Lamun/seagrass adalah tumbuhan tingkat tinggi, di mana daun, batang, bunga maupun buahnya dapat dikenali dengan jelas. Lamun termasuk jenis tanaman berbunga (Angiospermae) yang dapat hidup di perairan yang cukup tenang, dengan substrat pasir dan berlumpur di bawah permukaan laut dan di daerah estuary (Pratiwi, 2006).

Keberadaan padang lamun sangat menentukan kelangsungan hidup suatu ekosistem perairan pesisir. Sistem biologis ini juga berdampak signifikan terhadap kehidupan organisme laut, seperti ikan dan biota laut lainnya. Lamun memiliki peran yang esensial bagi kelestarian biodiversitas perairan, keanekaragaman biota laut juga bergantung pada kelangsungan ekosistem lamun di suatu perairan.

Lamun tersebar luas di semua daratan, kecuali di Antartika dengan luas hingga 350.000 km2 dengan kombinasi ekosistem payau dan ekosistem mangrove. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki hamparan padang lamun yang cukup luas, dan diperkirakan mencapai 30.000 km2, yang merupakan ekosistem terbesar kedua di dunia setelah Australia Timur (Rahmawati, 2011).

Di perairan Indonesia terdapat 12 jenis lamun yang banyak dijumpai di perairan pesisir, diantaranya Thalassia hemprichii, Halodule univervis, Thalassodendron ciliatum, Cymodocea serrulata, Halophila ovalis, Enhalus acoroides, dan Syringodium isoetifolium (Pratiwi, 2006).

Ekosistem lamun dapat menjadi penyangga sistem biologi yang sangat penting di perairan pesisir. Lamun memiliki peran ekologis dalam kelangsungan hidup biota laut, sebagai pondasi spesies (habitat spesies) dan tempat mencari makan berbagai jenis hewan, sebagai pemecah arus dan penstabil substrat karena adanya system perakaran yang padat dan menyilang (Rahman, 2019).

Fungsi esensial lainnya dari lamun bagi perairan adalah dalam peningkatan produksi primer melalui proses fotosintesis. Bukan hanya untuk makhluk hidup dan lingkungan laut, tetapi lamun juga menyediakan barang dan jasa yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari manusia, terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitar pesisir.

Kerapatan lamun yang tinggi dan bentuknya yang terlindung menyebabkan lamun berfungsi sebagai pemasok makanan untuk hewan herbivora dan pelindung bagi organisme kecil, sehingga kontribusinya sangat besar terhadap kelimpahan ikan di lautan (Faiqoh, 2017). Ikan berusia juvenil (remaja) memanfaatkan lamun sebagai tameng dari berbagai pemangsa, dan mengurangi kompetisi.

Selain itu, ekosistem lamun dapat meningkatkan aksesibilitas sumber makanan ikan usia juvenile dengan memakan biota laut yang berasosiasi dengan lamun seperti larva, bivalvia, gastropoda, cephalopoda atau jenis zooplankton lainnya. Dengan demikian, akan terbangun interaksi dan interelasi pada ekosistem padang lamun.

Selanjutnya, keberadaan lamun yang beragaman akan mempengaruhi keberagaman dan kelimpahan ikan di perairan pesisir. Ikan dari famili Siganidae, serta spesies lain seperti Lethrinidae (emperors), Scaridae (parrotfish), dan Mullidae (goatfish) merupakan jenis ikan yang dapat dijadikan sebagai indikator hasil tangkapan nelayan dari padang lamun.

Jenis ikan yang masih pada massa juvenil dari jenis Siganidae dan Lethrinids cukup dominan ditangkap oleh nelayan pada areal lamun di perairan Indo-Pasifik. Selain itu, terdapat pula bulu babi, teripang, dan kerang yang merupakan beberapa jenis biota lain yang dapat ditemukan di kawasan padang lamun.

Keanekaragaman jenis biota tersebut dikarenakan padang lamun berfungsi sebagai habitat bagi beberapa jenis biota dan berfungsi sebagai daerah pembibitan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), dan tempat pemijahan (spawning ground) yang sangat baik (Syukur, 2017).

Menurut perkiraan saat ini, padang lamun menghilang 2-5% per tahun. Diperkirakan bahwa selama pertengahan 1980-an hingga pertengahan 1990-an, sebanyak 12.000 km2padang lamun telah hilang dari berbagai belahan dunia. Di perairan pesisir Indonesia sejak tahun 1960-an, kerusakan lamun diperkirakan mencapai sebesar 30–40% (Syukur, 2016). Penurunan luas lamun di seluruh dunia dapat di sebabkan oleh dua faktor, yaitu alami dan manusia (antropogenik).

