Lagi, lagi.

Saya baca buku ini di kala aplikasi Goodreads lagi sering-seringnya saya buka daripada Instagram. Goodreads merekomendasikan saya buku ini ketika saya bertemu dengan bukunya Tara Westover yang sebelumnya sudah saya ulas.

Buku debut Gail Honeyman yang diterbitkan pertama kali di tahun 2017 ini mendapatkan 543,234 ulasan (9Februari) di Goodreads. Melihat banyaknya ulasan dari orang-orang dan kebanyakan dari mereka berupa ulasan positif saya pun penasaran dengan cerita buku ini. Apalagi ketika baca ulasan dan mengetahui bahwa karakter utamanya ini‘socially awkward’. 

Saya yang merasa related dengan Eleanor pun berusaha untuk mengikuti ceritanya. Apalagi banyak yang mengatakan bahwa buku ini bikin tertawa karena penulisan humor di dalamnya yang kocak abis.

Kemudian, 100 halaman setelahnya saya pun hampir putus asa dan menemukan bahwa saya gak menemukan ekspetasi yang saya harapkan dari buku ini sama sekali. Membaca skimming pun saya lakukan cukup banyak demi sekadar menghabisi buku ini.

Sering di kala membaca 3–4 halaman saya langsung menguap ketika membaca buku ini, respons otak saya yang ngerasa buku ini membosankan dan gak memberikan percikan gairah untuk saya membaca lagi. Dan pada akhirnya saya membutuhkan 8 hari untuk membaca 100 halaman buku tersebut.

Tapi, justru setelah the darkest hours di 100 halaman tersebut, setelahnya saya disuguhkan banyak komedi dan jawaban yangs ampai-sampai saya langsung lahap dalam 1 hari untuk menghabisinya. Karena ternyata benar kocak dan cerita di balik Eleanor disuguhkan secara manusiawi dan real. Rasa simpati pun banyak saya rasakan terhadap tokoh Eleanor di buku ini dan mengingat Eleanor lainnya dalam realitas keseharian.

Begini ceritanya.

Di umur yang udah menginjak kepala tiga, Eleanor Oliphant bekerja di sebuah kantor akuntansi selama 9 tahun sejak umurnya 21 tahun. Setiap harinya dia punya jadwal yang hampir sama. Hari Senin sampai Jumat, Eleanor datang jam 8:30. Kemudian, satu jam untuk makan siang Eleanor biasanya makan sandwich yang dibelinya di jalan High Street

Sambil makan siang di ruang staff, Eleanor suka membaca koran The Daily Telegraph sebab koran tersebut punya cryptic crossword alias teka-teki silang. Setelahnya, Eleanor kembali kemeja kerjanya dan menyelesaikan pekerjaannya sampai pukul 17:30.

Eleanor pulang dengan bus yang biasanya memakan waktu setengah jam. Malamnya, Eleanor biasanya makan salad, pasta atau makanan yang mudah di masak dan punya nutrisi yang cukup untuk menopang seseorang agar tetap hidup. Setelah makan, Eleanor bersih-bersih, terus membaca buku atau menonton TV itu pun kalau kanal Telegraph sedang punya rekomendasi program hari-hari tertentu. Dan tidur di jam 22:00. Gak punya masalah tidur kata Eleanor.

Di hari-hari khusus seperti hari Rabu sore biasanya Eleanor menelepon ibunya sekitar 15 menit atau lebih. Dan pada hari Jumat biasanya dia gak langsung pulang ke rumah, melainkan pergi ke Tesco Metro untuk membeli pizza margherita,Chianti, dan 2 botol vodka bermerek Glen. Setelah sampai rumah, Eleanor bakal makan pizza dan minum beberapa gelas wine. Kemudian, minum vodka selama akhir pekan (Sabtu dan Minggunya).

Dalam penggambaran rutinitas Eleanor ini, saya sebagai pembaca merasa kasian dan gak tega. Apalagi Eleanor yang nampaknya cuma berbicara secara ‘rutin’ dengan ibunya di hari Rabu tersebut dan Eleanor sendiri menyatakan bahwa memang handphone nya gak terlalu sering berdering, sekalinya ada itupun biasanya dari kantor asuransi.

