“Ane yang nikah, kok abi yang viral?”
Kalau saya adalah sosok di balik riuhnya pagelaran pernikahan yang viral kemarin, mungkin saya akan bertanya demikian.
Bagaimana tidak, lha wong saya yang menikah, tapi justru bukan saya yang menjadi perhatian publik. Saya ini anak salah satu tokoh yang dikenal di seluruh penjuru negeri, lho. Padahal, kalau saya lihat acara pernikahan anak tokoh besar lainnya di TV, yang viral ya mereka yang menikah, bukan orang tuanya. Kok saya enggak begitu?
Apa jangan-jangan, pernikahan saya dipakai bapak saya untuk menopang popularitasnya saja? Tapi saya rasa tidak mungkin. Bapak adalah orang yang paling dikenal di negeri ini, setelah presiden tentunya. Bahkan, saya rasa popularitas wakil presiden pun kalah dengan bapak saya.
Tapi mengapa, media-media, dan justru bapak saya sendiri kok tidak menaikkan popularitas saya sebagai puterinya yang sedang menikah? Padahal, saya juga pingin dibahas di TV dan ditanya-tanya soal persiapan menikah di acara gosip-gosip selebriti.
Gempi yang belum menikah saja bisa terkenal, banyak yang suka, sering trending di Twitter. Masa saya yang notabene seorang putri dari tokoh besar yang lebih masyhur daripada Gading Marten tidak bisa terkenal seperti Gempi?
Belum lagi Rafathar, Kiano, atau yang sudah baligh, Rizky Febian, anaknya Kang Sule. Kalau orang tua mereka sedang viral, pasti anak-anaknya juga ikut viral. Contoh paling mutakhir ya Gempi. Ibunya kemarin viral, tapi yang trending di Twitter #KasihanGempi.
Nggak ada gitu trending tagar kasihan saya?
Namun, kalau saya mencoba untuk husnudzon, yang dilakukan bapak saya mungkin bertujuan baik. Faktanya, karena pernikahan saya, bapak di-bully habis-habisan oleh orang banyak di media sosial. Kalau bapak saya tidak pasang badan dan tidak mengalihkan isu pernikahan saya dengan ceramahnya yang menggelegar, mungkin justru saya yang akan di-bully di media sosial. Sepertinya, saya tidak akan sanggup menerimanya.
Bapak saya memang top-markotop. Blio merelakan popularitasnya sedikit tergadaikan karena cacian, bully-an dan kecaman yang datang dari berbagai kalangan. Blio adalah pahlawan. Membiarkan keluarganya dalam keadaan aman, sedangkan blio menempatkan diri di barisan pertempuran yang paling depan. Persis seperti panglima perang yang ada di film-film.
Ingin rasanya saya bermain kendang dan menyanyikan lagu Ebiet G. Ade di depan blio. Saya yakin, blio akan senang, dan saya pasti akan terharu, kemudian menangis tersedu-sedu. Bapak saya memang tangguh.
Tidak saya sadari, pernikahan saya berujung pada peristiwa pencopotan-pencopotan yang lebih tidak masuk akal. Mulai dari pencopotan baliho, sampai pada pencopotan pejabat KUA yang terlibat dalam pernikahan saya. Saya tidak habis pikir, buntut dari seremoni ikatan janji suci yang saya selenggarakan, justru berakhir pada keputusan-keputusan yang tidak mengenakkan.
Gambar wajah bapak saya di baliho-baliho dicopot, diinjak-injak, dibakar. Bahkan di berbagai kota, bapak saya ditolak karena dianggap memecah belah bangsa. Saya sedih mendengarnya, tapi saya yakin bapak adalah pria tangguh yang dilindungi Tuhan (setidaknya, begitulah ungkapan para pengikutnya), jadi mungkin saya tidak perlu terlalu khawatir.
Saya nyaris tidak tersentuh oleh cacian masyarakat di media sosial. Kulit saya masih mulus, hati saya masih teduh, dan gaun pernikahan saya masih terlindungi dari debu yang berterbangan di dunia luar.
Sekitar satu atau dua bulan yang lalu kalau saya tidak salah ingat. Salah satu perwira polisi menggelar pesta pernikahan di tengah pandemi juga, sama kayak saya. Tapi setelah dianggap melanggar, blio langsung dicopot dari jabatannya. Saya prihatin. Begitu juga bapak Kapolda Metro Jaya yang juga dicopot dari jabatannya. Blio dianggap tidak menegakkan protokol kesehatan di acara resepsi pernikahan saya. Saya lebih prihatin.
Belum lagi baru-baru ini, kepala KUA yang sebetulnya hanya menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, juga dicopot dari jabatannya. Lagi-lagi, sebagai buntut dari terselenggaranya pernikahan saya.
Saya tidak habis pikir, mengapa setelah acara pernikahan saya, malah justru semakin banyak orang yang menderita? Padahal, di acara-acara pernikahan yang lainnya, orang pada riang gembira mengucapkan selamat dan berbahagia atas mempelai pria dan wanitanya. Tapi yang terjadi pada saya justru sebaliknya. Saya serahkan semua sama Tuhan saja.
Pungkasnya, saya lega dan bergembira karena telah selesai mengadakan pesta pernikahan. Meskipun setelahnya, ada banyak orang yang harus menanggung resiko yang tidak mengenakkan akibat dari terselenggaranya pernikahan saya. Termasuk bapak saya sendiri.
Saya tentu mencoba untuk mengerti mengapa bukan saya yang menjadi pusat perhatian di acara pernikahan saya sendiri. Tapi sebetulnya saya masih iri, saya yang punya hajatan, tapi yang viral dan terkenal tetap saja bapak saya. Apa mungkin memang saya tidak ditakdirkan untuk menjadi terkenal dan punya followers banyak? Entahlahhh. Mungkin di lain kesempatan.