Saya baru saja rampung membaca ulang novel Sampar--karya Albert Camus, ketika mencari tahu di internet berapa jumlah orang di Indonesia yang sekarang positif terserang virus Corona. Sebelumnya jumlah yang saya tahu adalah 172 orang, yaitu pada hari Selasa, 17 Maret 2020.

Tentu saja kita berharap jumlahnya tidak akan lagi bertambah--dan akan banyak orang yang sembuh. Tetapi apa yang kita dapatkan adalah justru sebaliknya: jumlahnya menanjak menjadi 227 orang--yaitu pada hari Rabu, 18 Maret 2020.

Dari 227 orang yang memikul virus sialan itu di tubuh mereka, 19 orang di antaranya sembuh; 11 lainnya meninggal dunia.

Tentu saja kita masih berharap jumlahnya tidak akan bertambah lagi. Tetapi lagi-lagi, kita justru mendapati kenyataan yang sebaliknya: pada hari Kamis, 19 Maret 2020, jumlahnya menjadi 309 orang.

Di Jakarta, kota tempat tinggal saya sekarang, adalah kota terbanyak yang orang-orangnya terkena virus corona--yaitu 210 kasus--dari kasus 309 orang.

Dan tentu saja kita juga berharap, virus Corona itu akan berlalu--tidak hanya di Indonesia, tetapi di beberapa negara lainnya juga yang dihantam oleh virus keparat itu, yang menyergap dan membunuh lebih banyak orang lagi ketimbang di Indonesia. 

Kemudian, barangkali kita seperti penduduk Oran--sebuah kota kecil di Perancis, sebuah kota yang oleh Albert Camus dijadikan latar novel Sampar, tempat di mana wabah penyakit yang bernama Sampar itu menyergap orang-orang--yang percaya bahwa wabah penyakit Sampar itu akan berlalu.

Kita mungkin juga percaya bahwa virus Corona itu akan berlalu. Tetapi kita, dan penduduk Oran dalam karya fiksi novel Sampar itu, mendapati realitas yang sebaliknya: manusialah yang justru berlalu.

Saya sedang berada di sebuah mess tempat saya tinggal di Jakarta--pada Jumat pagi yang agak mendung, sebelum memulai menulis ini. Saya sedang duduk di jendela kamar saya bersama novel Sampar dan secangkir teh tanpa gula di lantai dua--novel itu tergeletak di atas kusen jendela di sebelah kiri saya; sementara segelas teh itu bertengger di sebelah kanan saya.

Saya sedang memandang langit di kota Jakarta yang seperti sedang murung oleh corona. Langit itu terlihat cekung, kan? Seperti mangkuk atau wajan yang sangat besar, yang seperti sengaja ditengkurapkan oleh pemiliknya, dan kita berada di dalamnya bersama orang-orang yang mulai menjaga jarak satu sama lain karena corona. 

Jauh di bawah langit, yaitu di atas jalan raya di depan mess tempat saya tinggal, saya melihat banyak kendaraan yang sedang mengalir, dan sejumlah orang yang berjalan sendiri-sendiri di atas trotoar. Mereka mengenakan masker di mulut mereka dan berjalan dengan diam; menjaga jarak satu sama lain sejauh satu atau dua atau tiga meter.

Mereka mungkin sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, dan muka mereka terlihat cemas, atau khawatir, mungkin karena virus corona. 

Mereka dan kita atau siapa saja, barangkali merasa terancam oleh virus sialan itu. Menurut salah satu artikel yang saya baca beberapa hari lalu di internet, bahwa virus itu dapat bertahan hidup selama dua atau tiga hari. Dan virus itu dapat bertahan di udara selama tiga jam dan tiga hari di benda padat.

Dan barangkali saya seperti dokter Rieux--salah satu tokoh pencerita dalam novel Sampar, yang di akhir cerita duduk sendirian di teras rumah di lantai atas pada malam hari dan sambil mendengarkan seruan kegembiraan yang datang dari kota di bawah sana, kegembiraan yang datang dari sorakan panjang dari orang-orang untuk menyambut pertunjukan kembang api yang diselenggarakan oleh pemerintah di kota itu; mereka mengira bahwa malam itu mereka terbebas dari cengkeraman penyakit Sampar, dan dokter Rieux tahu bahwa kegembiraan mereka masih tetap terancam oleh Sampar.

Bedanya, saya duduk sendirian di jendela--bukan di teras, pada pagi hari dan bukan malam hari. Saya juga tidak mendengar seruan kegembiraan yang datang dari jalan raya di bawah sana--tempat kendaraan-kendaraan sedang mengalir, dan tempat orang-orang yang sedang berjalan sendiri-sendiri di trotoarnya.

Saya merasa bahwa orang-orang itu tidak memancarkan energi kegembiraan sama sekali. Dengan berjalan saling berjauh-jauhan, mereka memancarkan energi kecemasan, dengan muka-muka yang terlihat tidak tenang.

Kita disarankan oleh pemerintah untuk menerapkan social distancing, sebagai upaya kita, untuk mencegah penularan penyakit yang bernama Corona itu, yaitu dengan menjaga jarak dari kerumunan orang-orang.

Jauh sebelum virus Corona muncul di Indonesia, terus terang, saya sudah selalu menjaga jarak dari kerumunan orang-orang (atau orang kebanyakan).

Saat saya mau merampungkan tulisan ini pada Jumat sorenya, saya memutuskan untuk membuka Instagram dulu, dan saya mendapati postingan dari Narasi Newsroom, yang menampilkan penambahan kasus orang-orang yang positif terkena virus Corona, yaitu ada 60 kasus. Itu artinya, pada hari Jumat (20/03/2020), total semua kasus orang yang positif terkena virus Corona ada 369 kasus.

Virus sialan itu betul-betul brengsek, dia ternyata menyusup ke dalam tubuh lebih banyak orang lagi di Indonesia.

Dan semoga kita tetap tenang atau rileks saja dengan adanya virus Corona ini, mungkin dengan cara melakukan meditasi.

Di sebuah grup meditasi di Jakarta yang saya ada di dalamnya, seorang teman menulis sesuatu di grup whatsaapp kami: "Jika penyakit-penyakit yang berbahaya seperti kanker dapat sembuh dengan ketenangan meditasi, ketenangan yang sama dapat menguatkan sistem pertahanan tubuh kita dari serangan berbagai virus".