“You’d think that would beimpossible, wouldn’t you? It’s true, though. I do exist, don’t I? It often feelso lightly connected to the earth that the threads that tether me to the planetare gossamer thin, spun sugar. A strong gust of wind could dislodge mecompletely, and I’d lift off and blow away, like one of those seeds in adandelion clock” Hal 13–14.

Kehidupan Eleanor pun berubah ketika dirinya bertemu dengan seorang laki-laki 'seperkantorannya' dari bagian IT, Raymond. Saat itu hari Jumat sepulang kerja Eleanor dan Raymond secara kebetulan meninggalkan kantor di jam yang sama dan berjalan ke arah yang sama. Disaat itulah keduanya melihat seorang laki-laki lanjut usia, Sammy yang ternyata membutuhkan mobil ambulance.

Mungkin deskripsi Eleanor yang bertemu dengan seorang laki-laki yang menjadi gerbang bagi perubahan kehidupan Eleanor terdengar cerita ala Disney. Ketika deskripst ersebut disuguhkan dalam sinopsis buku ini, saya kira buku ini akan mengarah ke genre roman yang kuat.

Tapi, sebetulnya Raymond jadi salah satu substansi yang masuk ke dalam kehidupan Eleanor di usianya yang menginjak kepala tiga kepada hal-hal yang dia baru lakukan pertama kalinya. Misalnya saja, pengalamannya menolong seorang laki-laki lanjut usia tersebut membuat Eleanor punya pengalaman menjenguk seseorang di rumah sakit untuk yang pertama kalinya. 

Karena Raymond, untuk pertama kalinya Eleanor melewatkan percakapan hari Rabu ditelepon dengan ibunya demi menjenguk Sammy ‘lagi’.

Relasi Eleanor dan ibunya ini bukanlah suatu hubungan yang ‘ramah’ walaupun keduanya saling bercengkrama di telepon setiap hari Rabu. Tapi, nyatanya percakapan tiap percakapan gak terlalu membuat Eleanor lebih baik dari sebelumnya. Kata mental abuse mungkin pantas untuk ditempel kepada perkataan Ibu Eleanor di beberapa percakapan.

“Don’t you go gettingsidetracked, now, Eleanor — don’t go ignoring Mummy, will you? Oh, you thinkyou’re so smart now, don’t you, with your job and your new friends. But you’renot smart, Eleanor. You’re someone who lets people down. Someone who can’t betrusted. Someone who failed. Oh yes, I know exactly what you are. And I knowhow you’ll end up. Listen, the past isn’t over. The past is a living thing.Those lovely scars of yours — they’re from the past, aren’t they? And yet theystill live on your plain little face. Do they still hurt?” Hal 122.

Dalam penciptaan tokoh Eleanor yang kesepian dalam kesendiriannya tersebut, Honeyman menjelaskan bahwa dirinya pernah mewawancarai seorang wanita berumur sekitar 20 tahun yang mengaku setelah pulang kerja di hari Jumat, dia tidak akan berbicara dengan orang lain sampai dihari Senin ketika dia kembali bekerja. 

Dari pengalamannya ini, Honeyman sadar bahwa mungkin ada banyak orang yang mengalami hal yang sama dan mengarah kepada mengakhiri kehidupan mereka.

“I felt that I might dieof loneliness. People sometimes say that they might die of boredom, thatthey’re dying for a cup of tea, but for me, dying of loneliness is nothyperbole” Hal 231.

Saya yang seorang manusia, pernah kalanya dalam semasa eksistensi saya merasa kesepian. Kesepian dikala kesendirian atau kesepian dikala keramaian. Kalau ditanya mana yang lebih baik dari keduanya, saya kira, keduanya sama saja. Karena bukan masalah situasi, tapi rasa kesepian tersebut yang bagi saya rasanya sama saja walaupun berbeda situasi.

Sering dalam kebebasan seorang manusia menampung berbagai rasa yang terkadang gak berelasi entah dengan keinginannya atau kebutuhannya. Kebebasan yang menjadi sesuatu yang inheren bagi manusia menimbulkan begitu keterbatasan dari apa yang seorang manusia bisa galih dan ketahui tentang kapasitas dalam dirinya.

