Setelah empat tahun lamanya tidak melakukan perjalanan mudik, akhirnya tepat di tahun ini saya dan keluarga dapat melepas rindu kembali dengan sanak-saudara di kampung halaman. Setelah tersiar kabar bahwa mudik diperbolehkan kembali di tahun ini, kami tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan dan peluang ini.
Memanfaatkan momen di waktu yang tepat adalah sebuah keputusan yang tepat. Selagi ada kesempatan dan peluang, Bapak saya bilang, “why not?”
Akhirnya, kami sekeluarga berangkat mudik ke sebuah wilayah di Tanah Pasundan yang terkenal dengan hasil komoditas berasnya yang cukup wangi, ranum, dan memiliki tekstur yang pulen jika sudah diolah menjadi nasi.
Saya yakin kamu pasti sudah bisa menebak. Ya, wilayah itu dikenal dengan nama Cianjur. Wilayah ini merupakan kampung asal kelahiran Mamah (sapaan Ibu saya). Beliau memang orang asli sana. Oleh karenanya, Mamah dikenal juga sebagai Urang Sunda.
Pendahuluan: Sebuah Disklaimer
Sebelumnya, saya ingin disklaimer terlebih dahulu bahwa tulisan ini bukanlah sebuah tulisan yang menceritakan perjalanan mudik saya bersama keluarga pada beberapa waktu yang lalu. Kalau kamu mengira ini demikian, kamu tentu salah besar. Lebih baik cari dan baca tulisan lain.
Tulisan ini akan lebih banyak berisi mengenai refleksi pengalaman, pemikiran, serta kegelisahan saya atas apa yang telah terjadi selama 2 tahun terakhir ini.
Bahasan mengenai tanggapan saya perihal pandemi, vaksin, kebijakan pemerintah, pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi, sampai mudik yang akhir-akhir ini sempat menjadi topik terhangat di bumi pertiwi.
Saya juga akan sedikit membahas topik yang agak sensitif dan out of the box mengenai kaitan antara keimanan dengan kejadian pagebluk yang membuat geger warga kota dan kampung di seluruh dunia saat ini, serta apa yang mesti dilakukan oleh kita bersama.
Semuanya saya rangkum menjadi satu. Semuanya saya paparkan bagai cerita yang mengalir, namun tetap saling berkesinambungan. Terakhir, semuanya dapat kamu jumpai dalam satu tulisan ringkas ini. Selamat membaca!
Uniknya Mudik dan Kebijakan Pemerintah yang Tidak Lagi Asyik
Saya awali tulisan ini dengan menyinggung perihal mudik. Bicara soal mudik memang unik. Selain karena momen yang selalu dinanti-nanti masyarakat kita di setiap tahunnya, juga dilakukan sebagai momen untuk memanfaatkan libur hari raya Idul Fitri.
Saya jadi teringat istilah mudik tempo dulu (lawas). Kalau dulu mudik itu tidak mengenal waktu. Tidak membuat orang-orang harus rela dan sabar menunggu hari raya Idul Fitri tiba terlebih dahulu.
Mudik tempo lawas—sebagaimana hingga kini yang sudah dikenal dengan istilah pulang kampung—justru dapat dilakukan kapan saja. Tak mengenal batasan waktu atau hanya jika dilakukan pada momen-momen tertentu.
Sekalipun perjalanan mudik atau pulang kampung dapat dilakukan oleh siapa aja, namun perjalanan ini baru dapat dinyatakan sah dan bisa dilakukan dengan memenuhi beberapa persyaratan awal, seperti umur yang panjang, waktu yang luang, biaya yang cukup, dan kesempatan yang ada.
Syarat-syarat inilah yang perlu dipenuhi. Terakhir, tentu saja bagi si pemudik harus memiliki ‘kampung halaman’ sebagai syarat utama. Sebab kalau tidak punya, bukan ‘mudik’ namanya. Istilah mudik pun menjadi tidak berarti dan berlaku. Iya enggak sih?
Oke, kita kembali lagi soal waktu mudik. Mudik yang berlangsung saat ini menjadi lebih kerasan, spesial, dan tentu saja menjadi lebih pas sebutannya tatkala tiba hari raya Idul Fitri. Ini tentu sejalan dengan pemahaman akan definisi ‘mudik’ baru-baru ini versi pemerintah. Definisi yang sesuai dengan versi alias ‘kemauan’ pemerintah ini nanti akan saya jabarkan pada tulisan selanjutnya.
