Kengerian Wabah Sebelum Ilmu Kedokteran Modern
Wabah bukan kisah baru. Ia menjadi salah satu musuh terbesar kemanusiaan dalam sejarah, selain kelaparan dan kekerasan. Revolusi pertanian sejak sekitar 8000 SM membawa umat manusia dalam babak baru: pemukiman, pertumbuhan populasi, dan kota-kota sibuk. Melahirkan armada patogen dan arus penyakit menular.
Salah satu yang paling mengerikan adalah Maut Hitam yang menyapu dunia pada abad 14. Pandemi ini merenggut seperempat lebih populasi Eurasia. Diperkirakan hingga 200 jiwa tewas. Setara 75% populasi Indonesia. Di penjuru Prancis saat itu, misalnya, ribuan mayat dikubur secara massal tiap minggu. Upaya yang dilakukan pejabat dan pemuka agama tak sanggup menahan laju Sang Maut.
Namun, tak ada yang baru di kolong langit. Harus ada yang disalahkan. Penyebab malapetaka. Pasti ini adalah azab Tuhan atas dosa manusia. Siapa manusia di sini? Mereka yang begitu yakin bisa membaca pikiran-Nya selalu tidak pernah menuding diri dan kelompoknya sendiri sebagai sumber azab.
Di abad itu, komunitas Yahudi, orang asing, orang miskin penderita kusta dan penyakit kulit dituding sebagai sumber azab. Hasilnya? Mereka dibunuhi. Dibakar secara publik. Salah satunya pembantaian Strasbourg yang memilukan itu.
Menghadapi gempuran wabah menjadikan bangsa Eropa punya imunitas lebih baik. Ketika era penjelajahan dimulai, mereka tidak hanya membawa maut lewat bedil, tetapi juga beragam penyakit mematikan. Virus cacar, flu, tuberkolosis, tipus, dan penyakit menular lainnya menyebar dalam skala luas.
Di awal abad 20 pun, umat manusia masih belum berkutik melawan wabah. Pandemik Flu Spanyol tahun 1918 menyapu hampir 100 juta orang di seluruh dunia hanya dalam satu tahun. Lebih besar dari korban Perang Dunia 1 yang dalam kurun 4 tahun membunuh sekitar 40 juta orang lewat kombinasi pertempuran besar artileri dan infanteri.
Sampai ke abad 21, kita dicekam oleh berbagai wabah baru: SARS, flu burung, flu babi, Ebola, dan Covid-19 yang terbaru. Dengan kepadatan populasi dan tingginya mobilitas manusia di abad kita hidup, harusnya kita akan merasakan kematian yang lebih mengerikan dari Maut Hitam 7 abad lampau. Namun, ternyata tidak.
Dengan kata lain, masa kita hidup saat ini cenderung lebih aman dan nyaman dibandingkan kehidupan generasi-generasi terdahulu sebelum berkembangnya kedokteran modern. Dan kondisi yang kita nikmati ini tidak tiba-tiba ada. Sungguh kita berhutang tak terkira kepada mereka yang menempuh jalan terjal ilmu pengetahuan.
Jika hidup di abad 19, misalnya, sangat besar kemungkinan kita dan orang yang kita cintai terserang penyakit mematikan menular di atas. Tidak banyak opsi yang bisa dilakukan untuk mengakhiri penderitaan tak terperikan itu. Selain mengutuk setan, iblis, atau manusia lain. Atau memohon kepada berbagai macam tuhan dan dewa yang dipercayai masing-masing.
Namun, wabah tidak pernah peduli siapa kita atau tuhan mana yang kita percayai. Wabah tidak peduli apakah kita percaya dengan kehadirannya atau tidak. Ia dingin seperti kekuatan yang menarik benda-benda. Sama jika Anda melompat tanpa parasut dari pesawat, tidak peduli apa pun itu, hampir sangat pasti Anda akan selalu jatuh dan mati.
Vaksin: Salah Satu Penemuan Terbaik Umat Manusia
Saat menelusuri sejarah wabah, kita akan mendapati betapa vaksin merupakan salah satu penemuan terbaik umat manusia. Ia sudah berhasil menyelamatkan banyak nyawa di berbagai belahan dunia dari penyakit-penyakit mematikan. Vaksin merupakan upaya kolektif para ilmuwan yang berlangsung perlahan dan menyakitkan.
Inilah mereka yang mendermakan hidupnya untuk memahami apa itu penyakit, mengapa makhluk hidup sakit, dan solusi andal apa yang bisa dilakukan untuk menghadapinya. Inilah mereka yang telah membuktikan bahwa ilmu pengetahuan sejauh ini merupakan solusi yang paling bisa diandalkan. Mereka yang memunggunginya tidak menyelamatkan apa pun.
Vaksinasi mulanya merupakan respons akan pandemi cacar, yakni penyakit menular paling mematikan dan mengerikan sepanjang sejarah. Sebelum deklarasi kemenangan pada tahun 1980, cacar sudah mengirim sekitar 500 juta orang ke alam baka. Jumlah ini lebih besar dari gabungan korban pandemi Maut Hitam dan perang abad 20.
