“Mbok, aku sesuk balik Jakarta,” sambil mengambil sepotong ayam goreng buatan simboknya, Sastro berucap. Ia terlihat lahap menyatap makanan khas masakan simboknya. Ia lalu duduk menghadap selatan, ke arah perbukitan yang masih tegar seperti dulu, saat ia masih kanak-kanak. Dulu ia dan teman-temannya sering main layangan di sana. Bersama si Dalijo yang sering nangis, Si Marto yang kerap urik, si Jamali yang selalu berwajah muram. Hingga kini ia masih teringat akan kenangan-kenangan manis di masa itu.
“Lha arep numpak apa?" Simboknya menayakan dengan nada datar, sambil membenarkan kayu bakar yang hampir habis dipakai memasak.
“Mbuh sesuk, wong yo rung pesen tiket,” jawab Sastro sambil menggigit ayam goreng yang terlihat agak alot.
“Mbok gek pesen, selak kentek’an, mengko malah raisa leren yen telat,” Simbok memberi pengarahan.
Sastro diam. Sambil mengunyah dia menatap kosong ke pohon-pohon pinus yang melambai-lambai termainkan tiupan angin. Pohon-pohon pinus itu selalu hijau sedari dulu. Ia ingat, saat dirinya masih duduk di bangku SD, begitu pulang dari sekolah ia ditugasi angon sapi. Sekitar jam dua siang, saat orangtuanya mengingatkan, wis wayahe cah icul, ia langsung membuka kandang sapi, angon dan berbaur dengan teman-temannya. Ia tak pernah mengeluh meski belum sempat istirahat sepulang sekolah yang melelahkan.
Angon adalah kehidupan khas bocah dusun waktu itu. Namun bocah-bocah sekarang tak memiliki pengalaman yang sama. Kini pangonan itu telah sirna, berganti hutan lindung. Kemarin, sewaktu ia berjalan sore ke tampat di mana dulu ia biasa mengangon, semua sudah berubah. Belik itu sudah hilang, pohon duwet di atas belik juga sudah tumbang. Yang tersisa hanya belukar.
Jejak-jejak gembira masa kanak-kanak seolah terhapus oleh belukar liar itu. Dan juga batu, tempat beristirahat yang selalu menjadi rebutan di antara kawan-kawannya, sudah dipecah-pecah, dijual untuk kesenangan orang-orang, entah siapa. Memang hanya sebuah batu. Kotor dan tidak menarik. Namun dari dan di batu itu terlukis kisah-kisah riang gembira kanak-kanak semasa dahulu.
“Aja, ngalamun, Lhe! Sastro tersentak dari alam lamunannya. Kebingungan tetiba menyergapnya. Uangnya telah habis. Gaji bulan ini dan THR telah ludes untuk membeli Ipad, kamera dijital, jaket, baju, celana dan juga untuk membayar cicilan motor miliknya. Juga untuk membeli oleh-oleh, supaya kepulanganya di lebaran ini menjadikan kenangan tersendiri bagi orangtuanya.
Semula ia merasa berat untuk pulang ke kampung halamannya. Gaji dan THR yang diterimanya tidaklah besar. Selain itu, kebutuhan anak muda metropolitan, seperti yang dirasakannya, seolah terus saja meningkat.
Namun ia juga ingin orangtuanya bangga. Ia ingin orangtuanya punya cerita untuk dibagikan pada para tetangga. Bahwa anaknya yang telah bekerja di kota, kini pulang membawa oleh-oleh. Ia ingin seperti kawan-kawannya yang lain yang memberikan cerita-cerita semacam itu bagi orangtua mereka.
“Eh, hapemu muni tro, kae lho!” Embahnya tergopoh memanggilnya. Masih memegang piring, Sastro berlari-lari mencari henponnya.
“Pie ana apa?”
”Sida bali sesuk ra?”
“Iyolah, aku balik sesuk, lha pie melu apa?”
“Aku sidane melu Gajah Mungkur,” jawab suara dalam telepon itu.
“Pira tiket Gajah Mungkur?”
“Jik larang 200. Pie, bareng ya?”
Sastro diam, kemudian ia menjawab. “Iyo, aku bareng koe, sisan pesenke tiket yo!”
“Oke, Bro.”
Demikian akhir dari percakapan itu.
Sastro kembali pada makanannya yang belum habis. Sambil mengunyah Sastro berpikir, bagaimana ia akan balik ke Jakarta sementara uang di dompetnya habis, tinggal lima belas ribu saja. Mana cukup! Ia bingung, mau ngutang temannya, dia ga enak. Hutang bulan lalu saja belum ia bereskan. Dia kemudian menoleh ke arah ruang tamu. Ada tape recorder yang ia beli, sebagai oleh-oleh untuk bapaknya. Ia ingin bapaknya bangga dengan kesuksesannya di kota. Televisi di rumah orangtuanya juga baru saja ia beli, yang lama sudah rusak.
