yang konkret, seperti kurangnya jiwa kesetaraan dalam hukum, tidak meratanya keadilan sosial dalam perekonomian, dan masih maraknya bentuk-bentuk penjajahan dan penindasan, ide dasar yang sebelumnya saya suguhkan hanyalah kondisi kebebasan saja. 

Toh saya tidak pernah menilai bahwa alam kehidupan yang kini kita geluti ini adalah alam yang bersumber dari kebebasan. Justru sebaliknya, dilihat dari kondisi yang ada, kita masih hidup dalam ruang-ruang ketidakbebasan.

Guna mendapat kejelasan komprehensif dari kondisi kebebasan yang saya maksud, karya Eugene F. Milner berjudul Kondisi Kebebasan: Liberalisme Klasik F.A. Hayek kiranya patut saya rekomendasikan sebagai rujukan utama. Karya ini merupakan sebuah pengantar ke alam pemikiran liberal. Dasar-dasar yang disuguhkan di dalamnya menjadi fondasi dasar bagi filsafat politik abad 21.

Sekali lagi, apa yang saya tulis dalam Mengapa Liberalisme? hanyalah berupa kondisi atau beberapa prasyarat kebebasan belaka. Terwujud atau tidaknya kondisi atau prasyarat tersebut adalah ukuran bagi kondisi kebebasan yang saya maksud sebelumnya.