Salah satu upaya terbaik datang dari ilmuwan besar dunia abad 9 bernama Muhammad ibn Zakariya ar-Razi. Dikenal di dunia barat sebagai Rhazes, saintis Iran ini menjadi yang pertama memberikan analisis cemerlang perihal cacar. Di salah satu karya besarnya, Kitab fi al-jadari wa-al-hasbah, ar-Razi berhasil menguraikan virus cacar serta perbedaannya dengan campak (measles) dan cacar air (chickenpox).
Sedangkan untuk penanganan cacar, praktik yang disebut inokulasi dikembangkan bangsa Tiongkok dan Turki di Abad Pertengahan. Di sini, manusia mulai menemukan bahwa seseorang dapat bertahan terhadap virus cacar mematikan jika tubuhnya sebelumnya punya pengalaman menghadapi versi ringan virusnya.
Dalam inokulasi, seseorang sengaja diinfeksi dengan potongan atau cairan dari lepuhan kulit penderita cacar. Sampel virus itu diinjeksi ke sayatan yang dibuat di kulit pasien. Selang beberapa hari, pasien akan menunjukkan tanda-tanda penyakit, tetapi lebih ringan daripada jika terkena cacar asli.
Setelah simptom menghilang, ia memiliki kekebalan terhadap virus cacar seperti dugaan. Inokulasi diperkenalkan dari Turki ke Inggris, yang kemudian meluas di AS dan Eropa, pada awal abad 18 saat epidemi cacar melanda negeri itu. Namun, kelemahan metode ini adalah virus dapat menyebar ke sekitar setelah proses inokulasi.
Di tahun 1770, karena hal tersebut, orang-orang mulai menduga bahwa imunitas terhadap cacar dapat diperoleh lebih aman dengan menginjeksikan virus sejenis yang lebih rendah tingkat penularannya, yakni cacar sapi (cowpox). Adalah pengetahuan umum saat itu bahwa wanita pemerah sapi di pedesaan Inggris abad 18 kebal cacar karena sebelumnya mereka pernah terjangkit cacar sapi.
Doktor dan saintis Inggris Edward Jenner (1749-1823) mendemonstrasikan bahwa cara tersebut memang efektif dan lebih aman. Untuk itu, ia menginjeksi nanah dari kulit pemerah sapi ke bocah umur 8 tahun ke sayatan di lengannya.
Si bocah kemudian mengalami demam ringan dan lepuhan kecil muncul di kulitnya. Namun, ia berangsur membaik dan lepuhannya hilang. Untuk menguji bahwa si bocah kini punya imunitas terhadap cacar, Jenner menginjeksinya dengan cairan cacar 2 bulan kemudian. Dan benar bahwa ia tidak terinfeksi.
Jenner lalu menyebut prosedur ini sebagai vaksinasi, yang diambil dari kata vacca (bahasa Latin untuk sapi). Setelah berhasil mengujinya ke beberapa orang lain dan anaknya sendiri, metode ini mulai diterima luas di semua kelas sosial. Vaksin Jenner sendiri berhasil memangkas setengah angka kematian nasional karena cacar di Inggris dalam kurun 1810-1820.
Munculnya Gerakan Anti Vaksin
Mengingat gentingnya epidemi cacar di Inggris dan terbuktinya vaksin Jenner sebagai solusi paling andal, pemerintah mengeluarkan hukum perihal program wajib vaksinasi di tahun 1853. Di tahun 1867, peraturan yang lebih ketat dibuat.
Petugas medis akan memperingatkan orang tua yang anaknya tidak memiliki sertifikat vaksin hingga usia 14 tahun. Jika diabaikan, meja hukum dan denda menanti. Jika menolak, harta benda akan disita dan dijual di pelelangan publik. Hal ini memicu munculnya gerakan anti vaksin pertama di dunia.
Sebagian besar gerakan anti vaksin di era sekarang pun tidak jauh beda dari leluhurnya ini, dalam hal klaim dan strategi. Pertama, memproduksi klaim bombastis tak berdasar. Para aktivis anti vaksin Inggris saat itu mendeklarasikan vaksin Jenner mengandung bisa ular, darah dan kotoran kelelawar, serta dapat mengubah bayi menjadi monster cacat berkepala naga atau sapi.
Kedua, menyebarkan ketakutan untuk menolak vaksin. Selain demo jalanan dengan mencemooh Jenner sebagai penyihir atau pemuja iblis, strategi lain adalah memproduksi banyak poster dan pamflet untuk melakukan propaganda luas akan kengerian vaksinasi. Sekarang tentu lebih masif dengan adanya WA.
Ketiga, menolak fakta efektivitas solusi sains. Vaksin Jenner sudah terbukti memangkas angka kematian karena cacar secara signifikan. Di tahun 1860, sains melahirkan teori kuman penyakit yang menjelaskan mengapa infeksi dengan virus cacar sapi dapat melindungi manusia melawan cacar.