Kesepian yang Eleanor rasakan tersebut tentunya bukan hal yang inheren dalam dirinya atau sebuah keputusan yang dipilihnya secara rasional. Nyatanya ada konteks historis eksistensi kehidupan dirinya yang tidak bisa diputuskan atau dihilangkan dari esensi seorang individu dalam menentukan siapa dirinya. 

Dan di buku ini dijelaskan bagaimana Eleanor mempunyai masa lalu yang membuat dirinya belum bisa memaafkan keaadan tersebut dan jelas bagaimana hal tersebut sangat mempengaruhi masa kini serta masa depannya.

Terkadang dengan kebebasannya, manusia suka membuang konteks historis dalam hidupnya yang ketika dalam suatu episode historis yang dipilihnya timbul episode historis dari yang dibuangnya tersebut, manusia kembali bingung menentukan siapa dirinya.

Baik atau buruk cerita kehidupan kita dan dikala ada beberapa waktu kita merasa lebih menyukai diri kita yang sekarang dan membuang begitu saja masa lalu yang sudah lewat dalam kehidupan kita.

Masa lalu yang buruk bukan berarti kita harus membuang (atau mungkin hanya menyembunyikan) mereka dalam masa kini yang nampaknya lebih kita sukai. Tapi, merangkul masa lalu yang buruk tersebut di masa kini menjadi pengingat bahwa yang lalu yang membuat diri yang sekarang dan keduanya yang berpotensi untuk menciptakan sebuah masa depan dari 'kebereksistensian' seorang individu.

Yang jelas kesepian dan depresi bukan suatu hal yang sebetulnya memalukan. Hmm, kalaupun kacamata stereotip sosial masyarakat yang ingin kita gunakan, nyatanya hal tersebut hanya akan menimbulkan kesengsaraan yang teramat dalam dan keterasingan diri seorang manusia dengan waktu masa-kininya dan masa depannya dari milik kehidupannya sendiri.

“These days, loneliness isthe new cancer — a shameful, embarrassing thing, brought upon yourself in someobscure way. A fearful, incurable thing, so horrifying that you dare notmention it. Other people don’t want to hear the word spoken aloud for fear thatthey might too be afflicted, or that it might tempt fate into visiting asimilar horror upon them” Hal 232.

Setiap manusia pasti pernah mengalami masa kelamnya masing-masing, pernah dalam keadaan harus mengambil keputusan yang besar, pernah dalam dilema yangmana pilihan tersebut terkadang punya kedudukan yang sejajar, pernah dalam kesendirian, ketakutan dan kecemasan. Mungkin ironis, tapi mereka yang membuat kita jadi manusia apa adanya.

Yang seperti sebelumnya saya bahas walaupun ‘seakan-akan’ perubahan hidup Eleanor dimulai dari pertemuannya dengan Raymond terkesan unsur genre roman, Honeyman pun gak sebetulnya menghilangkan unsur roman ini dan hanya fokus ke krisis eksistensial Eleanor saja. Percikan roman Eleanor dan Raymond bagi saya personal gak terpungkiri juga ada sebenarnya.

Cerita Eleanor diakhiri oleh scene dirinya dengan Raymond yang pergi makan siang bersama Eleanor yang pada akhirnya menerima ajakan Raymond untuk pergi menonton konser musik klasik bersama. Eleanor pun setelah selesai makan siang sempat berpelukan dengan Raymond dan Eleanor yang ‘mencium’ pipi Eleanor sebetulnya akhirnya dia pulang ke rumah.

Bagi saya scene akhir cerita inisingkat nan sejuta emosi di dalamnya. Eleanor yang pada akhirnya dapat ‘berkoneksi’ dengan seseorang dari hasil metamorfosisnya melalui “Bad Days” (yang menjadi nama chapter dalam buku ini ketika Eleanor terpuruk). Merasa damai ketika membaca akhir cerita Eleanor, yang bagi saya perasaan damai itu sendiri menjadi perasaan paling netral, tidak berlebihan (happiness) ataupun kekurangan (pain).

Sebuah akhir cerita yang bagi saya ‘cukup’, tidak berlebihan ataupun merasa kurang dengan andai-andai seharusnya Honeyman mengakhiri cerita Eleanor dengan seperti ini dan itu.