Pokoknya yang jelas, definisi mudik versi selain pemerintah, saya rasa akan dinilai bermasalah dan dianggap bertentangan. Kamu pasti sudah tidak asing dengan pernyataan: siapapun yang tidak sejalan dengan pemerintah, bisa dicap macam-macam.
Dari mulai radikal, anti Pancasila, tidak nasionalis, dan seterusnya. Karena bagaimanapun juga, di negeri ini hanya pemerintahlah yang paling benar. Sesuatu yang agak klise dan mainstream sebenarnya.
Namun, bagi saya itu terbilang antimainstream. Kamu boleh tidak sependapat dengan saya. Begitupun sebaliknya, saya juga berhak mengekspresikan pendapat saya. Kenapa bisa begitu?
Menurut hemat saya, pemerintah bisa melakukan hal yang antimainstream demikian karena memiliki dua pasal—selain pasal undang-udang yang berlaku—sebagai senjata utama dalam pembelaan sekaligus pembenaran diri. Apa saja?
Pasal satu berbunyi, “pemerintah tidak boleh salah”. Kalau pun pemerintah melakukan kesalahan, maka berlakulah pasal kedua, “kembali ke pasal satu”. Begitu seterusnya, maka tak heran pemerintah kita mendadak pernah menjadi ahli bahasa yang terlihat begitu cerdas dan tangkas dalam merumuskan mana definisi ‘pulang kampung’ dan mana definisi ‘mudik’.
Jujur, adanya pendikotomian terhadap dua definisi ini agak menggelikan. Selain karena antara mudik dan pulang kampung memiliki definisi yang serupa, atau bahkan sama, juga digunakan sebagai diksi untuk melarang masyarakat berpergian ke mana-mana termasuk ke kampung halaman. Yang lebih menakjubkan lagi, rumusan ini keluar ketika pagebluk Covid-19 sedang berada dalam situasi yang genting dan mengkhawatirkan.
Kita pasti tahu kasus suspek dan kematian korban saat itu akibat Covid-19 memang sedang tinggi-tingginya. Menurut saya ini merupakan saat-saat di mana waktu yang tepat bagi pemerintah untuk melakukan upaya intervensi dalam membatasi pergerakan masyarakat dengan istilah PPKM yang masih berlaku sampai sekarang.
Mungkin tujuan pemerintah ini bermaksud baik, tapi saya coba akan sedikit menguraikan sebenarnya apa yang dimaksud definisi antara ‘pulang kampung’ dan ‘mudik’ berdasarkan kamus pemerintah.
Dikotomi Kamus Pemerintah: Pulang Kampung vs Mudik
Pulang kampung sebagaimana versi yang dirumuskan oleh pemerintah intinya ialah sebuah kegiatan perjalanan ke kampung halaman. Seseorang bisa dikatakan sedang melakukan ini, kalau memang ia betul-betul pulang kampung.
Seperti yang telah saya singgung di atas, pulang kampung tidak memiliki batasan waktu atau hanya jika dilakukan pada momen-momen tertentu. Sederhananya, kamu bisa pulang kampung tanpa harus menunggu Idul Fitri tiba.
Beda halnya dengan mudik. Ia memiliki definisi yang agak ekslusif, setidaknya ini yang saya pahami dari pengertian versi pemerintah. Seseorang dapat dikatakan mudik, kalau memang ia betul-betul kembali ke kampung halaman dan dilakukan pada saat sebelum atau sesudah Hari Raya Idul Fitri.
Artinya, hanya momen Hari Raya Idul Fitri sajalah, seseorang yang kembali ke kampung halaman pada momen itu dapat dikategorikan sebagai kelompok yang melakukan perjalanan mudik.
Setelah mengetahui perbedaan dari keduanya, sebagian dari kamu mungkin akan berkata, “Oh, ternyata sekarang definisinya berbeda ya?” Jawabannya adalah iya. Bagaimana sudah semakin paham dari definisi keduanya bukan? Ya, kalau menurut saya definisi itu enggak njlimet-njlimet amat.
Entah, adakalanya kita memang dituntut untuk memahami kosa-kata pejabat secara pelan-pelan agar pesan yang berisi maksud dan tujuan yang sebenarnya dapat dipahami. Atau memang kiranya komunikasi politik para pejabat kita perlu diperbaiki lagi.
