Seorang yang dapat membayar harga, hidupnya akan dihargai. Namun dia yang tidak bisa membayar harga, hidupnya tidak berharga.

Anda pasti sering mendengar kurikulum merdeka yang akan digunakan disekolah. Kurikulum yang masih tahap pengujian sebelum dikonsumsi khalayak umum. Tapi pernahkah Anda memikirkan bagaimana menikmati kurikulum merdeka sedangkan masuk sekolah tata tertib harus bersepatu hitam, berseragam, bahkan hanya membayar SPP pun sulit?

Hal inilah yang saya rasakan ketika kita sibuk membahas mengenai kurikulum. Setiap pergantian mentri maka berganti kurikulum. Tapi pernahkah mereka memikirkan untuk anak-anak yang kelas sosial menengah ke bawah. Mereka harus membayar biaya pendaftaran, uang gedung, infak bulanan, yang mana itu semua hanya untuk Pre Conventional kenyamanan struktural sekolah sendiri.

Maka artikel ini menjelaskan bahwa pakaian seragam nasional adalah pakaian yang dikenakan pada hari belajar oleh peserta didik disekolah, yang jenis, model dan warnanya sama berlaku sesama nasional. 

Pakaian seragam khas sekolah adalah pakaian seragam bercirikan karakteristik sekolah yang dikenakan oleh peserta didik pada hari tertentu dalam rangka meningkatkan kebanggaan peserta didik terhadap sekolahnya. (UU No. 45 tahun 2014 pasal 1).

Peraturan ini terdengar baik sebagai identitas siswa. Namun pernahkah kalian mendengar jeritan anak yatim piatu yang terlantar dijalanan. Mereka tidak literat setiap harinya hanya mengamen, berjualan, melihat anak-anak lalu lalang berseragam sama berangkat sekolah. Inikah pendidikan pembebasan, memberikan pelayanan pendidikan adalah kewajiban negara.

Dalam kasus peraturan disekolah siswa yang tidak menggunakan logo sekolah dan memakai pakaian resmi yang sudah ditentukan sekolah akan disanksi. Sanksinya berupa tidak ikut belajar, membersihkan sampah bahkan dijemur. 

Hal inilah yang disebut pre conventional sehingga siswa terpaksa membeli baju seragam dengan cara apapun. Uang hasil mengamen ditabung untuk beli seragam, ada juga sampai mencuri. Mereka takut di hukum, dijemur, membersihkan sampah takut tidak bisa ikut belajar sehingga harus menaati tata tertib.

Pihak sekolah juga melakukan afiliasi, ini juga disebut pre conventional. Sekolah sudah kerjasama dengan Tailor dan Modiste demi menambah kas keuntungan sekolah. Orang tua disuruh membayar harga seragam yang telah ditentukan sekolah melebih harga pasar. Di peraturan dijelaskan pakaian seragam sekolah terdiri dari seragam nasional, kepramukaan, dan khas sekolah.

Sekolah berlomba-lomba membangun pencitraan. Mereka memperbanyak esktrakulikuler, program, demi menjuarai kompetisi tujuanya tak lain sebagai media promosi untuk menarik siswa. Karena orang tua akan melihat dari kualitas sekolah sudah berapa banyak prestasi yang ditorehkan. Semakin banyak juara semakin mahal harga untuk masuk sekolah.  

Conventional sebagai fokus keinginan kelompok, mereka antusias mencari donatur demi mendirikan sekolah negeri, boarding school, internasional. Karena nama-nama juga memiliki keunggulan harga seperti kita membeli teh manis harganya 3000 rupiah, tapi bila namanya bahasa inggris sweet tea harganya naik jadi 12.000 rupiah. Masuk sekolah swasta saja susah apalagi masuk sekolah yang ternama. Inilah jika lembaga pendidikan berselingkuh dengan bisnis, ‘’pendidikan di bisniskan, bukan bisnis untuk mendanai pendidikan.’’

Memperjuangkan kesetaraan dalam sistem pendidikan, kalau tidak kalian akan terpinggirkan selalu. Orang kaya akan kaya karena dapat bersekolah di kelas ternama. Mampu membayar seluruh administrasi sekolah, mereka akan di didik, diarahkan bekerja sesuai profesi orang tua inginkan. Sekolah akan memberikan pengawasan spesial karena mereka dibayar. Mereka akan dimasukan pada kelas unggulan.

Sebaliknya yang miskin akan miskin. Karena mereka tidak bisa membayar biaya membeli buku, harganya setiap buku paket 100.000 rupiah. Sehingga tak jarang orang tua lebih memilihkan anaknya untuk tidak bersekolah. Mereka kehilangan harapan dan lebih memilih merantau berdagang pecel lele yang jelas-jelas mendapat uang. Karena psikologi mereka sudah terbebani dengan harga untuk membayar pendaftaran sekolah.

Pendidikan harusnya sebagai kekuatan penyadar, pembebasan sebagai kekuatan untuk membebaskan umat manusia dari kondisi tertindas. Pemerintah harusnya jelih dalam melihat kondisi guru yang memanfaatkan harga untuk pendidikan. Mereka terpaksa memainkan harga karena gajinya kecil. Guru mencari tambahan dengan menjadi gojek, gofood, berjualan.

Maka kurikulum merdeka ini sejatinya tidak merdeka. Karena tidak mampu membebaskan kaum-kaum tertindas. Pemerintah lupa di buku-buku Ilmu Pengetahuan Sosial dijelaskan bahwa secara politik kita merdeka, namun secara ekonomi kita masih terjajah. Negara tropis ini masih negara berkembang yang mayoritasnya adalah penduduk kelas sosial menengah kebawah.

Maka untuk memperbaiki negara, perbaiki gurunya. Guru adalah Rahim bangsa, maka langkah awal dengan menambah insentif guru, samakan dengan profesi dokter, lawyer, pilot, IT. Triliunan murid terdoktrin bahwa guru memiliki nilai harga kecil, sehingga semua enggan berlomba-lomba menjadi guru walapun guru itu profesi yang mulia.

Pendidikan tidak seharusnya berorientasi pada harga, namun pada nilai-nilai humanisme. Faktanya banyak guru yang harus menghidupi keluarganya, membayar kos-kosan, untuk menghidupi kebutuhan pokok seperti makan saja susah. Mengajar muridnya yang jaraknya jauh, bagaimana rasa humanisme itu muncul.

Pesan konstitusi menyatakan bahwa Pemerintah Negara Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. (Alenia IV pembukaan Undang-undang 1945). Pemerintah tidak memperhatikan guru artinya sudah melanggar pesan konstitusi.

Sebagai pewaris ilmu, guru terkadang tidak masuk sekali, dua kali karena paginya mereka berjualan ikan, berjualan nasi kuning. Sehingga munculah ide itu membisniskan pendidikan. 

Mereka akan memainkan harga karena desakan ekonomi. 9 juta anak kehilangan cahaya pengetahuan karena harga. Maka yang perlu kita apresiasi hargai guru maka akan melahirkan anak-anak bangsa yang berharga. ‘’Bangsa yang besar mereka yang menghargai jasa gurunya, karena kualitas dihargai akan melahirkan penghargaan-penghargaan bangsa.’’