Ini juga dikuatkan oleh temuan ahli zoologi dan imunologi Rusia, Ilya Mechikov, terkait sel darah putih fagosit dan fungsi pentingnya dalam sistem kekebalan manusia. Namun, mengarang cerita bombastis tentu lebih gampang daripada menghabiskan waktu untuk ilmu pengetahuan.
Di tahun 1890-an, sudah muncul ratusan kelompok anti vaksin di Inggris dan Wales. Di tahun 1898, pemerintah Inggris menarik peraturan perihal kewajiban vaksin dan denda yang menyertainya. Setelahnya, tingkat vaksinasi pada bayi anjlok hingga 20-50% di berbagai wilayah Inggris Raya. Akibatnya, pageblug cacar kembali menjadi epidemi di 1902-03 dengan tingkat kematian tinggi.
Di Inggris, gerakan awal anti vaksin berpijak pada isu penolakan terhadap sains. Sementara itu, pada rentang periode yang sama, di AS isu perdebatan berpijak pada isu kebebasan individu versus aturan negara. Namun, penolakan vaksin sebagai hak individu tidak berpengaruh pada fakta bahwa kewajiban vaksin menyelamatkan banyak nyawa pada epidemi cacar di Boston 1902-03.
Vaksin cacar Jenner di akhir abad 18 menjadi pijakan besar bagi berkembangnya vaksin untuk berbagai penyakit menular lainnya. Hampir seratus tahun setelahnya, ilmuwan Perancis Louis Pasteur menciptakan vaksin untuk rabies dan antraks. Vaksin lainnya harus menunggu hingga abad 20 untuk dikembangkan ketika bidang sains imunologi mekar.
Penutup
Gerakan anti vaksin yang bermula sebagai penolakan terhadap vaksinasi cacar nantinya berkembang menjadi gerakan menolak semua jenis vaksin. Dapat dipahami bahwa awalnya hal ini digerakkan karena ketakutan akan kengerian metode inokulasi dari lengan ke lengan. Namun, kita semua memang bukan Isa Al Masih yang bisa menyembuhkan penyakit tanpa risiko dan efek samping.
Dunia sangat kompleks dan tidak menyajikan sesuatu yang bebas risiko atau kemungkinan gagal. Oleh karenanya, kita membutuhkan pemahaman dan penguasaan terhadap cara kerja sesuatu dan kompleksitasnya untuk menekan kepastian risiko kegagalan dan meningkatkan kepastian berulangnya keberhasilan. Inilah yang disebut ilmu pengetahuan.
Lalu, fakta bahwa pilot berpengalaman ternyata masih menjatuhkan pesawat akan sangat bodoh jika disimpulkan bahwa artinya siapa saja dan cara apa saja boleh dipercaya untuk menerbangkan pesawatnya. Ini berarti bahwa yang menguasai ilmu dan berpengalaman di bidang tertentu saja tidak akan pernah dapat menekan risiko kegagalan hingga nol, apalagi yang tidak menguasai ilmu di bidang itu.
Dibandingkan abad 18, kini kita tidak diperlu menerima sayatan di lengan dan berhadapan dengan risiko bekas luka atau penularan penyakit lain lewat transmisi darah selama proses inokulasi. Prosedur keamanan vaksinasi di masa kita hidup sudah berkembang teramat pesat.
Namun, ingat bahwa melawan sesuatu sekompleks penyakit menular, vaksin dan berbagai tindakan lain berbasis ilmu pengetahun tidak dapat membuat kita bebas risiko hingga nol. Hanya sedekat mungkin dengan nol.
Bagaimanapun, itu adalah pilihan terbaik karena cara lain berbasis dugaan, kepercayaan, dan kebodohan akan menghasilkan risiko bahaya dan kekalahan yang jauh lebih besar.
Di era kedokteran modern saat ini, bagaimana dan mengapa gerakan anti vaksin masih bermunculan akan dibahas selanjutnya. Hal ini akan berkaitan dengan paradoks kekayaan informasi malah berujung pada kemiskinan pemahaman, ilusi pengetahuan, dan serangan terhadap kepakaran.
Nb: Tulisan ini dibuat sebagai refleksi atas sumber bacaan di bawah.
Alexander, R.B. 2018. Science Under Attack: The Age of Unreason. New York: Algora Publishing.
Diamond, J.M. 2005. Guns, Germs, and Steel: The Fates of Human Societies. New York: Norton.
Durbach, N. 2004. Bodily Matters: The Anti-Vaccination Movement in England, 1853—1907. Durham, NC: Duke University Press.
Harari, Y.N. 2015. Sapiens: A Brief History of Humankind. New York: Harper.
Matthew, S.R. & Cliff, A. 2012. Atlas of Epidemic Britain: A Twentieth Century Picture. Oxford: Oxford University Press.
Nichols, T. 2017. The Death of Expertise: The Campaign againts Established Knowledge and Why It Matters. Oxford: Oxford University Press.