Pelaksanaan hari raya iduladha 1440 hijriah, bagi kami orang Madura, adalah momen lebaran yang tidak kalah jauh ramainya ketimbang lebaran idulfitri.

Bahagia rasanya jika berkumpul bersama keluarga besar, keluarga yang jauh mendekat dan keluarga yang dekat makin melekat. Sanak saudara yang merantau ke luar pulau akan datang ke pulau Madura untuk merayakan moment kebersamaan untuk satu hari ini.

Saya sebagai perempuan suku Madura yang ikut merantau ke luar pulau Madura turut serta pulang ke kampung halaman. Tujuannya hanya satu, yaitu untuk menikmati momen kebersamaan bersama keluarga besar.

Bahagia tak terkira rasanya jika berkumpul bersama keluarga besar. Akan tetapi, momen spesial itu seakan-akan berubah manakala salah satu dari pihak keluarga ada yang bertanya, “Kamu kapan menikah?”

Pertanyaan itu menjadi semacam paku berkarat yang ditancapkan tepat di dahi. Membuat suasana kebersamaan yang penuh dengan tawa bahagia seketika berubah menjadi bisu dan bahkan dengan linangan air mata.

Ya, saya sudah mengalami hal yang demikian. Sedih rasanya, tapi bagaimana lagi? Lebaran tetap berjalan dan tidak akan berhenti hanya karena satu pertanyaan yang tak enak untuk dijawab.

Tulisan ini ingin mendeskripsikan pengalaman penulis menjadi perempuan Madura dengan stigma dan label yang melekat sebagai perempuan yang memilih untuk tidak menikah. Karena ini adalah pengalaman, tulisan ini lebih bersifat subjektif penulis dan tidak mengeneralisasi bahwa semua perempuan Madura yang tidak menikah memiliki pengalaman serupa.

Stigma yang Melekat 

Ketika perempuan berusia di atas 30 tahun, masyarakat di kampung, baik keluarga, tetangga, maupun teman sepermainan, beranggapan bahwa saya sudah cukup. Cukup memiliki makna universal, yaitu cukup umur, cukup pikiran, cukup pengalaman, cukup dewasa, cukup menjadi bagian dari masyarakat, cukup untuk hidup bersama, dan lain sebagainya.

Karena anggapan umum seperti itu, maka ketika yang bersangkutan berbeda secara sosial dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat, maka di situlah kemudian lahir bibit-bibit stigma dan labeling yang melekat pada diri perempuan Madura.

Ironisnya, labeling dan stigma berikut hanya dilekatkan kepada perempuan dan tidak kepada laki-laki. Di sini kemudian melahirkan ketidakdilan sosial yang melekat pada anggota masyarakat. Adapun stigma dan labeling tersebut, antara lain:

Tak Pajuh Lakeh (tidak laku)

Kata ini memiliki makna bahwa perempuan yang bersangkutan tidak laku. Kata laku dan tidak laku sama halnya menganalogikan seorang perempuan seperti sebuah barang yang bisa diperdagangkan. Sehingga jika barang tersebut tidak laku, dalam arti sang perempuan belum menikah, maka dicap sebagai perempuan tidak laku.

Sebaliknya, jika perempuan laku atau sudah menikah, maka dia dicap telah laris manis. Adanya pengkategorian sosial yang demikian inilah yang membuat perempuan termarginalisasi secara sosial.

Paraben Toah (perawan tua)

Label ini dilekatkan kepada perempuan yang dianggap secara sosial telah tua. Tua memiliki makna bahwa perempuan yang bersangkutan sudah tidak lagi muda. Kategorisasi tua dan muda, bagi perempuan Madura, ada karena di kampung saya mayoritas perempuan menikah di bawah usia 20 tahun.

Usia tersebut termasuk dalam kategori muda, sedangkan usia di atas 20 tahun dianggap sebagai usia dewasa yang cukup untuk menikah, dan usia di atas 30 tahun dianggap sebagai usia tua, yang bermakna sangat cukup untuk menikah.

Ketika seorang perempuan belum menikah di atas usia 30 tahun, maka perempuan yang bersangkutan akan dianggap sebagai ”anomali” dalam persepsi umum masyarakat. Persepsi yang demikian inilah yang kemudian melahirkan stigma perawan tua.

Lepelean (pilah-pilih)

Stigma ini lahir karena budaya di Madura adalah laki-laki yang punya hak untuk memilih calon istri sedangkan perempuan menunggu laki-laki untuk datang melamar.

Budaya yang demikian tumbuh karena adanya peleburan antara agama (Islam) dengan praktik kehidupan sosial masyarakat. Sehingga dalam hal hak laki-laki mencari istri juga didasarkan kepada ajaran Islam.

Hak prerogatif laki-laki untuk memilih calon istri menempatkan laki-laki berada di posisi aktif dan superior, sedangkan perempuan berada di posisi pasif dan inferior. Artinya, masyarakat menempatkan perempuan "harus" menerima lamaran laki-laki yang datang tanpa alasan penolakan apa pun.