Sampai sore, Sastro tenggelam dalam kegundahan dan kegelisahan. Ia semakin bingung dengan waktu yang terus bergulir. BBM dari kawannya menerangkan bahwa tiket telah dipesan. Tdak dibayar lunas karena penjual tiket adalah kawan lamanya juga. Kebingungannya adalah, akan ia beli dengan apa tiket itu esok pagi?
Padahal ia tahu, simboknya telah sibuk menyiapkan bekal untuk kepulangannya esok. Ayam jago yang gagah itu telah dikurung, besok pagi akan dipotong untuk bekal perjalannanya kembali ke Jakarta. Mau menjual BB dia malu, mau menjual tape itu juga gengsi. Bingung melandanya.
Lantas ia menyesal telah membelanjakan hampir separuh uangnya untuk barang-barang yang sejatinya tak dia perlukan. Ia hanya ingin terlihat sukses, terlihat berhasil dan sejajar dengan rekan-rekannya sesama perantau. Sebenarnya ia sadar, bahwa itu akan memberatkannya di hari mendatang. Namun gengsinya telah mengalahkan akal sehatnya.
Teringat juga saat awal kedatanganya ke desa, ia dikerumuni sebagian besar kawan-kawan masa kecilnya dahulu.
Simbok baru saja pulang dari warung desa, ia menenteng bahan-bahan makanan untuk dimasaknya besok pagi. Sastro masih diam. Ia tak menjawab ketika simbok menyapanya. Hingga simboknya bergegas ke pawon dan menyiapkan tungku dengan kayu untuk memasak menu malam hari. Suasana semakin gelap, malam sepertinya akan segera menancapkan kuku-kuku gelapnya. Sastro masih diam. Masih juga belum mandi.
“Mbok, duitku entek, aku sesuk utang weduse sik ya, wulan ngarep tak kirimi, takijoli!” Sastro melontarkan permohonan ke simboknya. Diam, suasana hening. Simboknya tak langsung menjawab. Naluri seorang ibu bisa menangkap gelagat dan bahasa tubuh dari anaknya. Hanya, simboknya tak mau mengusik dengan memulai menanyakan keberadaanya.
“Anu Mbok, yen raoleh youwis, aku tak nyilih Jamali sik. Paling jik duwe serek dekne.”
Sastro melanjutkan kata-katanya, demi melihat simboknya yang membisu. Dia merasa malu, isin. Merasa gagal membuat simboknya senang dengan keberhasilannya di perantauan. Ia menyesali kegagalannya mengelola keuangan. Kegagalannya mengalahkan hasrat dan gengsinya demi dianggap berhasil tanpa berpikir lebih jauh. Benar-benar ia malu dan bingung.
“Yo rapapa, weduse sing lanang kae wis payu, wis isa nggo sangu. Ngko tak sms kang Supar ben dibayar. Sesuk kan kliwon, ana pasaran wedus nggon pasar Kecamatan.” Demikian jawab simboknya. Jawaban yang sungguh membuatnya bersemangat kembali. Ingin Sastro menghambur ke dalam pelukannya. Namun ia sadar itu bukan budayanya. Itu bukan kebiasaanya. Ia mengekspresikan rasa senangnya dalam kedataran sikap dan tindakannya sendiri.
Sastro beranjak dari duduknya, lantas ia mengambil handuk putih berlogo sebuah klub sepakbola terkenal dari Eropa. Ia ingat, handuk itu dibelinya sebelum ia pulang kampung. Harganyapun ia masih ingat, seratus delapan puluh lima ribu. Harga yang fantastis untuk ukuran warga desanya. Saat itu juga ia mandi dengan semangat baru, dengan kesadaran baru.
Malam itu, seperti malam-malam yang lalu, ia dolan dan kongkow-kongkow bersama teman-temannya di perempatan desa. Ia ingin habiskan malam terkahir di kampung dengan sukacita. Ia tak membiarkan seorangpun mengetahui soal kesulitannya. Bahwa untuk kembali ke Jakarta, ia meminta ongkos dari ibunya. Bahwa untuk memenuhi kebutuhannya, Simbok menjual wedus yang ia janjikan akan digantinya saat gajian bulan depan. Ia berpesan pada simboknya agar membujuk Kang Supar untuk merahasiahkan perihal yang memalukan ini.
Dini hari, Sastro pulang. Lantas tidur di depan televisi seperti kebiasaanya sebelum merantau ke Jakarta. Ia memandangi langit-langit kamar. Masih seperti dulu. Kemudian ia terlelap. Mungkin dalam tidurnya ia sudah mendapat gaji, kemudian mengirimkan uangnya untuk mengganti kambing yang telah dijual. Lalu, untuk hidup bulan itu, haruskah ngutang lagi?
Ah, tidak tahulah. Itu urusan Sastro.