Ini tentu saja untuk mengantisipasi agar definisi yang tadinya dinilai sulit, dapat lebih disederhanakan dan mudah dipahami oleh masyarakat. Sebagai seseorang yang memiliki hobi berbahasa dan berkomunikasi, ini bisa menjadi prospek untuk bisa berkiprah di dunia kehumasan dalam lingkup pemerintah. Bismillah, tahun depan jadi jubir pemerintah!
Kilas Balik: Antara Kebijakan, Pandemi, dan Mudik
Kalau kita melihat kilas balik dua tahun ke belakang, perjalanan mudik memang sempat dilarang oleh pemerintah. Hal ini dilakukan bukan tanpa sebuah alasan yang jelas dan pasti. Pemerintah saat itu berdalih agar masyarakat untuk tetap berada di wilayahnya masing-masing guna menekan rantai penularan penyakit yang kian hari kian ‘ganas’. Sebagai orang yang berakal sehat dan taat pada pemerintah, saya tentu mengamini alasan ini.
Faktanya, saat itu kasus Covid-19 sedang berada dalam puncak yang tertinggi setelah kita melewati beberapa gelombang, layaknya seperti pendaftaran murid baru di sekolah swasta. Dari mulai gelombang 1 sampai gelombang 3 hingga akhirnya di perempat tahun ini, kasus pandemi sudah mulai dan terus melandai. Entah ini masih gelombang 3 atau sudah beranjak ke gelombang 4. Can you tell me the fact?
Meskipun, di Tiongkok dan Amerika, kasus Covid-19 kembali meningkat. Namun, yang jelas kasus di Indonesia sudah mulai mereda dan membaik. Bahkan, saya mendengar satu kabar yang tersiar dalam sosial media bahwa pasien Covid-19 di Wisma Atlet saat ini hanya tersisa 2 orang saja. Luar biasa bukan?
Mendengar kabar ini, saya pun turut berbangga atas Indonesia, selain karena memiliki prestasi ‘banyak hutang’ juga ‘baik dalam penanganan dan pengendalian pandemi’. Baik keduanya tetap diakui dunia.
Setidaknya ada yang bisa dibanggakan oleh masyarakat saat ini. Tapi tetap kita harus lebih waspada dan awareness terhadap kesehatan dan keselamatan baik diri maupun orang lain. Prokes mesti tetap diterapkan. Pola gaya hidup bersih dan sehat mesti terus diupayakan. Setuju?
“Yang masuk jangan keluar, yang keluar jangan masuk” menjadi sebuah prinsip yang dipegang erat sekaligus jargon yang dinilai cukup efektif dalam upaya pengendalian dan penanganan pagebluk saat itu. Walaupun sempat ada pertentangan dari masyarakat, tapi akhirnya mereka dapat memaklumi.
Toh bagaimanapun juga, definisi pandemi tidak sama dengan oligarki. Ia bukan hanya sekadar permasalahan milik segelintir orang saja, melainkan sebuah permasalahan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Dari si yang paling kaya sampai yang paling miskin. Dari si yang paling tua sampai yang paling muda. Dari si yang paling pintar sampai yang paling bodoh. Dari si yang paling rajin sampai yang paling malas. Pokoknya semua yang si paling-paling itu, ikut menderita. Semuanya melarat. Semuanya merana.
Ketika perjalanan mudik tahun ini kembali diperbolehkan oleh pemerintah, jumlah pemudik justru semakin membludak. Maka, tak heran jumlah pemudik tahun ini merupakan jumlah pemudik terbesar sepanjang sejarah di Indonesia dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kamu bisa cek informasi tersebut di sosial media.
Bagi saya ini adalah sebuah prestasi yang membanggakan dan tidak cukup hanya diacungkan jempol. Prestasi ini harus diakui dunia dan menurut saya wajib tercatat dalam Guinness World Record 2022 dalam hal kategori pengendalian mobilitas masyarakat tertinggi di dunia. Entah kategori itu ada atau tidak, yang pasti ini harus tercatat dalam sejarah rekor dunia. Ya, ini hanya sekadar usul saja.
Kalau perlu budaya mudik ini mesti tercatat dalam Warisan Budaya yang harus terus dilestarikan oleh UNESCO. Biar seluruh dunia tahu, bahwa budaya ‘mudik’ yang dilakukan setiap tahunnya, hanya ada di Indonesia. Syukur-syukur, negara lain bisa mengadopsi dan mengimprovisasi budaya khas lokal ini. Saya jamin, efeknya negara kita akan semakin dikenal luas oleh warga dunia.