Sehingga ketika dalam suatu masyarakat ada perempuan yang "melanggar" aturan main secara sosial tersebut, baik karena alasan tidak suka, tidak cinta, tidak satu visi, dan alasan privat lainnya bagi perempuan, maka perempuan yang bersangkutan akan mendapatkan stigma sebagai perempuan yang pilah-pilih.

Tak Dhibesah/Ghik Nakkanak (Tidak dewasa atau anak-anak)

Dalam persepsi umum masyarakat Madura di kampung saya, ketika ada seorang perempuan yang berumur, meski mandiri dan berpendidikan tinggi, akan tetapi dia belum menikah, maka pihak keluarga besar maupun sanak saudara akan beranggapan bahwa perempuan yang bersangkutan masih belum dewasa.

Label perempuan tidak dewasa secara sosial tersebut akan berdampak pada keputusan persoalan keluarga. Bahkan yang lebih parah, perempuan yang bersangkutan akan tidak dianggap sebagai bagian dari masyarakat.

Artinya, ketika dalam keluarga inti perempuan tersebut misalnya akan menggelar hajatan keluarga, perempuan yang dianggap tidak dewasa tidak akan diberi amanah oleh keluarga besar lainnya untuk mengundang secara resmi pihak keluarga yang lain; juga ketika ada hajatan keluarga yang lain, perempuan yang bersangkutan tidak diberi undangan sendiri karena dia masih mengikuti keluarga besar seperti orang tua maupun kakak laki-laki.

Ini bermakna bahwa meski perempuan mandiri dan berpendidikan tinggi, tetapi jika dia belum menikah, maka hak dan kewajiban menjadi bagian dari masyarakat tidak ada dalam pundaknya. Perempuan yang demikian "dianggap" sebagai bagian dari keluarga besar. Meski faktanya, penopang ekonomi keluarga besar dari perempuan yang bersangkutan.  

Tak Bhebinik (Bukan Perempuan)

Stigma ini lahir karena anggapan umum dalam masyarakat bahwa kewajiban bagi perempuan adalah melahirkan, menyusui, merawat anak, dan melayani suami. Layaknya mesin produksi, persepsi umum masyarakat menganggap bahwa perempuan "harus" secara sosial adalah untuk melahirkan keturunan sebanyak-banyaknya.

Ketika ada satu perempuan yang tidak sesuai dengan harapan umum masyarakat, maka baginya konsekuensi sosial yang harus diterima. Perempuan yang memilih untuk tidak menikah atau tidak memiliki anak akan dianggap secara sosial sebagai tidak perempuan.

E Capok Kanceng (Terkunci)

Saya yakin bahwa stigma ini melekat hampir banyak dialami oleh perempuan suku Madura. Ketika ada seorang perempuan belum menikah, dengan mudah masyarakat akan menuding bahwa perempuan yang bersangkutan kena guna-guna.

Kata "terkunci" memiliki arti kena guna-guna. Masyarakat di kampung saya meyakini bahwa jika ada perempuan yang dulu ketika beranjak dewasa menolak pinangan pertama laki-laki yang datang melamar, maka perempuan yang menolak tersebut akan "susah" untuk bertemu jodohnya.

Susah bertemu jodoh dikarenakan perempuan tersebut telah "dikunci" dan kuncinya dimasukkan ke dalam kuburan atau dibuang ke tengah lautan. Sehingga susah untuk membuka kunci yang terkunci rapat.

Parahnya, perempuan yang dianggap "terkunci" akan "diyakini" oleh masyarakat umum bahwa perempuan yang bersangkutan akan menjomblo seumur hidup. Keyakinan masyarakat inilah yang menjadi semacam bumerang bagi perempuan. 

Sehingga tidaklah heran manakala stigma tersebut dilekatkan oleh masyarakat kepada perempuan Madura yang belum menikah. Menyakitkan memang, tapi begitulah realitas yang ada.

Pada kasus yang lebih parah, stigma dan labeling tersebut menjadikan perempuan serbasalah dan merasa "tidak" dihargai secara sosial karena gunjingan dan celaan masyarakat yang melekat kepadanya.

Pada kondisi yang demikian, satu-satunya cara paling ampuh untuk "melawan" stigma adalah menunjukkan bahwa kita (perempuan single) tidak seperti apa yang dipersepsikan oleh mayoritas masyarakat.

Memahami logika berpikir masyarakat, terus melakukan perbaikan diri, mengembangkan skill, dan menunjukkan perilaku positif dengan pencapaian maksimal menjadi satu-satunya strategi untuk melawan stigma bahwa perempuan single adalah perempuan merdeka.

Mari jadikan momen kebersamaan keluarga besar di hari raya idulfitri maupun iduladha tidak dicoreng dengan pertanyaan "kapan menikah?".