Menurut analisis terhadap 45 studi kasus yang dilakukan secara global, pengerukan telah merusak total 21.023 ha vegetasi lamun. Beberapa faktor geologis, seperti gempa bumi, peristiwa meteorologis, angin putting beliung, dan interaksi biologis tertentu seperti aktivitas penggembalaan bulu babi, semuanya dapat berkontribusi pada hilangnya tutupan lamun yang disebabkan oleh faktor alami.

Laju kerusakan lamun yang dominan adalah berasal dari aktivitas antropogenik, seperti yang disebabkan oleh perahu nelayan, laju pembangunan (seperti pembangunan pelabuhan, dermaga perikanan, dan kawasan industri), peningkatan jumlah penduduk yang tinggal di wilayah pesisir, dan pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan.

Pengaruh pemanasan global, atau perubahan iklim, merupakan bahaya yang relatif baru bagi kerusakan lamun. Peningkatan kadar CO2 dapat menyebabkan penurunan pH, yang dapat mempengaruhi fotosintesis dan pertumbuhan lamun dan menyebabkan penurunan padang lamun. Perubahan iklim ini telah mempercepat degradasi 2/3 padang lamun di seluruh belahan dunia (Rahmawati, 2011).

Melalui konservasi atau perlindungan, merupakan solusi paling mendasar yang dapat dilakukan untuk memperlambat laju kerusakan dan meningkatkan kualitas ekosistem lamun yang memiliki fungsi ekologis yang sangat penting, pelestarian keanekaragaman hayati, dan pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan dalam jangka panjang.

Meningkatnya kesadaran tentang perlunya perlindungan, pemantauan, pengelolaan, dan restorasi atau rehabilitasi lamun telah muncul sebagai akibat dari degradasi lamun yang signifikan. Bentuk perlindungan lamun yang paling sederhana adalah dengan menghentikan kerusakan lamun, hal ini menjadikannya upaya konservasi yang paling mendasar bagi ekosistem padang lamun.

Ekosistem lamun dapat dilindungi dengan berbagai cara, seperti dengan mendukung penetapan kawasan perlindungan laut (Marine Protected Area/MPA) atau perlindungan laut, mendukung pelaksanaan undang-undang perikanan, meningkatkan pendidikan penduduk lokal tentang nilai dan pentingnya keberadaan padang lamun.

Selanjutnya, menghindari pencemaran pesisir dengan tidak mengotori pantai atau badan air lainnya, dan melindungi lamun dengan tidak menginjak-injak lamun, tidak merusak padang lamun melalui penangkaran kapal yang tidak hati-hati, serta mendukung pembentukan taman-taman laut yang melindungi habitat lamun (Rahmawati, 2011).

DAFTAR PUSTAKA

Faiqoh, Elok., et al. 2017. Peranan Padang Lamun Selatan Bali Sebagai Pendukung Kelimpahan Ikan di Perairan Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 3 (1): 10-18.

Pratiwi, Rianta. 2006. Biota Laut: Bagaimana Mengenal Biota Laut. Jurnal Oseana, Volume 31 (1) : 27 – 38.

Rahman, Ibadur, dan Astriana, Baiq H. 2019. Penyuluhan Mengenai Ekosistem Lamun Sebagai Upaya Pelestarian Ekosistem Di Perairan Pantai Sire, Kabupaten Lombok Utara. Jurnal Abdi Insani LPPM Unram, Volume 6 (2) : 251-258.

Rahmawati, Susi. 2011. Ancaman Terhadap Komunitas Padang Lamun. Jurnal Oseana, Volume 36 (2) : 49 – 58.

Syukur, Abdul. 2016. Konservasi Lamun untuk Keberlanjutan Sumberdaya Ikan di Perairan Pesisir Indonesia. Jurnal Biologi Tropis, Volume 16 (1) : 56-68.

Syukur, Abdul., et al. 2017. Kerusakan Lamun (Seagrass) dan Rumusan Konservasinya di Tanjung Luar Lombok Timur. Jurnal Biologi Tropis, Volume 17 (2) : 69-80.

"Tugas mata kuliah Biodiversitas Tropika Program Magister, Pascasarjana Departemen Biologi, FMIPA Unand dengan dosen pengampu Dr. Mildawati"