Bencana adalah sesuatu yang lumrah, kata narator di dalam novel Sampar, karya Albert Camus. Tetapi jika bencana itu menghantam diri kita, sulit sekali rasanya kita untuk percaya.
Mungkin ada kebenaran di dalam kalimat itu untuk sebagian kecil reaksi orang yang mengalami bencana, atau untuk sebagian besar orang atau malah untuk semua orang, baik yang mengalami bencana maupun yang tidak. Saya tidak tahu.
Yang saya tahu adalah tentang reaksi saya sendiri, ketika mendapati media mainstream—baik di dalam negeri maupun di luar negeri—yang hampir terus-menerus menyodori kita rentetan laporan berita tentang coronavirus yang menyergap banyak orang di seluruh dunia dan membuat banyak dari mereka lalu meninggal.
Laporan berita itu betul-betul membuat sebagian besar kita panik dan takut, dan mengganggu. Dan membuat sebagian banyak dari kita menjadi cemas dengan kesehatan kita sendiri, juga kesehatan teman-teman kita dan saudara-saudara kita; kesehatan orang-orang lain yang mungkin kita temui di toko kelontong dekat rumah.
Mengenai virus sialan itu, yang menggempur banyak orang di seluruh dunia dan membabat banyak dari mereka, sulit sekali rasanya saya untuk percaya, terutama yang terjadi di Indonesia. Di Indonesia, saat tulisan ini saya buat, jumlah kasus virus corona sudah mencapai 1.986 orang, yaitu pada 3 April 2020.
Dan saya tidak tahu, kenapa reaksi saya terhadap munculnya virus corona itu dan apa-apa yang sudah dilakukannya tidak membikin saya resah sama sekali; tidak membikin saya panik, seolah-olah, bahaya yang dibawa olehnya tidak nyata sama sekali bagi saya.
Saya tetap merasa tenteram dan positif—baik sebelum coronavirus itu muncul maupun sesudahnya—hampir setiap hari, dengan cara merayakan diri saya sendiri. Saya menikmati diri saya sendiri dengan sukacita; melakukan koneksi dengan batin saya sendiri, dengan cara duduk diam dan tidak melakukan apa-apa. Saya melakukan itu hampir tiap malam sebelum berangkat tidur.
Sekarang, saya ingin bercerita padamu tentang seorang pria bernama Gurdjieff. Cerita ini, saya dapatkan dari dua bukunya Osho—guru spiritual dari India itu—yang berjudul Beyond Psycologi dan The Book of Nothing.
Gurdjieff adalah orang yang tidak berpendidikan, kata Osho, dan berasal dari suku yang sangat tidak berkembang di Kaukasus, yaitu di Soviet Rusia.
Tetapi dia memiliki kepribadian yang sangat menarik, kharismatik dan memikat. Siapa pun orang yang pernah melihatnya—meskipun cuma sekali, orang itu mungkin tidak akan bisa melupakan lelaki kharismatik itu.
Dia adalah orang yang sangat mencolok. Dan meskipun dia berada di antara kerumunan orang banyak, atau terselip di antara kerumunan jutaan orang, dia akan masih sangat mencolok.
Kemudian jika seseorang telah menatap matanya meskipun cuma sekali, mata itu akan seperti terus membuntuti orang itu seumur hidup.
Dan dia pernah tinggal di sebuah biara selama kurang lebih enam tahun—sebuah biara yang tersembunyi di sebuah kota yang berada di sebelah tengah Uzbekistan, yaitu Bukhara, dan dia belajar banyak teknik dari sekolah Sufi yang ada di situ.
Setiap kali ada orang yang memasuki biara itu dan kemudian menjadi seorang murid, orang itu akan disodori oleh Sang Master sebuah plakat atau tanda, dan itu adalah salah satu teknik dari sekolah sufi tersebut untuk mencapai pencerahan.
Di satu sisi plakat itu, tertulis seperti ini: Saya negatif, tolong jangan menganggapnya terlalu serius. Jika saya menyemburkan padamu perkataan yang buruk, saya tidak benar-benar menyemprotkannya padamu.
Sebab saya negatif, dan saya diselimuti oleh kedengkian, kemarahan, kemurungan. Jika saya melakukan sesuatu yang salah padamu, itu karena kenegatifan saya, bukan karena kamu salah.
Lalu di sisi lain dari plakat itu, tertulis seperti ini: Saya positif, penuh kasih sayang dan mengasihi, dan tolong, jangan menganggapnya terlalu serius.
Jika saya menghembuskan kata-kata indah padamu, saya tidak sedang mengatakan apa-apa tentangmu. Itu karena saya sedang melambung tinggi.
Lalu setiap kali suasana hati seorang murid merasa berubah, dia akan segera mengubah pelakatnya. Jika dia sedang merasa negatif, dia akan menempatkan diri di satu sisi yang tertulis bahwa dia negatif. Begitu juga sebaliknya.
Ada saat di mana pelakat itu akan diambil, yaitu ketika seorang murid tidak lagi merasakan pembagian ini: bahwa dia kadang negatif atau kadang positif.
Saat dia sudah merasa bahwa dia bukan keduanya—betul-betul merasa bahwa dia bukan keduanya, dan kedua sayapnya telah menjadi satu, itu adalah saat pencerahan.
Saya positif, tolong jangan menganggapnya terlalu serius. Selama berlangsungnya virus corona, sejauh ini saya tetap merasa positif, merasa tenang, tidak panik, dan kepala saya tetap tenteram; tolong jangan menganggapnya terlalu serius.
Dan bukan berarti reaksi saya seperti Dokter Rieux—salah satu tokoh pencerita dalam novel Sampar, yang ketika mendapati beberapa pasiennya meninggal karena penyakit Sampar, bahaya itu tidak nyata baginya. Sebab sebagai seorang Dokter, dia memiliki pendapatnya sendiri mengenai penyakit.
Dan ketika saya mendapati laporan berita di Internet bahwa virus Corona sudah menyerang 1.986 orang—dan ada kemungkinan akan menyerang lebih banyak orang lagi, dan 181 diantaranya meninggal, saya hanya ingin tetap merasa tenang saja, tidak panik. Hanya itu.
Lagi pula, "kepanikan adalah setengah dari penyakit," kata Ibnu Siha, pelopor dunia kedokteran modern.
Dan jika seseorang sakit—sakit apa pun itu, kata-kata selanjutnya dari Ibnu Siha penting untuk dijadikan sugesti ke pikiran orang yang sakit itu, untuk tetap tenang dan sabar: "Ketenangan adalah setengah dari kesembuhan; kesabaran adalah awal mula yang baik untuk proses penyembuhan."