Merayakan Kemenangan atas Pandemi
Menanggapi besarnya jumlah pemudik tahun ini, saya bersyukur sekaligus beranggapan bahwa perjalanan mudik tahun ini merupakan aksi perayaan atas menurunnya tren kasus pagebluk Covid-19 beserta kasus virus yang serupa yang telah meluluhlantahkan seantero dunia.
Kita mungkin bisa menyebutkan varian Covid-19 yang nyentrik itu, seperti varian Alpha, Beta, Gamma, Delta, hingga yang terakhir ini, Omicron. Setidaknya begitulah informasi yang saya dengar dari berita yang tersiar.
Semua varian punya karakteristik masing-masing dengan tingkat keganasan yang berbeda-beda. Tapi, kalau kamu bertanya soal apakah semua virus itu ganas dan berbahaya? Kamu mending googling sendiri. Sebab, di sini saya enggak akan bercerita panjang lebar tentang karakteristik virus. Tapi yang jelas, apapun varian virusnya, tetap vaksin pencegahannya. Bagaimana, sudah cocok belum saya jadi influencer zaman now?
Berkaca dari kejadian ini saya beranggapan bahwa euforia atas kemenangan umat manusia dalam mempertahankan diri dari kondisi yang serba mengundang ketidakpastian dan kekhawatiran, seperti pagebluk yang telah terjadi, tentu menjadi satu pertanda bahwa manusia bukanlah satu-satunya makhluk yang paling lemah di muka bumi.
Dengan segala kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang dimiliki dan berkembang pesat saat ini, menjadikan manusia cenderung kian resisten terhadap sesuatu yang baru dan asing.
Bayangkan, di zaman ini saja manusia tidak hanya betul-betul dapat hidup berdampingan dengan virus, misalnya. Namun, mereka juga mampu ‘memanusiakan’ virus yang notabenenya ‘ganas’ itu.
Artinya, kalau boleh sombong: seganas-ganasnya virus saat ini, Covid-19 atau jenis lain dengan beribu-ribu variannya sekalipun, tetap dapat dijinakkan oleh manusia. Mungkin kamu menilai ini terlalu berlebihan. Tapi, saya akan tetap nekat mengatakan begini.
Pandemi Bukan Hanya Sekadar Persoalan Teologis
Kita tentu mengimani dan mengamini bahwa ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap dinamika kehidupan ini. Baik waktu dan ruang sebagai bagian dari dinamika kehidupan akan saling terikat dan terkait membentuk suatu peradaban kehidupan manusia di muka bumi. Seiring dengan perjalanan kehidupan manusia, pasti menemukan lika-likunya tersendiri.
Belum lagi tantangan, rintangan, dan hambatan kolektif yang suatu saat dapat saja terjadi. Menuntut setiap kita untuk bersiap menghadapinya dengan segenap keteguhan, kerendahan, dan kepasrahan hati. Namun, ini tidak serta merta menjadikan manusia sebagai sosok makhluk yang lemah.
Soal kaitannya dengan kehidupan sekarang ini, anggaplah kehidupan pasca pandemi, tentu ada faktor lain yang lebih dapat mengendalikan atas segala sesuatu yang terjadi di dunia tak terkecuali pandemi. Ya, katakanlah seperti faktor kekuasaan Tuhan sebagai faktor yang dinilai paling absolut, mutlak, dan wajib adanya.
Menanggapi persoalan pandemi, yang perlu kita pahami bersama adalah bahwa persoalan pandemi sebagai sebuah bencana merupakan persoalan yang erat kaitannya dengan aspek ekologis—sebagaimana pernyataan yang saya kutip dari Habib Ja’far—yang tidak hanya dapat diatasi dengan sebatas perenungan dan praktek-praktek ritual keagamaan semata sebagaimana yang kerapkali diajarkan oleh para ahli teologis.
Ia (pandemi) juga memerlukan upaya konret dari manusia dengan memanfaatkan teknologi yang merupakan produk dari ilmu pengetahuan sains modern sebagai tindakan praktis dalam penanganan dan pengendalian suatu bencana.
Kita semua tahu produk teknologi yang dimanfaatkan saat ini adalah vaksin. Itu pun jenis vaksin yang digunakan bermacam-macam. Kita sebut saja seperti Sinovac, Moderna, AstraZeneca, Pfizer, dan sejenisnya. Penggunaan vaksin yang terpaut dalam program vaksinasi merupakan upaya pencegahan terhadap dampak Covid-19 yang lebih besar lagi.
