Aku menjumpaimu di persimpangan jalan yang basah kala itu, ketika sebagian awan malu-malu berpamitan dengan langit yang menganga. Sore itu menjadi perjumpaan kita setelah sekian purnama dipisahkan atas nama jarak.

Persimpangan jalan yang ramai ‒ terlihat lalu lalang laju kendaraan terus meneror jalanan, di benakku jalanan terasa lengang, aku hanya terpanah pada satu pandangan yang tak bisa ku tolak, bahkan untuk mengalihkannya pun sungguh berat.

Sayup-sayup mata melerai ‒ memastikan dengan seksama ke seberang jalan sembari beberapa kali ku kedipkan mata lalu mengusapnya dengan jari-jemariku.

Bergumam benak dalam hati “tak salahkah Tuhan mempertemukan kita di persimpangan ini?” Mungkin ini waktu yang tepat untuk menuntaskan semua yang masih mengganjal, tentang hal-hal yang belum tuntas juga perihal rindu yang tak kunjung terbalas.

Sejak terakhir kali aku berbincang denganmu melalui ponsel sebagai sepasang kekasih yang hubungannya di ujung lerai, sejak itu jua aku kehilangan jejak kabarmu. Enggan rasanya menyelami luka lama, tapi perjumpaan ini tak ingin ku sia-siakan begitu saja.

Kau yang mengenakan sandang berwarna merah muda dengan motif bunga-bunga docoral menjuntai sampai ke bawahnya, lalu dengan rok sepadan jua kerudung putih bertutul abu-abu yang membalut kepalamu semakin menonjolkan aura gadis matang di usiamu. Anggun memang bak mawar yang siap dipetik.

Nampak jelas ada sesuatu yang kau cari di sana, menoleh kanan dan kiri seperti sedang menunggu seseorang yang tak tahu bentuk rupanya. Siapa yang kau tunggu sebenarnya? Ah tak mungkin pula aku, Nona.

Dalamnya tatapan ini membuat hela nafasku menjadi-jadi, jantung semakin tak terkendali ngos-ngosan aku dibuatnya. Gawat, ada yang tidak beres dengan perasaanku, seperti kehilangan keotentikan diri, aku tak mengenali identitas ku.

Langkah kaki ini lancang tergesa-gesa begitu ingin menghampirimu, egois sekali melawan otak yang terang-terangan belum siap menyapamu. Apa-apaan ini, ayolah jangan begini!

Sampai saat di mana aku berada di hadapanmu, seperti biasa dirimu tak ubah seperti perempuan yang ku kenal dahulu, perempuan yang berkali-kali membuatku jatuh cinta setiap harinya.

Ku perhatikan parasmu semakin rupawan saja, kulit kuning langsat itu nampak lebih cerah bahkan berbeda sejak terakhir kita bertemu, sudah lama sekali memang.

Ku lihat pula rekah senyummu semakin mempesona binar sekali tanpa ada kurang sedikit pun, ku rasa bahagia benar-benar sudah menghinggapimu sekarang.

Sejenak aku agak tertegun, pelan suara ini menyapa terdengar ragu-ragu tapi lepas begitu saja.

Ehmm, lama ku tengok kau berdiri di sini, Nona. Aku ingin memastikan semoga kabarmu baik-baik saja karena ini pertemuan yang lama tak terjadi antara kita.

Jelas sekali aku terlihat begitu gugup di hadapanmu, gemetar sekujur tubuh akibat mata indahmu menatap sepenuh diriku. Aku mematung bisu harus bagaimana setelahnya sebab aku hanya ingin menunggu sahutanmu yang tak jua kunjung terdengar.

Aku tentu baik, sebab tak ada yang patut diperkeruh dalam hidup. Jelas ini adalah perjalanan yang harus disusuri dengan senyum hati.” Ucapan yang agak lama muncul dari benakmu.

Benar memang cakapmu itu, apa pula yang harus dirumitkan dalam hidup apatah lagi hanya perkara asmara, tak perlu dijadikan kambing hitam atas suasana batin. Bijak kalimat itu walau ketus keluar dari mulutmu.

ku harap itu jua yang terjadi padamu, Tuan” kembali suaramu ku dengar menyambung perkataan sebelumnya, kali ini begitu lirih bahkan agak lembut terdengar, barangkali suaramu timpang tindih dengan keadaan sekitar.

Sejujurnya aku begitu merindukan suara yang hangat ini, suara yang dahulu selalu menyapa pagi hingga menutup dingin malamku. Suara yang menenangkan kala dunia sedang tak berpihak padaku, suara yang setiap malam ku damba kepada Tuhan.

Huhhh...” ku hela nafas agak panjang mencoba kembali menetralisir suasana semrawut batin yang belum jua usai sedari awal menjumpaimu.

Nona, ketahuilah bagaimana diri tertatih dengan keadaan ini, bukan saja sekadar berkeluh sebab tak semua kesedihan harus ditutupi, bukan pula selalu tegar sedang diri hampir mati di perosok jurang kesunyian.

Getir ucapku mengisyaratkan bahwa tak baik pula berpura-pura tegar atas lara yang menyelimuti diri, lemah memang aku di hadapanmu.

Bagaimana diri tak suram akibat asmara yang dibalas tuba, kau tega bermesra dengan lelaki lain, bertahun-tahun kita jalin hubungan yang indah malah kau tinggalkan cerita yang belum sudah. Entah apa yang ada dalam benakmu Nona, sungguh aku tak habis pikir dengan perkara ini.

Aku jelas terbawa suasana, tapi aku justru lega dapat berdialog denganmu atau ini hanya seonggok rindu yang belum terbayar?

Kali ini kau nampak terdiam termangu dengan ucapanku, barangkali kau sedang memikirkan satu hal untuk kau sampaikan.

Maafkan daku, Tuan. Aku memang salah dalam hal ini tapi inilah hidup, aku hanya ingin mencari pelabuhan yang lebih menenangkan tidak bising hingga ku pilih lelaki lain atas hubungan kita dahulu.

Kejam kau nona! sungguh kejam! Iba hati mendengar cakapmu.

Dingin udara melengkapi rintik-rintik hujan yang terus menetes sore itu menambah dingin percakapan kita yang agak kaku dan terkesan ragu saling menatap.

Rintik hujan semakin deras mengisyaratkan kepada kita untuk mengakhiri percakapan di persimpangan itu, persimpangan jalan yang menjumpakan kita, persimpangan yang sudah basah sejak awalnya.

Tak ingin kuyup atas hujan ku akhiri percakapan ini “Semoga Tuhan senantiasa melimpahkan atasmu berjuta kebaikan, menjumpakanmu dengan insan yang memberimu kearifan, Nona.” Ucapku di ujung cakap.

Kau pun membalas dengan tuntas secercah kata, “Atas doa itu semoga pula Tuhan bermurah hati menyelimuti dengan rencana terindah untukmu, Tuan.

***

Kelang beberapa masa datang seorang lelaki menghampiri Nona, menjemput lalu mengajaknya untuk berjalan di bawah payung yang dibawanya.

Aku menerka barang kali lelaki itulah yang kau tunggu sedari tadi Nona, lelaki yang sudah menggantikan posisiku di hidupmu. Beruntung sekali kau bung! Beruntung dapat mendengar sapa dan sambut perempuan seperti Nona setiap detiknya.

Sore itu cuaca sedang teruk menggambarkan suasana hati yang belum siap mengikhlaskan seorang Nona dengan lelaki lain.

Dalam hati hanya berujar “Kau berpayung mesra dengannya di bawah hujan sedang aku hanya mandi dengan rintiknya.”