Terlepas dari berbagai konspirasi akan keberadaan pandemi dan vaksin yang kerapkali menyelubunginya, toh upaya vaksinasi masih tetap berlangsung dan senantiasa digalakkan hingga kini kendati pandemi Covid-19 belum benar-benar berakhir.
Itu artinya seluruh kenyataan yang terjadi di dunia ini memang tidak pernah lepas dari narasi-narasi yang penuh dengan kemisteriusan dan keraguan. Siapapun kamu bahkan termasuk para ahli teologis sekali pun, tidak boleh menafikan upaya atas respon kenyataan yang terjadi saat ini.
Saya rasa kita semua pasti sepakat upaya ini sebagai premis yang merupakan bagian dari ikhtiar yang saling terintegrasi dengan ekspresi keimanan dan keyakinan manusia dalam menghadapi berbagai persoalan hidup yang semakin hari semakin kompleks termasuk persoalan dalam menghadapi sebuah bencana.
Premis ini seolah-olah terkesan melahirkan logika biner. Dan menurut saya premis di atas itu cukup realistis dan masuk akal. Logikanya begini: kamu jangan berharap sembuh, kalau tidak ada usaha minum obat. Kamu jangan berharap pintar, kalau tidak ada usaha belajar. Terlebih lagi, kamu jangan berharap pandemi ini berakhir, kalau tidak ada usaha untuk mencegahnya.
Oleh karena pandemi adalah persoalan bersama, maka pencegahannya pun harus lakukan secara berjamaah alias bersama-sama. Sederhananya, kamu jangan berharap mendapat sesuatu yang lebih banyak dari apa yang kamu inginkan sebelum kamu bersusah payah dan berusaha lebih keras untuk mendapatkan itu.
Bukankah Tuhan tidak akan mengubah nasib atau keadaan suatu kamu, sebelum kaum itu betul-betul bertekad mengubah nasib atau keadannya sendiri? Inilah logika biner yang saya maksudkan tadi di atas. Semoga saya, kamu, dan kita semua dapat memahami persoalan ini secara seksama.
Penutup: Hil yang Mustahal
Seperti yang saya singgung di awal-awal, pembicaraan ini akan merembet dari satu hal ke hal yang lain. Dari satu bahasan ke bahasan yang lain. Dari satu topik ke topik yang lain. Dan seterusnya dan seterusnya. Karena bagi saya menceritakan sesuatu memang tidak akan ada habis-habisnya.
Mungkin bagimu tulisan ini tidak terlalu penting untuk dibaca. Apalagi sampai repot-repot dijadikan gambaran kehidupan ideal yang harus diikuti. Pun saya juga tidak mengatakan tulisan ini sebagai sebuah pedoman bagi perjalanan hidup. Tapi, yang perlu kamu pahami bahwa akan ada satu momen dalam kehidupan kita yang kalau saja kita mau lebih kita cermati itu akan berkaitan dan berkesinambungan dengan momen yang telah kita lalui sebelumnya.
Baik momen yang paling mengesankan bahkan menyedihkan sekalipun, semuanya memiliki makna yang berarti dalam hidup kita. Sebab, segala hal yang terjadi dalam kehidupan di dunia ini tiada yang mustahil.
Meskipun bersifat fana, selagi kita masih berada di dunia, sesuatu yang tidak kira sebelumnya, itu bisa saja terjadi bahkan dalam hitungan kejapan mata. Seperti gula dalam secangkir teh yang biasa kita minum akan kehilangan rasa manisnya jika air yang ditambahkan di dalamnya lebih banyak daripada sebagaimana mestinya.
Sekali lagi, di dunia ini tiada yang mustahil. Yang ada justru ‘hil yang mustahal’. Saya tidak akan menguraikan apa itu maksudnya. Silakan kamu pahami sendiri. Tentu masih banyak hal-hal yang ingin saya refleksikan dan tuliskan di sini. Namun, saya sadar perlu ada jeda waktu untuk bisa menguraikan dan merangkai refleksi demi refleksi menjadi sebuah pelajaran penting terkhusus bagi diri saya sendiri.
Sebelum saya akhiri, terima kasih telah sudi membaca tulisan ini. Refleksi kita mungkin bisa saja berbeda. Namun, peristiwa yang terjadi, kita semua mungkin pernah sama-sama mengalaminya. Tabik!